Iklan

Iklan

,

Iklan

Membongkar Dusta Buku "Manhaj Salafi Imam Syafi'i"

5 Jan 2016, 22:11 WIB Ter-Updated 2024-08-08T17:39:59Z
Download Ngaji Gus Baha
buku sesat karya wahabi salafi
Membantah isi buku Manhaj Salafi Imam Syafi'i. Foto: istimewa.


Dutaislam.or.id - Buku Manhaj Salafi Imam Syafi’i (MSIS) ditulis oleh Ustadz Yusuf Mukhtar Sidayu, dengan kata pengantar Dr Arifin Baderi dan Dr Nur Ihsan dari Jember. Berikut tanggapan kami dengan narasi dialog agar mudah difahami.


WAHABI: Imam Syafi’i menetapkan pembagian tauhid menjadi tiga. (Buku MSIS hlm 60).


SUNNI: Jelas tidak benar. Imam al-Syafi’i radhiyallahu ‘anhu tidak pernah menetapkan pembagian tauhid menjadi tiga. Demikian pula ulama-ulama salaf yang lain, tidak pernah menetapkan pembagian tauhid menjadi tiga. Karena yang pertama kali melakukan pembagian tauhid menjadi tiga, justru Ibnu Taimiyah, ulama yang hidup pada abad ke-8 Hijriyah. Lalu, pembagian tauhid tiga ini disebarluaskan oleh kaum Wahabi sejak abad kedua belas Hijriyah.


WAHABI: Yang menunjukkan pembagian tersebut, cukuplah di antaranya ucapan Imam al-Syafi’i tatkala berkata:


اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلاَرْضَ وَجَعَلَ الظُّلُمَاتِ وَالنُّوْرَ ثُمَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا بِرَبِّهِمْ يَعْدِلُوْنَ … وَلاَ يَبْلُغُ الْوَاصِفُوْنَ كُنْهَ عَظَمَتِهِ الَّذِيْ هُوَ كَمَا وَصَفَ نَفْسَهُ وَفَوْقَ مَا يَصِفُهُ بِهِ خَلْقُهُ


Segala puji hanya bagi Allah yang menciptakan langit-langit dan bumi, dan menjadikan kegelapan dan cahaya kemudian orang-orang kafir menyimpang … Dan orang-orang yang menyifatkan hakikat keagungan-Nya tidak akan bisa sampai seperti apa yang Dia sifatkan pada diri-Nya dan lebih dari apa yang disifatkan oleh makhluk-Nya.” (Al-Imam al-Syafi’i, al-Risalah, hlm 101).


Ucapan beliau “yang menciptakan langit dan bumi” adalah tauhid rububiyyah. Ucapan beliau “kemudian orang-orang kafir menyimpang” adalah tauhid uluhiyyah, karena penyimpangan mereka bukan pada tauhid rububiyyah, melainkan dalam uluhiyyah. Ucapan beliau “orang-orang yang menyifatkan tentang keagungan-Nya” adalah tauhid asma’ wa shifat. (MSIS hlm 62).


SUNNI: Kutipan dari Imam al-Syafi’i di atas justru bertentangan dengan tauhid tiga wahabi yang Anda bawakan. Anda juga telah mentahrif (melakukan distorsi) terhadap pernyataan Imam al-Syafi’i di atas. Berikut kami jelaskan bukti-bukti kesalahan Anda yang fatal dalam mengartikan perkataan Imam al-Syafi’i di atas.


Pertama, Imam al-Syafi’i radhiyallahu ‘anhu berkata:


اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلاَرْضَ وَجَعَلَ الظُّلُمَاتِ وَالنُّوْرَ


Segala puji hanya bagi Allah yang menciptakan langit-langit dan bumi, dan menjadikan kegelapan dan cahaya


Sebagaimana dimaklumi, perkataan al-Imam al-Syafi’i di atas adalah iqtibas (petikan) dari ayat al-Qur’an Surah al-An’am. Dalam ayat di atas, lafal Allah, yang berarti uluhiyyah, dikaitkan dengan penciptaan langit-langit, bumi, kegelapan dan cahaya. Dengan demikian, seharusnya ayat tersebut dikaitkan dengan tauhid uluhiyyah, agar selaras dengan lafal Allah. Tetapi Anda dengan semborononya mengaitkannya dengan tauhid rububiyyah. Ini jelas kesalahan fatal.


