Dutaislam.or.id - Sebagaimana dijelaskan dalam site resminya, Yayasan Majelis Tafsir Al-Qur’an (MTA) adalah sebuah lembaga pendidikan dan dakwah Islamiyah yang berkedudukan di Surakarta. MTA didirikan oleh Almarhum Ustadz Abdullah Thufail Saputra di Surakarta pada tangal 19 September 1972 dengan tujuan untuk mengajak umat Islam kembali ke Al-Qur’an. Sesuai dengan nama dan tujuannya, pengkajian Al-Qur’an dengan tekanan pada pemahaman, penghayatan, dan pengamalan Al-Qur’an menjadi kegiatan utama MTA.
Organisasi yang sekarang dipimpin oleh Ahmad Sukino ini, meskipun bertujuan melakukan pengkajian Al-Qur’an dengan tekanan pada pemahaman, penghayatan, dan pengamalan Al-Qur’an, namun dalam prakteknya cara pemahamannya sangat dangkal dan cenderung memahami sesuai keinginan nafsunya untuk membid’ahkan dan mengkufurkan orang Islam. (Baca: Catat Gembong Salafi Wahabi di Indonesia)
Meskipun sering menyalahkan dan membid’ahkan orang, ternyata organisasi ini tidak kebal kritik atau tidak mau diluruskan apalagi disalahkan. Salah satu buktinya, pada Pengajian di Wonosobo dalam tri wulanan jamaah tariqoh Naqsabandiyah-Kholidiyah, Gus Zuhrul Anam Pondok Pesantren Leler Banyumas, salah seorang menantu Mbah Kyai Maimun Zubair Sarang dan murid Abuya Sayyid Muhammad Alwy al Maliki, bercerita bahwa beliau baru saja didatangi kelompok garis keras MTA (Majelis Tafsir Al-Quran).
MTA menyatakan keberatan dengan pengajian-pengajian Gus Anam yang sering menyinggung-nyinggung MTA. Gus Anam menjawab, bahwa dia menyinggung ajaran MTA hanya sekadar menggunakan hak jawab, karena ceramah-ceramah MTA sering membid’ahkan dan menyesat amaliah-amaliah umat Islam, khususnya NU. Gus Anam menyarankan agar MTA tidak usah menyinggung-menyinggung soal khilafiah dalam dakwahnya.
MTA tetap tidak bisa menerima penjelasan Gus Anam. Gus Anam kemudian mengusulkan debat terbuka di Banyumas difasilitasi perguruan tinggi dengan guru-guru atau tokoh MTA. Debat disiarkan langsung di TV, diliput wartawan-wartawan untuk membuktikan siapa yang benar. MTA tidak mau, alasannya agama bukan untuk debat-debatan.
Gus Anam menjawab yang membuat masalah terlebih dahulu bukan dirinya, tapi MTA. Dan di dalam Qur’an disebutkan “wa jadilhum billatiy hiya ahsan”. (Baca: Membongkar Dusta Buku Salafi Wahabi)
Meski sudah dijelaskan panjang, MTA tetap memaksa Gus Anam jangan menyinggung-nyinggung lagi MTA dalam tiap pengajiannya. Bosan bertemu dengan orang-orang bodoh tapi ngeyel, Gus Anam akhirnya mengambil kitab, tokoh-tokoh MTA disodori kitab diminta membaca kitab tersebut. Mengetahui akan dites bahasa Arab dan pengetahuan agamanya, rombongan MTA langsung bersiap pamit.
Cerita ini, seperti cerita-cerita lain tentang tokoh-tokoh Wahabi yang sering lari bila diajak berdebat atau berdiskusi sehat untuk membuktikan hujjah siapa yang sahih dan benar, bukan dalam rangka merendahkan mereka, namun agar kita semua tidak mudah terlena dengan jargon kembali kepada Al Qur’an dan Hadits.
Terlebih bila jargon itu dipekikkan oleh orang yang tidak bisa dimintai pertanggungjawaban ilmu yang dimilikinya, dan hanya berani bermain petak umpet, seperti anak kecil yang tidak perlu diladeni apalagi digugu dan ditiru. Wallahu a’lam bish shawwab. [dutaislam.or.id/ab]
Terlebih bila jargon itu dipekikkan oleh orang yang tidak bisa dimintai pertanggungjawaban ilmu yang dimilikinya, dan hanya berani bermain petak umpet, seperti anak kecil yang tidak perlu diladeni apalagi digugu dan ditiru. Wallahu a’lam bish shawwab. [dutaislam.or.id/ab]