Fakta saat pemakaman Gus Dur. Foto: istimewa. |
Dutaislam.or.id - Acapkali mendapat undangan
ceramah di Malang, Prof DR KH Ali Maschan Moesa, M.Si (Wakil Rois Syuriyah PWNU
Jawa Timur) singgah dan menghampiri untuk mengajak penulis mendampingi beliau. Setiap
masuk rumah sebelum duduk beliau selalu saja tertegun memandangi demikian dalam
foto yang menggambarkan jasad mulia KH Abdurrohman Wahid (Gus Dur) berjalan
dari tangan ke tangan sejak diturunkan dari mobil ambulans hingga memasuki
Masjid Ulul Albab Pesantren Tebuireng untuk disholatkan sambil bergumam, “sungguh
karunia luar biasa mendapat amanah tidak sengaja mengimami sholat jenazah Gus
Dur”.
Kiai Ali—demikian biasa
penulis menyapa beliau—lantas bercerita—sesuatu yang telah berkali-kali beliau
tuturkan tetapi tetap saja penulis dengan semangat mendengarkannya seolah baru
pertama kali beliau menceritakan—bahwa setelah wafat pada Rabu tanggal 30
Desember 2009 pukul 18.40 WIB di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta, pihak
keluarga—menuruti permintaan Gus Dur sendiri—memutuskan untuk memakamkan Gus
Dur di Maqbarah Tebuireng yang berada
dalam komplek Pesantren Tebuireng Jombang tempat dimana jasad mulia Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari
(kakek), Nyai Nafiqoh (nenek), KH A Wahid Hasyim (ayah), Nyai Sholihah Bisri
(ibu) dan kerabat Tebuireng lainnya diistirahatkan dari kepayahan dunia.
Sejurus setelah itu komplek
Pesantren Tebuireng Jombang telah sesak dengan peziarah dari berbagai penjuru
dan Kiai Ali—yang ketika itu seperti biasa setiap hari sabtu, ahad dan hari
libur berada di Surabaya karena libur tidak ada aktifitas kelegislatifan dalam
kapasitasnya sebagai Anggota Komisi 8 DPR RI 2009-2014—pagi-pagi sudah berada
di Tebuireng sekalian menjenguk salah satu putrinya yang sedang ngangsu
kaweruh di Pesantren Putri Tebuireng. Karena Masjid Ulul Albab—tempat
dimana jenazah Gus Dur telah ditunggu ratusan ribu takziyin untuk
disholati—berada satu komplek dengan pesantren putri tentu saja Kiai Ali
merupakan sedikit kiai dari ribuan kiai pentakziyah yang dengan mudah mencapai
masjid.
Maka ketika keranda berbalut
merah putih yang membawa jenazah Gus Dur yang diusung dan dikawal sepasukan TNI
berhasil mencapai mihrob masjid setelah sejaman lebih susah paya menyibak
ratusan ribu pentakziyah yang terus berusaha berada paling dekat dengan jasad
mulia Gus Dur tetapi sholat jenazah tidak kunjung dimulai dikarenakan menunggu
sang imam sholat jenazah yang telah ditunjuk pihak Pesantren Tebuireng
terblokade tidak bisa masuk masjid. Melalui telepon seluler KH Shalahuddin
Wahid lantas menanyakan kepada petugas tentang siapa saja kiai yang berada
didalam masjid, petugas menyebut KH Ahmad Mustofa Bisri—yang memang sejak
berangkat dari kediaman Gus Dur di kawasan Warung Silah Ciganjur Jakarta terus
berada mendampingi pihak keluarga—dan KH Ali Maschan Moesa. Karena KH Ahmad
Mustofa Bisri sudah bersholat jenazah di Ciganjur dan sedang batal wudlu’ maka
amanah itupun jatuh kepada KH Ali Maschan Moesa
Pentakziyah yang terus
menangis dan tidak jarang histeris itu sudah berkali-kali dikomando melalui
pengeras suara untuk tenang karena sholat segera dimulai. Pihak keluarga
Tebuireng, pengurus masjid, Banser dan bahkan TNI bergantian berusaha
menenangkan gemuruh umat, sampai akhirnya KH Ali Maschan Moesa berteriak lantang
; “Allohumma sholli alaa Muhammad! Monggo
sholat jenazah dimulai nggee...?!!”. Pentakziyahpun secara kuur menyahut ; “Nggggeeee...!!!”