Kedua, Imam al-Syafi’i radhiyallahu ‘anhu berkata:


ثُمَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا بِرَبِّهِمْ يَعْدِلُوْنَ


“...kemudian orang-orang kafir menyimpang


Terjemahan Anda terhadap ayat tersebut adalah tidak benar. Para ulama menerjemahkan ayat tersebut dengan: “namun orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Tuhan mereka.” Jadi lafal ya’diluun, oleh para ulama diartikan mempersekutukan dan menyamakan Tuhan dengan selain Tuhan, bukan diartikan menyimpang.


Dalam ayat tersebut, lafal rabbihim, yang berarti rububiyyah, dikaitkan dengan kemusyrikan orang-orang kafir. Dengan demikian, seharusnya, kalau Anda sebagai Wahabi konsisten dengan kalimat di atas, ayat tersebut berkaitan dengan tauhid rububiyyah, bukan uluhiyyah, agar selaras dengan lafal rabbihim dalam ayat tersebut. Tetapi Anda, justru memahaminya sebagai tauhid uluhiyyah. Jadi Anda membolak-balik pernyataan ulama selevel Imam al-Syafi’i radhiyallahu ‘anhu, agar sesuai dengan pembagian tauhid Wahabi.


Dan apabila Anda konsisten mengikuti pernyataan Imam al-Syafi’i radhiyallahu ‘anhu secara benar, maka batallah pembagian tauhid menjadi tiga ala wahabi yang Anda sebarkan. Dan nyatalah kebohongan Anda kepada umat Islam.


Ketiga, Imam al-Syafi’i radhiyallahu ‘anhu berkata:


وَلاَ يَبْلُغُ الْوَاصِفُوْنَ كُنْهَ عَظَمَتِهِ الَّذِيْ هُوَ كَمَا وَصَفَ نَفْسَهُ وَفَوْقَ مَا يَصِفُهُ بِهِ خَلْقُهُ


Dan orang-orang yang menyifatkan hakikat keagungan-Nya tidak akan bisa sampai seperti apa yang Dia sifatkan pada diri-Nya dan lebih dari apa yang disifatkan oleh makhluk-Nya.”


Fragmen tersebut sebenarnya memberikan pengertian bahwa al-Imam al-Syafi’i radhiyallahu ‘anhu beri’tiqad bahwa Allah Swt bukan benda yang tersusun (jisim) dan bukan pula menetap pada suatu arah. Karena seandainya Allah itu berupa benda atau menetap pada suatu arah, tentu orang-orang yang menyifati-Nya akan bisa sampai pada hakikat keagungan-Nya. 


Ternyata di sini Imam al-Syafi’i menegaskan bahwa orang-orang yang menyifati-Nya tidak akan sampai pada hakikat keagungan-Nya, sebagaimana Dia menyifati diri-Nya, dan lebih dari apa yang disifatkan oleh makhluk-Nya. Pernyataan tersebut sekaligus membatalkan terhadap konsep akidah Wahabi yang meyakini bahwa Tuhan bertempat di Arasy, dan bentuknya seperti seorang laki-laki yang masih muda dan tanpa jenggot. Allah Maha Suci dari menyerupai apapun. Para ulama salaf berkata:


كُلُّ مَا خَطَرَ بِبَالِكَ فَاللهُ لَيْسَ كَذَلِكَ


Setiap apa yang terlintas dalam pikiranmu, maka Allah tidak seperti itu.


