Siapakah Hizbut Tahrir? Foto: Ahlussunnah wal Jamaah Research Group |
Oleh Muzani Al-Fadany
Dutaislam.or.id - Hizbut Tahrir (HT), kelompok ini didirikan di kota Al-Quds
(Yerusalem) pada tahun 1372 H (1953 M) oleh seorang alumnus Universitas Al-Azhar
Kairo (Mesir) yang berakidah Maturidiyyah dalam masalah asma` dan sifat Allah, dan berpandangan Mu’tazilah dalam sekian
permasalahan agama.
Dia adalah Taqiyuddin An-Nabhani, warga Palestina yang
dilahirkan di Ijzim Qadha Haifa pada tahun 1909. Markas tertua mereka berada di
Yordania, Syiria dan Lebanon (Lihat Mengenal
HT, hal. 22, Al-Mausu’ah Al-Muyassarah, hal. 135, dan Membongkar Selubung Hizbut Tahrir (1) hal. 2, Asy-Syaikh
Abdurrahman Ad-Dimasyqi). Bila demikian akidah dan pandangan keagamaan pendirinya,
lalu bagaimana keadaan HT itu sendiri?! Wallahul
musta’an.
Dewasa ini banyak orang yang kagum dengan kesungguhan dan
tekad yang kuat dari teman-teman di Hizbut Tahrir. Tapi maaf, adakah selama ini
kita mengetahui bahwa Hizbut Tahrir telah menyimpang dari koridor Islam? Baik
al-Quran maupun as-Sunnah?. Ada beberapa hal yang perlu dipertanyakan dalam
ajaran Hizbut Tahrir, dimana bahkan kader Hizbut Tahrir sendiri tidak
mengetahuinya. Beberapa hal diantaranya akan kita kupas.
Hizbut Tahrir
Mengingkari Qadha dan Qadhar Allah
Dalam rangka meyakinkan masyarakat awam, dan tegaknya negara
Islam di negeri ini, tak jarang Hizbut Tahrir berdalil dengan al-Qur’an dan
al-Hadits. Sekalipun mereka sering berdalih demi agama (Islam) dan
mengatasnamakan diri pembela agama Tuhan, namun pemahaman mereka hanya sebatas
asumsi pribadi dan interpretasi atas teks agama yang tak berpijak pada referensi
yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Dalil yang mereka lontarkan kerap kali melenceng dari
mainstream pendapat ulama klasik. Bagi orang yang tidak mengenal secara
mendalam tentang kelompok Hizbut Tahrir, tentu akan menganggap tujuan mereka
yang ingin mendirikan Khilafah Islamiyyah sebagai cita-cita mulia. Namun bila
mengkaji lebih jauh siapa mereka, siapa pendirinya, bagaimana asas
perjuangannya dan sebagainya, kita akan tahu bahwa klaim mereka ingin
mendirikan Khilafah Islamiyyah ternyata tidak dilakukan dengan cara-cara yang
Islami.
Masalah pertama yakni masalah aqidah, dimana kita tahu bahwa
aqidah merupakan kunci utama atau pondasinya umat Islam, apabila aqidah rusak
maka rusaklah ibadah, hal ini sudah menjadi ijma’ para ulama. Ada beberapa
masalah mengenai aqidah Hizbut Tahrir yang sudah tidak dapat diterima lagi dan
menyalahi al-Quran dan as-Sunnah.
Beberapa diantaranya mengenai pengingkaran Hizbut Tahrir
terhadap adanya Qadha dan Qadar Allah, begitu pula dengan pengingkaran Hizbut
Tahrir terhadap adanya hidayah yang diberikan Allah kepada makhluknya, akan
tetapi Hizbut Tahrir meyakini bahwa hidayah merupakan hasil usaha manusia,
bukan merupakan pemberian Allah. Taqiyyuddin al-Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir,
menegaskan dalam kitabnya:
“Mengkaitkan pahala
dan siksa dengan petunjuk dan kesesatan menjadi dalil bahwa hidayah (petunjuk)
dan kesesatan itu sebenarnya termasuk perbuatan manusia dan bukan datang dari
Allah” (Taqiyyuddin al-Nabhani, al-Syakhshiyyat
al-Islamiyyah, juz 1, (Qudus: Mansyurat Hizb al-Tahrir, 1953), hlm. 71-72.)
Dari pernyataan an-Nabhani di atas maka timbullah beberapa
kesimpulan, yakni:
- Bahwa perbuatan manusia sama sekali tidak ada kaitannya dengan perbuatan Allah, karena manusia berbuat sesuai dengan kehendaknya.