Siapapun yang dikaruniai
kesempatan bisa hadir untuk mengikuti sholat jenazah di Masjid Ulul Albab pada
saat itu pasti merasakan atmospir kesedihan dan duka teramat sangat dalam
karena kepergian Gus Dur. Penulis yang saat itu berada dilantai II Masjid Ulul
Albab dapat menyaksikan betapa untuk memasuki masjid saja dibutuhkan kekuatan himmah
untuk semata memberikan penghormatan terakhir kepada Gus Dur. Dan pasti untuk
menenangkan ratusan ribu pentakziyah yang sangat larut dalam duka mendalam itu dibutuhkan
kekuatan supranatural yang hebat.
Kiai Ali setiap habis
menceritakan hal tersebut senantiasa mengijazahkan suatu amalan yang bisa
membantu setiap kita dalam kondisi terjepit dan kepepet seolah Kiai Ali tahu
bahwa penulis tidak pernah sanggup menyelesaikan ijab qobul ijazah dengan mengatakan qobiltu. Ya bagaimana penulis sanggup menjawab qobiltu, sementara jiwa dan perasaan penulis setiap mendengar
cerita itu terbawa pada situasi sangat
syakral dan khidmad di pagi Kamis 31 Desember 2009 itu.
Tidak itu saja, memori penulis langsung saja
tersambung dengan situasi di saat kapundutnya guru ayah penulis,
H.M.Nashiruddin Kholil, seorang wali besar abad 20 yang adalah keponakan Rois
Aam PBNU almaghfurlah KH Achmad Shiddiq yaitu KH Abdul Hamid bin
Abdullah bin Umar Pasuruan pada Sabtu dinihari, tanggal 9 Robiul Awal 1403 H
bertepatan dengan 25 Desember 1982, dalam usia
70 tahun menurut hitungan hijriyah atau 69 tahun menurut hitungan miladiyah.
Sebagaimana dituturkan secara
apik oleh Hamid Ahmad dalam buku “Percik-Percik Keteladanan Kiai Hamid
Pasuruan” : Kabar (kewafatan Kiai Hamid) pun segera menyebar, lewat radio,
dari mulut kemulut dan dari telpon ke telpon. Umat datang berbondong-bondong
untuk melayat ke rumah duka sejak pagi. Mereka berasal dari berbagai penjuru.
Umumnya seperti tak percaya Kiai Hamid meninggal. Mereka menangis, mereka
histeris. Melihat begitu banyaknya pelayat, pihak keluarga tidak mau ambil
resiko. Khawatir rusak jadi rebutan, kerandanya diikat kuat-kuat
Menjelang Ashar, keranda dibawa ke masjid.
Keranda itu berjalan dari satu tangan ketangan lain karena orang tak bisa
berjalan, saking padatnya. Terjadi tarik menarik di antara mereka. Misalnya,
ketika hendak keluar dari komplek pondok, sebagian orang hendak membawanya
keluar dari gerbang barat, sebagian lainnya ke arah gerbang timur. Sampai di masjid pun begitu. Terjadi tarik
menarik sehingga beberapa kali orang melanggar(?) jendela masjid. Konon, dari
rumah ke masjid dibutuhkan waktu hingga dua jam (padahal jarak kediaman Kiai
Hamid di komplek Pondok Salafiyah dengan Masjid Agung Al Anwar hanya sekitar
setengah kilo saja, pen.)
Dilaporkan, jamaah yang
menyalati meluber. Tidak hanya ke alun-alun depan masjid, tapi terus ke timur
hingga perempatan PLN (sekitar 100 meter), dan memenuhi Jalan Niaga hingga ke ujung utara dan ruas-ruas
Jalan Nusantara hingga ke ujung selatan (dua jalan ini
merentang dari utara ke selatan sepanjang 1 km). Diperkirakan jumlah mereka
mencapai ratusan ribu orang. KH Ali Maksum (Rois Aam PBNU yang adalah karib
Kiai Hamid, pen.) bertindak sebagai imam sholat.