Keyakinan bahwa wujudnya Allah tanpa tempat dan arah, adalah kesepakatan Ahlussunnah Wal-Jama’ah sejak generasi salaf yang saleh. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh seorang ulama salaf, yaitu al-Imam Abu Ja’far al-Thahawi dalam al-‘Aqidah al-Thahawiyyah:


تَعَالَى (يَعْنِىْ اللهُ) عَنِ الْحُدُوْدِ وَالْغَايَاتِ وَاْلأَرْكَانِ وَاْلأَدَوَاتِ لاَ تَحْوِيْهِ الْجِهَاتُ السِّتُّ كَسَائِرِ الْمُبْتَدَعَاتِ


Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar, sehingga Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti tangan, wajah dan anggota badan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya), Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru (atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang), tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arah penjuru tersebut. (Al-‘Aqidah al-Thahawiyyah).


Pernyataan al-Imam al-Thahawi tersebut merupakan ijma’ (konsensus) para sahabat dan ulama salaf yang saleh, karena al-Imam al-Thahawi menulis kitabnya, al-‘Aqidah al-Thahawiyyah sebagai rangkuman dari akidah-akidah yang menjadi keyakinan seluruh sahabat dan ulama salaf yang saleh. Al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi juga mengatakan:


وَأَجْمَعُوْا عَلىَ أَنَّهُ لاَ يَحْوِيْهِ مَكَانٌ وَلاَ يَجْرِيْ عَلَيْهِ زَمَانٌ


Ahlussunnah Wal-Jama’ah juga bersepakat, bahwa Allah itu tidak diliputi oleh tempat dan tidak dilalui oleh zaman. (Abu Manshur Abdul Qahir bin Thahir al-Baghdadi, al-Farq baina al-Firaq, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tanpa tahun, hlm. 256).


Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa al-Imam al-Syafi’i tidak berakidah seperti Wahabi, yang membagi tauhid menjadi tiga, rububiyyah, uhuliyyah dan asma’ wa shifat.


WAHABI: Sebagai bukti bahwa Imam al-Syafi’i meyakini tauhid uluhiyyah ala Wahabi, adalah larangan beliau membuat bangunan di atas kuburan.


SUNNI: Anda pasti salah fatal lagi.


WAHABI: Kok salah fatal sih. Coba lihat dalam kitab al-Umm, al-Imam al-Syafi’i berkata:


وَأُحِبُّ أَنْ لاَ يُبْنَى وَلاَ يُجَصَّصَ فإن ذلك يُشْبِهُ الزِّينَةَ وَالْخُيَلاَءَ وَلَيْسَ الْمَوْتُ مَوْضِعَ وَاحِدٍ مِنْهُمَا ولم أَرَ قُبُورَ الْمُهَاجِرِينَ وَاْلأَنْصَارِ مُجَصَّصَةً … وقد رَأَيْت من الْوُلَاةِ من يَهْدِمَ بِمَكَّةَ ما يُبْنَى فيها فلم أَرَ الْفُقَهَاءَ يَعِيبُونَ ذلك فَإِنْ كانت الْقُبُورُ في اْلأَرْضِ يَمْلِكُهَا الْمَوْتَى في حَيَاتِهِمْ أو وَرَثَتُهُمْ بَعْدَهُمْ لم يُهْدَمْ شَيْءٌ أَنْ يُبْنَى منها وَإِنَّمَا يُهْدَمُ أن هُدِمَ ما لَا يَمْلِكُهُ أَحَدٌ فَهَدْمُهُ لِئَلاَّ يُحْجَرَ على الناس مَوْضِعُ الْقَبْرِ فَلاَ يُدْفَنُ فيه أَحَدٌ فَيَضِيقُ ذلك بِالنَّاسِ


Saya suka agar kuburan itu tidak dibangun dan dikapur karena hal termasuk perhiasan dan kesombongan, sedangkan kematian bukanlah tempat untuk salah satu di antara keduanya. Dan saya tidak mendapati kuburan orang-orang Muhajirin dan Anshar dibangun… Aku mendapati para imam di Makkah memerintahkan dihancurkannya bangunan-bangunan (di atas kuburan) dan aku tidak mendapati para ulama mencela hal itu. (Al-Imam al-Syafi’i, al-Umm Juz 1 hlm: 277). (Dikutip dari MSIS, hlm 68).


