Iklan

Iklan

,

Iklan

Fakta Seputar Pemakaman Gus Dur

19 Apr 2016, 18:58 WIB Ter-Updated 2024-08-09T07:50:51Z
Download Ngaji Gus Baha
foto ramainya pemakaman gus dur tahun
Fakta saat pemakaman Gus Dur. Foto: istimewa.

Oleh M Zainal A Khosyi’in

Dutaislam.or.id - Acapkali mendapat undangan ceramah di Malang, Prof DR KH Ali Maschan Moesa, M.Si (Wakil Rois Syuriyah PWNU Jawa Timur) singgah dan menghampiri untuk mengajak penulis mendampingi beliau. Setiap masuk rumah sebelum duduk beliau selalu saja tertegun memandangi demikian dalam foto yang menggambarkan jasad mulia KH Abdurrohman Wahid (Gus Dur) berjalan dari tangan ke tangan sejak diturunkan dari mobil ambulans hingga memasuki Masjid Ulul Albab Pesantren Tebuireng untuk disholatkan sambil bergumam, “sungguh karunia luar biasa mendapat amanah tidak sengaja mengimami sholat jenazah Gus Dur”.

Kiai Ali—demikian biasa penulis menyapa beliau—lantas bercerita—sesuatu yang telah berkali-kali beliau tuturkan tetapi tetap saja penulis dengan semangat mendengarkannya seolah baru pertama kali beliau menceritakan—bahwa setelah wafat pada Rabu tanggal 30 Desember 2009 pukul 18.40 WIB di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta, pihak keluarga—menuruti permintaan Gus Dur sendiri—memutuskan untuk memakamkan Gus Dur di Maqbarah Tebuireng yang berada dalam komplek Pesantren Tebuireng Jombang tempat dimana jasad mulia Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari (kakek), Nyai Nafiqoh (nenek), KH A Wahid Hasyim (ayah), Nyai Sholihah Bisri (ibu) dan kerabat Tebuireng lainnya diistirahatkan dari kepayahan dunia.

Sejurus setelah itu komplek Pesantren Tebuireng Jombang telah sesak dengan peziarah dari berbagai penjuru dan Kiai Ali—yang ketika itu seperti biasa setiap hari sabtu, ahad dan hari libur berada di Surabaya karena libur tidak ada aktifitas kelegislatifan dalam kapasitasnya sebagai Anggota Komisi 8 DPR RI 2009-2014—pagi-pagi sudah berada di Tebuireng sekalian menjenguk salah satu putrinya yang sedang ngangsu kaweruh di Pesantren Putri Tebuireng. Karena Masjid Ulul Albab—tempat dimana jenazah Gus Dur telah ditunggu ratusan ribu takziyin untuk disholati—berada satu komplek dengan pesantren putri tentu saja Kiai Ali merupakan sedikit kiai dari ribuan kiai pentakziyah yang dengan mudah mencapai masjid.

Maka ketika keranda berbalut merah putih yang membawa jenazah Gus Dur yang diusung dan dikawal sepasukan TNI berhasil mencapai mihrob masjid setelah sejaman lebih susah paya menyibak ratusan ribu pentakziyah yang terus berusaha berada paling dekat dengan jasad mulia Gus Dur tetapi sholat jenazah tidak kunjung dimulai dikarenakan menunggu sang imam sholat jenazah yang telah ditunjuk pihak Pesantren Tebuireng terblokade tidak bisa masuk masjid. Melalui telepon seluler KH Shalahuddin Wahid lantas menanyakan kepada petugas tentang siapa saja kiai yang berada didalam masjid, petugas menyebut KH Ahmad Mustofa Bisri—yang memang sejak berangkat dari kediaman Gus Dur di kawasan Warung Silah Ciganjur Jakarta terus berada mendampingi pihak keluarga—dan KH Ali Maschan Moesa. Karena KH Ahmad Mustofa Bisri sudah bersholat jenazah di Ciganjur dan sedang batal wudlu’ maka amanah itupun jatuh kepada KH Ali Maschan Moesa

Pentakziyah yang terus menangis dan tidak jarang histeris itu sudah berkali-kali dikomando melalui pengeras suara untuk tenang karena sholat segera dimulai. Pihak keluarga Tebuireng, pengurus masjid, Banser dan bahkan TNI bergantian berusaha menenangkan gemuruh umat, sampai akhirnya KH Ali Maschan Moesa berteriak lantang ; “Allohumma sholli alaa Muhammad! Monggo sholat jenazah dimulai nggee...?!!”. Pentakziyahpun secara kuur menyahut ; “Nggggeeee...!!!”

