Oleh M Abdullah Badri
Dutaislam.or.id - Ada yang distorsif ketika sejarah ditulis bukan oleh pelaku
atau tidak didengar langsung dari aktor utama. Sejarah Madrasah Taswiquth
Thullab Salafiyah (TBS) Kudus pernah mengalami pengaburan fakta karena ditulis
bukan oleh alumni. Kata KH. Choirozyad TA, penulis sejarah TBS yang serampangan
itu pernah dijewer oleh pengurus karena ditayangkan di dunia maya tanpa
verifikasi data berbasis jurnalisme keterangan yang matang.
Pada waktu itu, Kyai Noor Khudlrin, tinggal di sebelah Barat
KH. Ma’mun Ahmad, didatangi oleh alumni dari al-Azhar. Namanya Kyai Abdul Muhith
bin Rahmat, aslinya mukim di depan masjid Langgar Dalem, Kudus. Dalam pertemuan
tersebut,[1]
ia merasa prihatin di Kudus tidak ada madrasah formal.
Baca: Mantan Ketua DPRD Kudus Pernah Jadi Ketua IKSAB
Baca: Mantan Ketua DPRD Kudus Pernah Jadi Ketua IKSAB
Keinginan Kyai Muhith di atas diamini oleh Kyai Noor Khudlrin
dengan menyedikan lahan kosong di sebelah selatan Ponpes Tasywiquth Thullab
(sekarang bangunan MI TBS). Nama yang digunakan pun mengikuti nama pondok pesantren.
Terbentuklah madrasah pada 7 Jumadil Akhir 1347 H Tahun Alif, bertepatan 24
November 1928.
Madrasah Tasywiquth Thullab disingkat TB, bukan TT, karena
mengambil dua huruf depan dan belakang. Akronim tersebut sengaja digunakan
karena disamakan dengan tradisi penomoran dokar (andong) di Kudus pada waktu
itu yang menggunakan singkatan KS (KuduS). Karena Belanda masih menjajah nusantara,
Tasywiquth Thullab ditambah dengan kata school. Jadilah akronim TBS.
Selain Kyai Muhith, yang mengajar pertama kali di madrasah baru
tersebut adalah Habib Abdillah al-Jufri asli Yaman, dulu sebutan Habib Abdillah
adalah ulaiti (pendatang)[2].
Beliau adalah kakek pemilik Toko Murah Kudus dan juga kakek Habib Muhammad
Alatas bin Habib Muhsin Alatas yang punya banyak stasiun pompa bensin itu.
KH Nur Khudlrin memilih hanya mengurusi madrasah di luar
mengajar. Ini berbeda dengan Habib Abdillah dan Kyai Muhith, yang hanya
mengambil peran sebagai guru saja dan tidak masuk kepengurusan Madrasah TBS era
pertama. Yang menjadi pengurus TBS pertama ialah menantu KH Nur Khudzrin, yakni
KH. Abdul Jalil, keturunan KH Mutamakkin asli Bulumanis, Kajen, Pati. Ia pernah
lama ngaji dan tinggal di Makkah, Hijaz (sekarang Saudi Arabia).
KH Turaichan ditarik juga untuk mengajar, padahal usianya
masih 13 tahun. Karena paling muda, Kyai Turaichan merangkap posisi sebagai
pengajar sekaligus pelajar/murid. Pagi mengajar, siangnya diajar oleh Habib
Abdillah. Menurut Kyai Zad, Habib Abdillah kalau mengajar tafsir Jalalain kala itu
apal-apalan, artinya tanpa teks. Begitu juga Kyai Muhith, mengajarnya tidak
membawa kitab ke kelas. Apal-apalan. Atas dasar ini, KH Turaichan bisa disebut
sebagai pengajar pertama dan muthakhorrijin pertama.
Kakak Kyai Turaichan, Kyai Muslihan, juga mengajar di sana.
Ketika itu, sistem pengajaran masih menggunakan sifir awal, sifir tsani, sifir tsalits. Kemudian ada qismul awal hingga qismul khomis. Sampai tahun 1936, KH Ma’mun Ahmad belum sekolah di
Madrasah TBS. “Sejarah ini pernah saya buka pada Harlah TBS ke-88,” tutur KH. Choirozyad,
di rumahnya, Langgar Dalem 208, Kudus (22 April 2016).
KH Hadziq, paman Kyai Zad (kakak Kyai Turaichan), ayah almarhum
KH. Rofiq Hadziq, guru TBS yang juga imam shalat masjid Menara Kudus masih menjadi lurah pondok pesantren Tasywiquth Thullab, Baletengahan, Kudus.