SUNNI: Itu bukti ketidakjujuran Anda. Mengapa demikian?


Pertama, al-Imam al-Syafi’i tidak suka membangun kuburan, bukan karena berkaitan dengan kesyirikan dan pelanggaran tauhid uluhiyyah seperti yang digembar-gemborkan Wahabi Anda. Tetapi karena faktor bahwa kuburan itu bukan tempat perhiasan dan kesombongan, sebagaimana ditegaskan oleh al-Imam al-Syafi’i sendiri dalam pernyataan di atas.


Kedua, Anda melakukan kesalahan dalam menerjemahkan perkataan al-Imam al-Syafi’i di atas. Harusnya Anda terjemahkan, aku mendapati sebagian wali (penguasa) di Makkah memerintahkan dihancurkannya bangunan-bangunan di atas kuburan tersebut.


Ketiga, Anda telah membuang perkataan Imam al-Syafi’i yang tidak sesuai dengan selera hawa nafsu Anda. Perkataan al-Imam al-Syafi’i yang Anda buang menjadi bukti bahwa perobohan bangunan di atas kuburan tersebut, ketika kuburan itu milik umum, bukan milik pribadi. Jadi masalah pembongkaran kuburan tersebut tidak ada kaitannya dengan syirik dan tauhid uluhiyyah ala Wahabi. Perkataan tersebut selengkapnya begini:


وَأُحِبُّ أَنْ لاَ يُبْنَى وَلاَ يُجَصَّصَ فإن ذلك يُشْبِهُ الزِّينَةَ وَالْخُيَلاَءَ وَلَيْسَ الْمَوْتُ مَوْضِعَ وَاحِدٍ مِنْهُمَا ولم أَرَ قُبُورَ الْمُهَاجِرِينَ وَاْلأَنْصَارِ مُجَصَّصَةً … وقد رَأَيْت من الْوُلَاةِ من يَهْدِمَ بِمَكَّةَ ما يُبْنَى فيها فلم أَرَ الْفُقَهَاءَ يَعِيبُونَ ذلك فَإِنْ كانت الْقُبُورُ في اْلأَرْضِ يَمْلِكُهَا الْمَوْتَى في حَيَاتِهِمْ أو وَرَثَتُهُمْ بَعْدَهُمْ لم يُهْدَمْ شَيْءٌ أَنْ يُبْنَى منها وَإِنَّمَا يُهْدَمُ أن هُدِمَ ما لَا يَمْلِكُهُ أَحَدٌ فَهَدْمُهُ لِئَلاَّ يُحْجَرَ على الناس مَوْضِعُ الْقَبْرِ فَلاَ يُدْفَنُ فيه أَحَدٌ فَيَضِيقُ ذلك بِالنَّاسِ


"Saya suka agar kuburan itu tidak dibangun dan dikapur karena hal termasuk perhiasan dan kesombongan, sedangkan kematian bukanlah tempat untuk salah satu di antara keduanya. Dan saya tidak mendapati kuburan orang-orang Muhajirin dan Anshar dibangun… Aku mendapati para imam di Makkah memerintahkan dihancurkannya bangunan-bangunan (di atas kuburan) dan aku tidak mendapati para ulama mencela hal itu.Apabila kuburan yang dibangun itu hak milik si mati ketika masih hidupnya atau ahli waris mereka setelah kematiannya, maka bangunan itu tidak boleh dirobohkan. Bangunan kuburan yang dirobohkan hanyalah yang bukan hak milik seseorang. Merobohkannya agar tidak menghalangi orang lain untuk dimakamkan di kuburan tersebut, sehingga membuat sempit bagi banyak orang". (Al-Imam al-Syafi’i, al-Umm, Juz 1 hlm 277). 


Maka, pembaca harus berhati dengan buku terjemahan. Banyak yang disunat demi sesuatu. Wallahu a'lam. [dutaislam.or.id/ab]

Iklan