Setelah sholat Ashar, jasad beliau
disemayamkan di kompleks makam sebelah barat masjid Agung Al Anwar Pasuruan.
Kompleks ini memang diperuntukkan bagi para kiai dan habaib. Di sana antara lain ada makam Habib
Ja’far bin Syaikhon Assegaf (guru beliau), Kiai Achmad Qusyairi (paman
sekaligus mertua beliau) dan Kiai Achmad bin Sahal (ipar beliau).
Waba’du. Mensejajarkan dan menyebut
KH A Hamid Abdulloh dan KH Abdurrohman Wahid dalam satu tariakan nafas rasanya
tidak berlebihan. Sekalipun dengan citra yang berbeda, kebanyakan orang
utamanya yang mengenal dekat beliau berdua, sama-sama meyakini jika keduanya
adalah wali Allah. Sekalipun Gus Dur tidak ada kedekatan personal dengan Kiai
Hamid, tapi orang-orang terdekat Gus Dur semisal KH Achmad Shiddiq (Rois Aam
PBNU seperiode
dengan Gus Dur ketika menjadi Ketua Umum PBNU), KH Ali Maksum (guru Gus Dur)
dan KH Hamim Jazuli (Gus Mik Kediri) adalah kerabat dan teman dekat Kiai Hamid.
Jika ditelusuri lebih jauh,
Kiai Hamid dan Gus Dur mempunyai kebiasaan yang sama: suka berziarah ke makam ulama dan terutama
wali. Konon saking terbiasanya Gus Dur ziarah makam Sunan Ampel, sampai-sampai
KH Nawawi (dzurriyah Sunan Ampel dan imam besar Masjid Agung Sunan Ampel
sebelum tahun 2000-an) hafal betul kapan Gus Dur mesti datang berziarah sehingga Kiai Nawawi mesti
tidak diberitahu sebelumnya sudah menunggu kedatangan Gus Dur di pusara makam Sunan Ampel.
Gus Dur pula—ketika menjabat
Presiden RI—yang memasyhurkan makam Sayyid Ibrohim as-Samarqondi (orang
Jawa menyebutnya Maulana Ibrohim Asmorokondi) di Palang, Tuban. Pun Komplek Pemakaman
Troloyo di mana Sayyid Jamaluddin Husein (lebih karib dengan Syekh
Jumadil Kubro) di Mojokerta dimasyhurkan Gus Dur dengan menyebut bahwa
moyangnya yang berasal dari China yang bernama Tan Kim Han (didefinisikan
orang sebagai Syekh Abdul Qodir as-Shiniy),
dimakamkan di Troloyo juga.
Adapun perihal kebiasaan Kiai
Hamid berziarah makam ulama, ada fakta menarik—sebagaimana disebutkan dalam
buku Percik-Percik Keteladanan Kiai Hamid dan cerita ayah penulis—bahwa setiap
berziarah, Kiai Hamid senantiasa mengutamakan akhlaq. Sebagaimana ketika biasa
mendawamkan ziarah makam gurunya—Habib Ja’far bin Syaikhon Assegaff—dan mertua
sekaligus pamannya—KH Achmad Qusyairi Shiddiq—di pemakaman barat Masjid Agung
Al-Anwar Pasuruan, Kiai Hamid selalu masuk dari arah yang menunjukkan posisi
kaki dan duduk agak menjauh dari kijing makam. Ini sangat berbeda dengan
kebanyakan orang dalam berziarah makam ulama atau wali selalu berebut posisi
paling dekat dengan kepala.
Demikianlah, biar sangat
terlambat tapi penulis bersyukur pada akhirnya dikaruniai kemampuan untuk
mengungkap salah satu fakta kecil diseputar peristiwa besar mangkatnya orang
besar yang mantan ketua umum pengurus besar organisasi besar. Semoga hal ini
tercatat sebagai termasuk mengingat ulama dan orang-orang besar yang akan
mendatangkan rahmat, idz bidzikrihim tatanazzalur rahamat. Amin. [dutaislam.or.id/ab]
M Zainal A Khosyi’in, penulis buku Perintah
Perang Suci (2015)