Oleh Novianis Nur Mufidah
Dutaislam.or.id - Pada dasarnya, air diciptakan dalam keadaan suci dan mensucikan. Kemudian
ketika ia bersentuhan dengan manusia atau benda lain maka hukum air bisa
berubah menjadi suci tapi tak mensucikan, air mutanajis, atau air mustakmal.
Masing-masing memiliki ketentuan yang berbeda dengan konsekuensi hukum yang
juga berbeda. Lalu apa pengertian air mustakmal?
Dalam pengertian etimologis, air mustakmal (maaul musta’mal)
terdiri atas dua kata, yakni maaun (air) dan al-musta’malun (telah
digunakan). Terdapat beberapa pendapat dari para ulama tentang pengertian air
mustakmal secara istilah. Di antaranya pengertian yang lazim digunakan adalah
air yang secara kuantitas kurang dari dua kulah (kurang dari 216 liter) dan
telah digunakan untuk menyucikan hadast, baik untuk wudlu atau mandi wajib.
Baca: Ini Alasan Laki-Laki Haram Memakai Emas
Baca: Ini Alasan Laki-Laki Haram Memakai Emas
Sebagian ulama mengemukakan pendapat bahwa air mustakmal adalah air
yang kurang dari dua kulah yang telah digunakan untuk menyucikan hadast pada
basuhan pertama. Mengapa basuhan pertama? Karena basuhan pertama adalah basuhan
yang wajib, sedangkan basuhan kedua sampai ketiga adalah sunah.
Pada intinya, air mustakmal adalah air yang telah digunakan untuk
bersuci atau menyucikan hadast tanpa tercampur sesuatu yang dihukumi najis dan
kurang dari dua kulah. Contohnya, air wudlu yang menetes dari wajah. Artinya
air tersebut telah digunakan untuk membasuh wajah dan jika air tetesan tersebut
menetes pada air yang kita tadah untuk membasuh organ selanjutnya, maka air
dalam tadahan itu bersifat mustakmal dan tidak dapat digunakan untuk bersuci
lagi.
Menurut madzhab Imam Syafi’i dan Imam Hanbali, hukum dari air mustakmal
adalah thahir ghoiru muthahhir atau suci tetapi tidak bisa menyucikan.
Menurut madzhab Maliki, air mustakmal dapat menyucikan. Sedangkan menurut
madzhab Hanafi, air musta’mal dihukumi najis.
Baca: Cara Samak Bangkai Kulit Binatang
Baca: Cara Samak Bangkai Kulit Binatang
Kemudian, apakah air mustakmal selamanya tidak dapat dijadikan sebagai
air yang thahir muthahhir? Jawabannya bisa, jika memenuhi keempat syarat
ini: (i) Air tersebut sudah ada sebanyak dua kulah; (ii) jika kemasukan sesuatu
yang najis, sifat-sifat air tidak berubah; (iii) jika tercampur dengan sesuatu
yang suci, sifatnya tidak berubah dengan sangat; (iv) air tersebut dapat
dikatakan sebagai air mutlak kembali.
Jika air bercampur dengan sesuatu yang suci dan dapat melebur dengan
air seperti madu (‘asal) ataupun air tercampur dengan sesuatu yang tidak
dapat melebur dengan air seperti minyak, kemudian terjadi perubahan yang sangat
terlihat (taghyiiran faahisyan) pada sifat-sifat air (bau, rasa, warna),
maka air tersebut tidak bisa digunakan untuk raf’ul hadast maupun izalatun
najis, walaupun air tersebut sangat banyak.
Jika air tersebut kemasukan sesuatu yang najis yang menjadikan
berubahnya salah satu sifat air walaupun perubahannya sedikit, hukum air
tersebut adalah najis walaupun air dalam jumlah yang sangat banyak seperti
lautan. Jika tidak mengubah sifat-sifat air, maka air tersebut tidak najis
selama airnya lebih dari dua kulah.
Bila dalam air terdapat sesuatu yang secara alami ada di situ dan susah
dihilangkan seperti lumpur atau ganggang sehingga sifat air berubah dengan
sendirinya karena terlalu lama didiamkan maka hukum air tersebut adalah
suci. Wallahu a’lam. [dutaislam.or.id/ab]
Bacaan:
- Ibn Qasim, SyarahFath al-Qorib Al-Mujib
- Abu Syuja, Matn Ghoyatu wa Taqrib
- Riyadhul Badi’ah
- Terjemah Fiqih Empat Madzhab.
Novianis Nur Mufidah,
Mahasiswa STIQ An-Nur Yogyakarta.