Judul:
|
Tahlil Bid'ah Hasanah
|
Penulis:
|
Muhammad Ma’ruf Khozin |
---|---|
Penerbit:
|
Muara Progresif |
Cetakan: | I, Juli 2013 |
Tebal: | xviii + 190 halaman |
Dimensi: | 12 x 17,5 cm |
ISBN: | 978-602-17206-6-0 |
ISBN: | 978-602-9346-05-3 |
Harga: | Rp. 30.000,- |
Persensi: | Junaidi Khab |
Dutaislam.or.id - Membicarakan tahlil sama saja membicarakan ketidaksepahaman antara orang NU dan orang-orang yang tidak setuju dengan acara tahlilan. Ada sebagian orang menganggap acara tahlilan itu sesat dan bahkan haram menurut mereka. Tentu mereka memiliki alasan tersendiri menurut apa yang mereka pelajari dan mereka pahami dalam persoalan agama dan tradisi.
Tanpa dalil tentu mereka tidak akan berani mengharamkan bahkan mengkafirkan pelakunya (Nahdliyyin) sebagai subjek dari acara tahlilan itu. Kelompok yang anti tahlil kerap menuduh tahlil sebagai bid’ah karena sebagai warisan tradisi agama pra-Islam di Jawa, yaitu Budha dan Hindu, sehingga praktek tahlil hukumnya haram dilakukan karena menyerupai dengan tradisi agama lain.
Tuduhan ini dilakukan sebagaimana ketika mereka mengharamkan perayaan maulid nabi Muhammad SAW. karena menyerupai perayaan kelahiran dalam agama lain, yaitu perayaan Natal (Kristen) (Hal. 15). Pandangan yang serba membuat kesamaan antara tradisi Islam dengan tradisi non-Islam ini beranggapan jika bukan orang Islam yang melakukan pertama kali, berarti itu bid’ah sesat, haram, bahkan kafir jika dilakukan oleh orang Islam. Perlu juga diingat bahwa budaya sarungan itu bukan budaya Islam.
Pada masa nabi Muhammad SAW tidak ada. Budaya sarungan umat Islam yang cuma di Indonesia. Itu pun juga berangkat dari budaya agama Hindu yang ada di Indonesia. Anggap saja orang Madura yang kentara dengan budaya sarungnya, dan lihat agama nenek moyang orang Madura sebelum Islam datang, tak lain mayoritas menganut Hindu.
Begitu pula dengan budaya celana yang sudah banyak digandrungi oleh masyarakat Indonesia. Tempo dulu budaya memakai celana di kalangan Islam Indonesia haram. Hal tersebut dengan suatu dalil dan alasan bahwa orang yang menyerupai suatu, maka mereka merupakan bagian dari mereka.
Karena dianggap menyerupai dengan orang Belanda atau Jepang yang beragama non-Islam, maka memakai celana diharamkan. Itu semua merupakan buah dari fanatisme dalam beragama yang mengekang dan mempersulit hidupnya sendiri. Baru ketika mereka sadar bahwa memakai celan itu penting, pengharaman lambat laun menyusut dan rata-rata kiai memakai celana.
Diakui atau tidak, latar belakang tahlil itu memang awalnya merupakan budaya masyarakat Indonesia yang beragama non-Islam sebelum sejarah Islam masuk ke Nusantara ini. Namun karena di satu sisi nabi Muhammad SAW khususnya Islam sendiri yang memiliki sifat menghargai (toleran), maka ekspansi Islam tidak dengan cara merusak dan meniadakan apa yang telah menjadi tradisi masyarakat non-Islam sebelumnya (hlm.10).
Tradisi masyarakat Indonesia ketika ada orang meninggal dunia adalah berkumpul di rumah duka pada malam hari untuk berjudi, mabuk-mabukan dan sebagainya. Lambat laun seiring dengan Islam yang mulai menyentuh mereka, acara tersebut diisi dengan nilai-nilai keislaman yang dapat mendatangkan manfaat kepada orang yang meninggal dunia, keluarga duka, serta masyarakat secara umum.
Dari sini kemudian tradisi tahlilan berkembang luas di tengah masyarakat seperti yang diamalkan oleh masyarakat saat ini (hlm. v). Tradisi kumpul-kumpul yang dilakukan oleh masyarakat non-Islam dulu itu tidak dirusak dan tidak disuruh bubar begitu saja oleh penyebar agama Islam dahulu.
Jika sebaliknya yang terjadi, maka entah seperti apalagi Islam di mata masyarakat non-Islam dahulu hingga sekarang. Maka dari itu, masyarakat non-Islam yang berkumpul ketika ada acara kematian itu diubah melalui pendekatan pengaplikasian dengan nilai-nilai keislaman sebagai dakwah yang paling jitu dan tidak harus merusak yang sudah ada. Hingga akhirnya acara itu bernilai sebagaimana yang diamanatkan oleh syariat Islam.
Buku Tahlil Bid’ah Hasanah ini tak lain merupakan rasionalisasi dan penalaran dengan menggunakan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan al-Hadits mengenai acara tahlilan yang sering diharamkan oleh kalangan non-Nahdliyyin. Pemantapan pemahaman mengenai tradisi, kedamaian, dan eksistensi Islam itu sendiri disuguhi dengan beraneka dalil yang cukup jelas.
Bagi mereka yang mengerti metode penyebaran Islam, silakan melihat sejarah tentang penyebaran Islam dan bagaimana Islam ketika itu. Tentunya dengan sifatnya yang fleksibel Islam mampu masuk ke Indonesia. Dengan fleksibilitasnya pula, penyebaran Islam di Nusantara ini tidak harus banyak menumpahkan darah. [dutaislam.or.id/ab]