Madrasah TBS memang mangambil dari nama pondok pesantren yang
dulu diasuh KH. Ahmad tersebut. Namun yang ikut berpartisipasi tentunya bukan
lurah, melaikan menantu beliau, yakni Kyai Nur Khudzrin dan Kyai Abdul Jalil,
menantu Kyai Nur Khudlrin. Dalam ingatan Kyai Zad, Kyai Hadziq juga belum
tercatat sebagai guru awal madrasah TBS.
“Kyai Rofiq kakak sepupu saya, baru pindah sekolah dari
Mua’awanatul Muslimin, Kenepan Kudus ke TBS itu waktu saya di kelas lima TBS.
Kyai Rofiq pindah dari Kenepan bersama Kyai Mansur dan Kyai Faiz. Semuanya satu
kelas dengan saya bersama Pak Afif, Pak Abdullah Zaini Nadhirun dan Pak
Sofwan Amir. Pak Chusnan mantan ketua PCNU Kudus sudah kelas enam,” jelas Kyai
Zad.
Sistem Pengajaran TBS
Awal
Pada awal berdiri, di TBS ada sistem yang dalam bahasa
Belanda disebut eksamen. Yakni semacam munaqosah atau imtihan siswa tahap
akhir. Yang didatangkan sebagai guru penguji dalam muwadda’ah (pamitan akhir tahun) untuk eksamen ini adalah Kyai Sholeh
Tayu, Pati, menantu Kyai Asnawi, Bendan, Kudus.[3]
Dengan sistem inilah, kata Kyai Choirozyad, lulusan kelas 5
madrasah ibtida’iyah TBS mutunya melebihi keluaran madrasah aliyah sekarang, bahkan
perguruan tinggi sekalipun. Buktinya, guru dan murid waktu itu kalau surat-menyurat
menggunakan bahasa Arab tanpa titik. Bahkan Kyai Tur sendiri, karena kualitas
yang mumpuni, bukan hanya mengajar falak saja, tapi juga fisika.
Surat-menyurat yang dimaksud bukan surat ijin, namun semacam
korespondensi ketika murid menemukan kemusykilan. Misalnya, ketika Kyai
Turaichan menemui kesulitan soal falakiyah, surat berbahasa Arab kadang ditulis
ke Mbah Jalil untuk mendapatkan jawaban. “Mbah Jalil terkenal ahli Ilmu Falak
karena lulusan Mesir juga,” papar Kyai Zad.
Cara lain yang ditempuh Mbah Tur untuk mendapatkan jawaban
kadang dengan membuat al-manak versi masing-masing. Lalu diperbandingkan.
Ketika itu, al-manak Mbah Jalil jadi rujukan penanggalan Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama (PBNU), Jakarta. Mbah Jalil inilah yang tercatat sebagai
penyusun “Ahkamul Fuqoha”, buku kumpulan hasil Muktamar waktu menjabat Katib
Syuriah PBNU, kala Hadzratus Syaikh Hasyim As’ary masih menjadi Rais Akbar
dengan Ketua Tanfidziyah pertama KH. Hasan Gipo alias Tsaqifuddin (menjabat
1926-1952).
Dulu, Madrasah TBS punya jargon “Memperbanyak Ilmu dan
Mengurangi Kebodohan”. Kalimat itu dipilih karena jawami’ul kalim (kalimat luas yang mencakup semua hal terkait
dengannya). Adalah tidak mungkin menghabiskan ilmu Allah. Begitu juga tidak
mungkin memberantas kebodohan secara total. Di dunia ini, pasti ada bodoh dan
pintar.
Dari School ke Salafiyah
Seiring berjalannya waktu, KH. Abdul Jalil, menginginkan
agar akronim “S” diubah mengingat Belanda sudah tidak lagi bercokol di
Indonesia. Penambahan nama school sendiri dulunya yang membuat adalah Kyai
Jalil. Penyertaan school di belakang Tasywiquth Thullab berjalan sejak berdiri
hingga tahun 1970.
Ada yang usul mengganti school dengan kata Sunniyah dan
Salafiyah. Kehendak tersebut diajukan oleh dua orang perwakilan dewan guru, yakni
KH. Machin (alm) dan KH. Sya’ban (alm) ke KH Turaichan Tajus Syarof[4]
yang waktu itu menjadi penasehat aktif[5] Madrasah
TBS (sudah tidak mengajar sekitar tahun 60-an). Kebetulan yang mendampingi adalah
KH Choirozyad.
Pergantian kata school, menurut perwakilan dewan guru itu,
dianggap perlu karena Indonesia sudah merdeka dan tidak pantas kalau nama
madrasah kebelanda-belandaan. Pertimbangan pemilihan antar dua kata diajukan secara
resmi ke penasehat agar singkatan TBS masih tetap namun akronimnya diganti,
bukan school lagi.
