Dutaislam.or.id - Radikalisme keagamaan di negeri ini sudah mulai menghawatirkan dengan adanya beberapa kasus kekerasan atas nama agama. Untuk itu, perlu ada upaya sistematis sekaligus ideologis untuk meredam perkembangan radikalisme agama, terutama dalam Islam, dengan mengkampanyekan sufisme.
Hal inilah yang menjadi pandangan utama Dr. Haidar Bagir, dalam Studium Generale STAINU - UNU Indonesia dan bedah buku ‘Sufism in the Modern World’, dari penerbit Mizan, pada Jum’at (26/2), di Gedung PBNU, Jakarta. Acara ini, terselenggara atas kerjasama Penerbit Mizan, dengan Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) dan Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Indonesia, Lembaga Ta’lif wan Nasyr (LTN-PBNU) dan Lembaga Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama (LPT NU), serta Gerakan Islam Cinta.
Agenda diskusi buku ini, sekaligus menandai kuliah perdana mahasiswa STAINU dan UNU Indonesia. Hadir pada agenda ini Dr. Abdul Aziz Abbaci (Aljazair, Sadra Institute), Dr. Haidar Bagir (Mizan) dan Dr. Mastuki HS (Direktur Pascasarjana STAINU Jakarta). Acara ini juga dihadiri oleh beberapa kiai, dosen, ratusan mahasiswa serta aktifis kemanusiaan.
Dalam diskusi, Dr. Haidar Bagir menjelaskan bagaimana perkembangan radikalisme di Indonesia. “Perkembangan Islam di negeri ini, perlu ada pengamatan secara jernih. Dalam riset yang saya analisa, akarnya sebenarnya adalah ketidakadilan. Orang-orang yang miskin dan terpinggirkan, cenderung mencari keadilan dengan menggunakan jalur agama. Akan tetapi, jika salah jalan, akan menemukan guru yang salafi, yang radikal. Orang-orang radikal ini, beragama dengan kebencian. Saya pikir, sufisme dapat menjadi peredam radikalisme, karena sufisme menawarkan cinta dan kedamaian,” ungkap Haidar.
Sementara, Dr. Abdul Aziz Abbaci menjelaskan bahwa pentingnya mempelajari Islam dengan ketekunan, dengan tidak salah mencari guru. Islam itu memberi energi dan inspirasi, bukan provokasi. “Hal yang penting adalah belajar Islam dengan guru yang tepat,” ungkap Abbaci.
Pembicara lain, Dr. Mastuki HS, mengingatkan bahwa Islam Nusantara, yang diusung oleh Nahdlatul Ulama dan beberapa ormas Islam, dapat digunakan sebagai perspektif untuk mengkampanyekan Islam yang damai dan toleran. “Islam Nusantara menjadi basis pengetahuan yang sesuai dengan karakter budaya orang Indonesia. Sufisme di Islam Nusantara juga memiliki jaminan pengetahuan, dengan adanya sanad dan ijazah, yang menjamin kemurnian dalam mempelajari agama Islam. Inilah yang perlu diperhatikan, dengan mengkaji agama secara benar,” jelas Mastuki.
Pada acara ini, juga disepakati kerjasama antara Penerbit Mizan dengan STAINU dan UNU dalam bidang riset dan penerbitan. Serta, launching Pusat Kajian Islam Nusantara di kampus STAINU-UNU Indonesia. [dutaislam.or.id/aziz/ab]