- Bahwa petunjuk (hidayah) Allah dan kesesatan (dhalal) juga merupakan hasil usaha manusia dan tidak ada kaitannya dengan Allah, melihat bahwa manusia berbuat sesuai dengan kehendaknya.
Hal ini jelas menyalahi al-Quran, Hadits dan pendapat jumhur
‘ulama, mengapa?
Pertama, apabila
kita merujuk kepada al-Quran, as-Sunnah dan pendapat jumhur ulama maka kita
akan menemukan bahwa perbuatan manusia jelas ada kaitannya dengan Qadha, Qadar
dan kehendak Allah, sebagaimana Allah berfirman:
“Allah-lah yang
menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” (QS. al-Shaffat : 96).
Begitu juga dengan sabda Nabi :
Ibn Umar berkata, bahwa Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda: “Segala sesuatu itu terjadi dengan ketentuan Allah, sampai
kebodohan dan kecerdasan”(HR. Muslim, (hadits no. 4799) dan Ahmad, hadits no.
5627)
Kedua, begitu juga
dengan keyakinan Hizbut Tahrir yang menyatakan bahwa hidayah dan kesesatan
merupakan hasil usaha dari manusia, tidak datang dari allah, maka pernyataan
ini juga jelas menyalahi firman-firman Allah, diantaranya :
“Maka siapakah yang
akan menunjuki orang yang telah disesatkan Allah?” (QS. al-Rum : 29).
Allah Subhanahu wa Ta’ala uga berfirman tentang perkataan
Nabi Musa ‘Alaihis Salam:
“Itu hanyalah cobaan
dari Engkau, Engkau sesatkan dengan cobaan itu siapa yang Engkau kehendaki dan
Engkau beri petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki.” (QS. al-A’raf :
155).
Dari nash-nash di atas maka jelaslah bagi kita bahwa
keyakinan atau aqidah Hizbut Tahrir telah menyalahi apa yang telah menjadi
ketetapan, baik dari al-Quran maupun hadits.
Ketidakyakinan mereka terhadap Qadha dan Qadar Allah
disebabkan karena sifat berlebih-lebihan mereka dalam memperjuangkan khilafah,
dimana dalam banyak hadits dinyatakan bahwa khilafah kiranya sudah mustahil
adanya berdasarkan ketetapan Allah. Dalam hal ini Rasulullah Shollallohu
‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam bersabda:
“Dari Abdullah bin
Mas’ud Radhiyallohu ‘Anhu, berkata, Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda: “Bagaimana kondisi kalian, ketika fitnah (jalan yang keliru)
menyelimuti kalian dan dijadikan sebagai jalan yang baik. Pada waktu itu, anak
kecil cepat menjadi dewasa, dan orang dewasa cepat menjadi tua. Apabila fitnah
itu ditinggalkan, maka akan dikatakan telah meninggalkan jalan yang baik.”
Mereka bertanya: “Kapan hal itu terjadi wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab:
“Apabila banyak orang yang pandai pidato, tetapi sedikit orang yang mengerti
agama. Banyak pemimpin negara, tetapi sedikit yang dapat dipercaya. Amal
akhirat dilakukan untuk mencari dunia, dan ilmu agama dipelajari bukan karena
Allah.”
Hadits di atas mengisyaratkan tentang akan lenyapnya
kepemimpinan sentral kaum muslimin, yang disimbolkan dengan sistem khilafah.
Al-Imam al-Hafizh al-Hujjah Ahmad bin al-Shiddiq al-Ghumari al-Hasani berkata,
hadits tersebut merupakan tanda-tanda akan terjadinya kiamat, di mana umat
Islam dipimpin oleh sekian banyak kepala negara. Di jazirah Arab saja, terdapat
lebih dari dua puluh amir, sebagai akibat dari kolonialisme Barat (Al-Hafizh Ahmad
bin al-Shiddiq al-Ghumari al-Hasani, Muthabaqat
al-Ikhtira’at al-‘Ashriyyah lima Akhbara bihi Sayyid al-Bariyyah, Kairo,
Maktabah al-Qahirah, hal. 43. Hadits di atas diriwayatkan oleh al-Darimi, Abu
Nu’aim, al-Hakim dan lain-lain).
Nah karena berdasarkan ketetapan Allah mustahil adanya
khilafah maka dari sinilah kemudian Hizbut Tahrir tidak meyakini adanya Qadha
dan Qadar Allah, guna melegalitaskan perjuangannya yang berdampak sangat
negatif terhadap keimanannya.
Hizbut Tahrir
Mengingkari Siksa Kubur
Kemudian mengenai adanya siksa kubur, dalam hal ini Hizbut
Tahrir tidak mengakui adanya siksa kubur. Pernyataan tersebut dapat kita lihat
dalam buku ad-Dausyiah (kumpulan fatwa-fatwa Hizbut Tahrir mengenai hadis siksa
kubur).