Menurut Kyai Turaichan, sunniyah dan salafiyah artinya sama,
yakni sama-sama positif. Namun, salafiyah dipilih karena mengikuti nadzam: fatabiis sholiha mimman salafa, wa janibil
bid’ata mimman khalafa - wakullu khairin fit tiba’i man salaf, wakullu syarrin
fib tida’i man khalaf. Artinya: ikutilah orang shaleh dari zaman dahulu,
jauhilah hal-hal baru dari masa kekinian – segala yang baru itu mengikuti orang
dahulu, dan segala yang buruk itu karena bid’ah orang sekarang.
Riyadlah Para Kyai
Para pendiri dan guru-guru di awal Madrasah TBS dijalankan,
selain alim dan lulusan Timur Tengah semua (Makkah, Yaman dan Mesir), mereka
adalah orang-orang yang ahli riyadlah
atau tirakat (topo broto). Para guru zaman dahulu tidak pernah membawa uang
banyak ke sekolah karena habis digunakan untuk membeli kitab.
“Bahkan ibu saya itu dulu yang paling kerja keras karena
Bapak sibuk ngajar. Pagi mbordir, sore dapat uang, saya yang kemudian membeli
minyak gas, beras, gula untuk kebutuhan sehari-hari,” ujar Kyai Zad.
Jadi, bisyaroh mengajar di TBS tidak cukup untuk kebutuhan
hidup. Paling-paling dan kadang kala mendapatkan bonus dari mengajar kalau mau
mengambil kelapa hasil kebun TBS di dukuh Kajan Desa Krandon. Namun,
lama-kelamaan, buah kelapa itu kian menumpuk di sekolah karena kerepotan dibawa
pulang ke rumah oleh beberapa guru yang mengajar.
Saking lamanya, menurut Kyai Zad, kelapa banyak yang thukul (tumbuh) di sekitaran sekolah.
Akhirnya, KH Ma’mun Ahmad mengusulkan agar kelapa-kelapa tersebut dilelang
untuk keperluan para guru di sekolah: tumbas
wedang di sela-sela mengajar. Bahkan ada guru yang membawa uang saku untuk
kepentingan membeli peralatan sekolah semacam kapur dan buku tulis. “Meskipun
begitu, ternyata ada juga yang tega menuduh guru mencuri uang sekolah. Sampai
sekarang beliau sehabis sholat selalu saya kirimi Fatihah,” kenangnya.
Atas dasar kondisi inilah. KH. Abdul Jalil memperjuangkan
adanya uang masuk dari murid melalui sistem i’anah
syahriyah (iuran bulanan). Terjadi polemik antara pendiri, KH Muhith,
dengan Kyai Abdul Jalil, pengurus TBS era itu. Menurut Kyai Muhith, orang yang
ngaji agama tidak etis ditarik iuran dengan alasan apapun. Kyai Muhith menjamin
seluruh penghasilan sawahnya akan diberikan semua kepada para guru yang
mengajar di TBS.
Kyai Jalil membalas, sawah tidak bisa selamanya dijadikan
jaminan pemasukan madrasah terutama ketika mengalami gagal panen. Makan itu
pasti, sawah itu tidak pasti memberikan keuntungan. Komunikasi berjalan dinamis
dan alot antar keduanya hingga berujung pada pengunduran Kyai Muhith karena
Kyai Jalil bersikukuh menjalankan rencana i’anah.
Setelah mundur dari TBS, Kyai Muhith mendirikan sekolah
Ma’ahid, yang memang di awal-awal berdirinya tidak ada tarikan i’anah karena
sawahnya sudah mencukupi kebutuhan sekolah. “Jadi mundurnya Kyai Muhith itu bukan
masalah akidah. Murni hanya perbedaan aturan sistem organisasi,” papar Kyai Choirozyad.
Jika ditelusuri, Kyai Muhith itu tidak berafilasi kepada NU
maupun Muhammadiyah. Menurut keterangan almarhum Kyai Ma’ruf sepuh dan Kyai
Hambali, yang keduanya pernah mengajar di Ma’ahid, Kyai Muhith itu sering
bilang “tidak hapal tahlilan” ketika diminta memimpin hajatan tahlilan masyarakat
sekitar. Dari sini, kedua kyai sepuh itu menyebut Kyai Muhith “kualat dengan
tahlilan” sehingga keturunannya banyak yang anti tahlil hingga Ma’ahid berubah
dari niat awal berdirinya, seperti sekarang ini.