Siapapun yang dikaruniai kesempatan bisa hadir untuk mengikuti sholat jenazah di Masjid Ulul Albab pada saat itu pasti merasakan atmospir kesedihan dan duka teramat sangat dalam karena kepergian Gus Dur. Penulis yang saat itu berada dilantai II Masjid Ulul Albab dapat menyaksikan betapa untuk memasuki masjid saja dibutuhkan kekuatan himmah untuk semata memberikan penghormatan terakhir kepada Gus Dur. Dan pasti untuk menenangkan ratusan ribu pentakziyah yang sangat larut dalam duka mendalam itu dibutuhkan kekuatan supranatural yang hebat.

Kiai Ali setiap habis menceritakan hal tersebut senantiasa mengijazahkan suatu amalan yang bisa membantu setiap kita dalam kondisi terjepit dan kepepet seolah Kiai Ali tahu bahwa penulis tidak pernah sanggup menyelesaikan ijab qobul ijazah dengan mengatakan qobiltu. Ya bagaimana penulis sanggup menjawab qobiltu, sementara jiwa dan perasaan penulis setiap mendengar cerita itu  terbawa pada situasi sangat syakral dan khidmad di pagi Kamis 31 Desember 2009 itu.


Tidak itu saja, memori penulis langsung saja tersambung dengan situasi di saat kapundutnya guru ayah penulis, H.M.Nashiruddin Kholil, seorang wali besar abad 20 yang adalah keponakan Rois Aam PBNU almaghfurlah KH Achmad Shiddiq yaitu KH Abdul Hamid bin Abdullah bin Umar Pasuruan pada Sabtu dinihari, tanggal 9 Robiul Awal 1403 H bertepatan dengan 25 Desember 1982, dalam usia  70 tahun menurut hitungan hijriyah atau 69 tahun menurut hitungan miladiyah.

Sebagaimana dituturkan secara apik oleh Hamid Ahmad dalam buku “Percik-Percik Keteladanan Kiai Hamid Pasuruan” : Kabar (kewafatan Kiai Hamid) pun segera menyebar, lewat radio, dari mulut kemulut dan dari telpon ke telpon. Umat datang berbondong-bondong untuk melayat ke rumah duka sejak pagi. Mereka berasal dari berbagai penjuru. Umumnya seperti tak percaya Kiai Hamid meninggal. Mereka menangis, mereka histeris. Melihat begitu banyaknya pelayat, pihak keluarga tidak mau ambil resiko. Khawatir rusak jadi rebutan, kerandanya diikat kuat-kuat

Menjelang Ashar, keranda dibawa ke masjid. Keranda itu berjalan dari satu tangan ketangan lain karena orang tak bisa berjalan, saking padatnya. Terjadi tarik menarik di antara mereka. Misalnya, ketika hendak keluar dari komplek pondok, sebagian orang hendak membawanya keluar dari gerbang barat, sebagian lainnya ke arah gerbang timur. Sampai di masjid pun begitu. Terjadi tarik menarik sehingga beberapa kali orang melanggar(?) jendela masjid. Konon, dari rumah ke masjid dibutuhkan waktu hingga dua jam (padahal jarak kediaman Kiai Hamid di komplek Pondok Salafiyah dengan Masjid Agung Al Anwar hanya sekitar setengah kilo saja, pen.)

Dilaporkan, jamaah yang menyalati meluber. Tidak hanya ke alun-alun depan masjid, tapi terus ke timur hingga perempatan PLN (sekitar 100 meter), dan memenuhi Jalan Niaga hingga ke ujung utara dan ruas-ruas Jalan Nusantara hingga ke ujung selatan (dua jalan ini merentang dari utara ke selatan sepanjang 1 km). Diperkirakan jumlah mereka mencapai ratusan ribu orang. KH Ali Maksum (Rois Aam PBNU yang adalah karib Kiai Hamid, pen.) bertindak sebagai imam sholat.