Menurut buku tersebut, meyakini siksa kubur yang terdapat
dalam hadist tersebut ialah haram, karena hadis tersebut merupakan hadist Ahad,
akan tetapi boleh membenarkannya (dapat ditemukan dalam kitab Qira’at fi Fikr Hizb al-Tahrir al-Islami,
hlm. 93).
Masih banyak masalah-masalah aqidah lainnya yang tersalah
dalam Aqidah Hizbut Tahrir. Namun, dua masalah itu saja sudah cukup kiranya
untuk membuka mata, terutama mata hati.
Hizbut Tahrir
Menyamakan Ahlussunnah wal Jamaah dengan Jabariyah
Pelecehan terhadap Ahl
Sunnah wal Jama’ah, Taqiyuddin An-Nabhany dalam Syakhsiyah al-Islamiyah juz
1 hal. 70 menyatakan bahwa “Pada dasarnya Ahl Sunnah wal Jama’ah dan Jabariah
ialah sama, jadi Ahl Sunnah wal Jama’ah ialah Jabariah, mereka telah gagal segagal-gagalnya
dalam masalah kasb”.
Kata gagal
segagal-gagalnya merupakan penghinaan terhadap Ahl Sunnah wal Jama’ah dan
penyamaan Ahl Sunnah wal Jama’ah dengan Jabariah merupakan sebuah celaan yang
besar terhadap Ahl Sunnah wal Jama’ah.
Selanjutnya, berangkat dari masalah aqidah kita beranjak ke
masalah syariat. Hari ini umat islam tertipu dengan cover Hizbut Tahrir. Hari
ini, HTI yang seakan dipuji-puji dan disanjung-sanjung itu ternyata banyak
fatwa Hizbut Tahrir mengenai syariah yang menyalahi hukum syar’i itu sendiri.
Beberapa hal yang difatwakan Hizbut Tahrir ialah mengenai
halalnya seseorang bersalaman dengan orang lain yang bukan muhrimnya tanpa ada
lapis. Pendapat tersebut dapat kita lihat dalam kitab yang dikarang pendiri
Hizbut Tahrir yakni kitab Nizamu Ijtima’
fil Islam hlm. 57.
Dalam kitabnya, Taqiyuddin menyatakan “Lelaki boleh berjabat
tangan dengan wanita begitu juga sebaliknya tanpa adanya lapis antara
keduanya”. Yang lebih nyeleneh lagi dalam kitab Milaff an-Nasyarat al-Fiqhiyyah hlm. 143 juga dapat dilihat dalam
kitab Qira’at fi Fikr Hizb al-Tahrir
al-Islami, hlm. 114, Hizbut Tahrir menyatakan bolehnya lelaki melihat
wanita yang merupakan muhrimnya dalam keadaan telanjang begitu juga sebaliknya
kecuali kemaluan besarnya kecuali yakni jalan depan dan jalan belakangnya, dan
boleh melihat mahramnya dalam keadaan telanjang bulat (masya Allah, na’udzubillah
min dzalik).
Aneh kiranya, Hizbut Tahrir yang pada dasarnya membolehkan
melihat hal-hal yang diharamkan pada lawan jenis, dimana hal tersebut bahkan
termaktub dalam kitab-kitab mereka sendiri, belakangan mengatakan hal itu haram
(hal itu dapat dilihat dalam tabloid mereka yang berjudul Media Ummat
memperjuangkan kehidupan Islam, Edisi 39, 19 Rajab-3 Sya’ban 1431 H/ 2-15 Juli
2010).
Dalam tabloid tersebut mereka mati-matian mengatakan bahwa
pornografi itu haram sementara dalam kitab-kitab rujukan mereka hal itu merupakan
kehalalan. Maka, janganlah Anda mengaku Hizbut Tahrir jika anda tidak
membenarkan perkataan orang yang mendirikan Hizbut Tahrir.
Kemudian, ada satu pendapat yang lebih aneh dari
pendapat-pendapat di atas. Yakni, Hizbut Tahrir beranggapan bahwa orang yang
mati sebelum membai’at seorang khalifah ialah mati jahiliyyah, na’udzubillah
min dzalik.
Pendapat tersebut dapat kita lihat di dalam kitab mereka
sendiri yakni asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, juz. II, bagian III, h. 13 dan 29
sebagaimana Taqiyuddin an-Nabhani (pendiri Hizbut Tahrir) berkata,
“Sesungguhnya orang yang mati sebelum membai’at seorang khalifah ialah mati
jahiliyyah”.