Menurut keterangan penjaga kebersihan makam di Krapyak,
sebagaimana dituturkan oleh ustadz Arif, guru MTs TBS sekarang, tidak ada yang
menziarahi makam Kyai Muhith kecuali anak-anak TBS waktu harlah dilaksanakan.
“Baru dua kali harlah, siswa TBS ziarah ke makam Kyai Muhith,” ujar Arif.
Jika Kyai Muhith dimakamkan di kompleks pemakaman umum
Krapyak, Kyai Jalil makamnya ada di Makkah, wafat ketika menjalankan ibadah
haji. Sebagai ganti, bisa ziarah ke makam putranya, yakni Kyai Hamdan, di
Krapyak, alumni TBS juga . Kyai Hamdan inilah yang dulu ketika di Mesir
seangkatan dengan almarhum Gus Dur, Gus Mus, dan Kyai Farouk Tamyiz (alumni TBS
yang sekarang berdomisili di Belanda).
Guru-guru TBS dari awal hingga akhir inilah yang harus
dihormati dan diingat, diziarahi makamnya, dikirimi doa tahlil dan Fatihah bagi
yang sudah meninggal. Antara lain, guru TBS era awal adalah Pak Muhdi, pemilik
Toko Kitab al-Muhdi Kudus. Lalu ada Pak H Machin, toko kertas Jl. Sunan Kudus.
Pak Kyai Dahlan, ayah Kyai Halim Piji, Kudus, juga pernah menjadi guru TBS.
Bahkan kalau perlu, para guru tersebut bisa dituliskan
sejarah dan peran-peran penting mereka di masyarakat. Gunanya agar tidak ada
tadlis (pengaburan) dan pembelokan sejarah atas nama kepentingan
kelompok.
Jika tidak ada yang menulis, maka, sejarah hanya akan
menjadi dzikrul hawadits (cerita
dongeng) atas dasar qila wa qila
(katanya dari katanya atau konon kabarnya). Akhirnya menjadi lemah karena tidak
didukung fakta sejarah yang kuat. “Sejarah TBS itu bisa dirunut. Bulan, hari,
pasaran hingga sri-nya ada semua,” ujar KH Choirozyad. [dutaislam.or.id/ab]
[1]
Kakak KH Ma’mun bin Ahmad, bernama Muslimatun diperistri KH Nur Khudlrin, paman
dari Ibu Na’iyul Khoth, istri guru dan alumnus TBS KH Arwan, Dawe, Kudus.
[2]
Ada dua habib asli dari Yaman yang mukim di Kudus, yakni Habib Abdullah bin
Umar Ba’aqil dan Habib Abdillah al-Jufri. Yang pertama bergelut di bidang ekonomi,
yang kedua di pendidikan, mengajar di TBS.
[3] Putra Kyai Sholeh, yakni Kyai Mujib adalah menantu
Mbah Asnawi dari putri hasil pernikahan dengan istri kedua, Hamdanah, janda
muda Mbah Nawani Banten. Istri Mbah Asnawi ada dua, yang pertama, Mbah Dasih bin
Abdullah Faqih yang memiliki putra bernama Kyai Zaini. Kedua, Ibu Hamdanah asli
Semarang, istri kedua Mbah Asnawi yang dinikahi pada usia 16 tahun atas wasiat
gurunya Mbah Nawawi Banten, punya putra Mbah Zuhri lalu melahirkan Pak Minan,
Pak Ni’am, Bu Alawiyah dan istrinya Kyai Mujib Sholeh, Tayu, Pati.
[4]
Nama Tajus Syarof ini adalah singkatan dari Turaichan bin Adjhuri (Ta-J,
bermakna mahkota, adalah singkatan dari Turaichan bin Ajhuri) dan Sarofuddin,
kakek KH Turaichan. Penamaan ini dipakai setelah pulang haji pada tahun 1969. Nama
ini belum digunakan ketika Kyai Turaichan menduduki jabatan sebagai anggota
konstituante pada 1955, berkantor di Bandung, Jawa Barat.
[5]
Maksud aktif disini adalah tetap memantau berjalannya kepengurusan madrasah
dengan kontrol. Baik diminta oleh guru/dewan guru ataupun tidak. Pernah suatu
saat, Mbah Tur mendengar siswa TBS melafalkan tasfrifan fa’lan disebut sebagai isim
masdar. Guru yang mengajar Nahwu-Shorof ketika itu, tanpa diminta, langsung
dikirimi surat oleh Mbah Tur menggunakan bahasa Arab. Intinya, surat itu
menegur secara halus dan menrangkan jika apa yang diajarkan itu kurang pas.
Tidak ada isim masdar. Yang ada sebetulnya adalah masdar ghoiru mim. Penyebutan salah tersebut sangat dipedulikan
Mbah Tur.