Setelah sholat Ashar, jasad beliau disemayamkan di kompleks makam sebelah barat masjid Agung Al Anwar Pasuruan. Kompleks ini memang diperuntukkan bagi para kiai dan habaib. Di sana antara lain ada makam Habib Ja’far bin Syaikhon Assegaf (guru beliau), Kiai Achmad Qusyairi (paman sekaligus mertua beliau) dan Kiai Achmad bin Sahal (ipar beliau).

Waba’du. Mensejajarkan dan menyebut KH A Hamid Abdulloh dan KH Abdurrohman Wahid dalam satu tariakan nafas rasanya tidak berlebihan. Sekalipun dengan citra yang berbeda, kebanyakan orang utamanya yang mengenal dekat beliau berdua, sama-sama meyakini jika keduanya adalah wali Allah. Sekalipun Gus Dur tidak ada kedekatan personal dengan Kiai Hamid, tapi orang-orang terdekat Gus Dur semisal KH Achmad Shiddiq (Rois Aam PBNU seperiode dengan Gus Dur ketika menjadi Ketua Umum PBNU), KH Ali Maksum (guru Gus Dur) dan KH Hamim Jazuli (Gus Mik Kediri) adalah kerabat dan teman dekat Kiai Hamid.

Jika ditelusuri lebih jauh, Kiai Hamid dan Gus Dur mempunyai kebiasaan yang sama: suka berziarah ke makam ulama dan terutama wali. Konon saking terbiasanya Gus Dur ziarah makam Sunan Ampel, sampai-sampai KH Nawawi (dzurriyah Sunan Ampel dan imam besar Masjid Agung Sunan Ampel sebelum tahun 2000-an) hafal betul kapan Gus Dur mesti datang berziarah sehingga Kiai Nawawi mesti tidak diberitahu sebelumnya sudah menunggu kedatangan Gus Dur di pusara makam Sunan Ampel.

Gus Dur pula—ketika menjabat Presiden RI—yang memasyhurkan makam Sayyid Ibrohim as-Samarqondi (orang Jawa menyebutnya Maulana Ibrohim Asmorokondi) di Palang, Tuban. Pun Komplek Pemakaman Troloyo di mana Sayyid Jamaluddin Husein (lebih karib dengan Syekh Jumadil Kubro) di Mojokerta dimasyhurkan Gus Dur dengan menyebut bahwa moyangnya yang berasal dari China yang bernama Tan Kim Han (didefinisikan orang sebagai Syekh Abdul Qodir as-Shiniy), dimakamkan di Troloyo juga.

Adapun perihal kebiasaan Kiai Hamid berziarah makam ulama, ada fakta menarik—sebagaimana disebutkan dalam buku Percik-Percik Keteladanan Kiai Hamid dan cerita ayah penulis—bahwa setiap berziarah, Kiai Hamid senantiasa mengutamakan akhlaq. Sebagaimana ketika biasa mendawamkan ziarah makam gurunya—Habib Ja’far bin Syaikhon Assegaff—dan mertua sekaligus pamannya—KH Achmad Qusyairi Shiddiq—di pemakaman barat Masjid Agung Al-Anwar Pasuruan, Kiai Hamid selalu masuk dari arah yang menunjukkan posisi kaki dan duduk agak menjauh dari kijing makam. Ini sangat berbeda dengan kebanyakan orang dalam berziarah makam ulama atau wali selalu berebut posisi paling dekat dengan kepala.

Demikianlah, biar sangat terlambat tapi penulis bersyukur pada akhirnya dikaruniai kemampuan untuk mengungkap salah satu fakta kecil diseputar peristiwa besar mangkatnya orang besar yang mantan ketua umum pengurus besar organisasi besar. Semoga hal ini tercatat sebagai termasuk mengingat ulama dan orang-orang besar yang akan mendatangkan rahmat, idz bidzikrihim tatanazzalur rahamat. Amin. [dutaislam.or.id/ab]

M Zainal A Khosyi’in, penulis buku Perintah Perang Suci (2015)

Iklan