Redaksi yang sama juga dapat ditemukan dalam kitab mereka
yang berjudul al-Khilafah, hal. 4. Dalam
kitab yang sama yakni asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, juz III, h. 15 dinyatakan
bahwa, “dan tempo yang diberikan kepada kaum muslimin untuk menegakkan khalifah
ialah tiga malam, maka tidak halal bagi seseorang tidur dalam dua malam
tersebut tanpa melakukan bai’at”.
Pendapat tersebut mereka ambil berdasarkan hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim, “Barang siapa yang mencabut baiatnya untuk
mentaati khalifah yang ada, di hari kiamat ia tidak memiliki alasan yang
diterima, dan barang siapa yang meninggal dalam keadaan demikian maka matinya
ialah mati jahiliyyah”.
Nah, kalau kita mencoba untuk memahami redaksi hadits
tersebut makna hadits tersebut ialah apabila seseorang membangkang terhadap
khalifah yang sudah ada dan sah, kemudian ia tetap saja membangkang sampai ia
mati maka matinya itu disebut mati jahiliyyah.
Maka, jelas bahwa makna yang dipahami bukan seperti yang
dimaksudkan oleh Hizbut Tahrir. Hal tersebut diperkuat oleh hadits yang
diriwayatkan dari Imam Bukhari dan Muslim yang sanadnya lebih kuat, “Hiduplah
kalian di dalam jama’ah umat Islam dan imam (khalifah) mereka.” Huzaifah
berkata: “Bagaimana jika mereka tidak memilikki jama’ah umat Islam dan imam
(khilafah)?”, Rasulullah bersabda: “Maka tinggalkanlah semua kelompok yang ada”
(Rasulullah tidak mengatakan: “Jika demikian halnya, maka kalian mati
jahiliyyah.”
Dalam redaksi hadits yang lain dikatakan oleh baginda
Rasulullah: “Akan ada sepeninggalku para penguasa yang mereka itu tidak
berpegang dengan petunjukku dan tidak mengikuti cara/ jalanku. Dan akan ada
diantara para penguasa tersebut orang-orang yang berhati setan dalam bentuk
manusia.” Hudzaifah berkata: “Apa yang kuperbuat bila aku mendapatinya?”
Rasulullah bersabda (artinya): “Hendaknya engkau mendengar dan menaati penguasa
tersebut! Walaupun dicambuk punggungmu dan dirampas hartamu maka (tetap)
dengarkanlah (perintahnya) dan taatilah (dia).” (HR. Muslim dari shahabat
Hudzaifah bin Al-Yaman z, 3/1476, no. 1847).
Hal yang paling penting ialah, pada awal berdirinya, Hizbut
Tahrir bertekad akan menegakkan khilafah dalam waktu 13 tahun, kemudian mereka
memperpanjangnya menjadi 30 tahun. Namun, nyatanya sampai sekarang mereka tetap
saja dalam keadaan kosong dan tidak ada satu orang pun yang mereka usung
sebagai khalifah. Maka bisa saja apa yang menjadi pendapat mereka akan menjadi
peluru yang akan membunuh mereka sendiri.
Ketika penulis bertanya kepada pembaca sekalian, apakah
pernyataan-pernyataan ini sudah cukup untuk membongkar kedok Hizbut Tahrir
dalam fatwa-fatwa sesatnya? Kiranya cukup, walau masih banyak kesesatan
lainnya. Hari ini banyak organisasi yang mengatas namakan dirinya Islam
ternyata diam-diam merusak Islam itu sendiri, apakah ini yang dinamakan dengan Ghazwul Fikri (perang pemikiran). WaAllahu A’lam.
Akhirnya Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Sallam
bersabda yang diriwayatkan oleh Imam al-Hakim, Rasulullah bersabda : “Jika kau
melihat ummatku takut mengatakan yang dzalim wahai dzalim, maka mereka tidak
akan mendapatkan pertolongan”.
Intinya jangan pernah terbesit ketakutan untuk mengatakan
sebuah kebenaran, dan salah sekali apabila ada yang mengatakan apabila kita
mengatakan yang buruk dalam agama kepada orang lain jika itu benar maka itu
hanya menjadi ghibah semata dan jika itu salah maka menjadi fitnah, ini adalah
pendapat yang sangat keliru.
Pernyataan penulis: penulis siap membuka forum diskusi
kapanpun dan dimanapun apabila terjadi kesalahan dalam tulisan dan siap
merevisinya. Namun, penulis berharap pembaca membuka hati apabila
pernyataan-pernyataan penulis merupakan kebenaran yang mutlaq. [dutaislam.or.id/ab]
Muzani Al-Fadany,
ahlussunnah wal Jamaah Research Group (ASWJ-RG).