Dutaislam.or.id - Polemik
Ibu Sinta Nuriyah Wahid yang dalam kabar berita online diusir oleh FPI Ungaran
Semarang ketika akan datang dalam acara buka puasa bersama di gereja (Baca
Beritanya: FPI Usir Sinta Nuriyah), menuai
keprihatikan para santri yang tergabung dalam grup WhatsApp Santri TBS
(Tasywiquth Thullab Salafiyah) Kudus.
Beberapa anggota grup, sebagaimana screen shoot chatnya dikirim
kepada Duta Islam pada Jumat (17/06/2016), menyayangkan over acting Polrestabes Semarang yang seakan “kalah” oleh desakan
oknum anti toleransi itu. Diskusi kemudian mengarah pada “hukum membaca al-Qur’an
di dalam gereja”.
Menurut salah satu santri, polemik tersebut berawal dari
anggapan orang-orang anti keberagaman itu yang mengharamkan seorang muslim
masuk gereja lalu membaca Kitab Suci al-Qur’an di dalamnya, berdoa bersama
lintas agama dan jenis ritual lain laiknya shalat dan buka puasa.
Nafiul Haris, salah santri TBS alumni Universitas
Wahid Hasyim membuka pertanyaan bolehkah membaca al-Qur’an di gereja, tidak
langsung mendapatkan jawaban dari anggota lain yang jumlahnya 150-an itu. Beberapa
diantaranya mengutarakan pengalaman pernah shalat di gereja, wihara, klenteng, pura
dan jenis tempat ibadat lain.
Kang Anam misalnya, santri TBS alumni UIN Walisongo Semarang
itu malah pernah shalat di Pura. “Klo sy sholat di Pura kang,” tulisnya dalam komentar.
Tanggapan Anam melengkapi keterangan santri lain bernama Abdullah. “Di wihara
malah wangi ambune. Ada dupa menyala terus. Ada sajadah juga,” ujarnya.
Hannan, santri TBS yang masih kuliah di ITS Surabaya
menimpali dengan menyebut kalau tokoh ulama internasional pun pernah pidato di gereja.
“Kalau gk salah Habib Umar bin Hafidz pernah pidato di gereja dan akhirnya
masuk Islam yg di gereja,” terangnya di grup.
Jika para santri itu cekak akal, tentu akan dihujat oleh
santri TBS lainnya dengan menyebut santri “murtad”, liberal, syi’ah dan lainnya.
Ternyata diskusi berlanjut pada pembahasan teks kitab As-Syarwani oleh salah
satu anggota grup lainnya, Rommie.
Dalam teks tersebut, penulis kitab menyatakan kemakruhan melaksanakan
shalat di dalam gereja. Alasannya, gereja adalah tempat ibadah pemeluk agama
lain yang disebutnya sebagai tempat setan. Bahkan disebut lebih buruk daripada
toilet.
Lebih lanjut kitab itu menerangkan bahwa gereja atau tempat
ibadah agama lain adalah tempat suci yang eksklusif dipakai untuk kepentingan
ritual agama. Maka, memasukinya tidak diperbolehkan kecuali untuk menjalankan
ritual. (Di gereja, tempat eksklusif itu disebut ruang misa. Hanya umat gereja yang
bisa memasuki ruang khusus ritual itu, -red).
Dalam Kitab Syarwani tersebut, makruh-nya shalat di gereja
bisa menjadi haram jika tidak mendapatkan ijin dari pihak rumah ibadat. Hal
itulah yang kemudian disimpulkan oleh anggota grup lainnya, Abdullah, kalau
membaca al-Qur’an di gereja pun tiada larangan. “Sholat ya jelas maca Qur'an.
Malah jaluk hidayah ihdinas shiratal
mustaqim barang kok,” jelasnya.
Gus Ulil Aidi, santri yang sekarang mengajar di Madrasah TBS
menanggapi positif gagasan tersebut. Menurutnya, adanya syariat sebetulnya dipakai
untuk tujuan yang lebih mulia daripada sekadar dipraktikkan. “Tujuan yg lebih
mulia itu di atas syariat,” tegasnya.
Sebagai penyeimbang, jawaban Habib Mundzir dari situs
majelisrasulullah.org (link sudah terhapus per 09/09/2019) yang dikutip oleh Hannan, juga dipost dalam grup,
berikut:
"Hal itu dijelaskan bahwa para sahabat memperbolehkannya,
dikatakan oleh Jabir, dari Assyu’biy, bahwa diperbolehkannya shalat di gereja.
(Mushannif Ibn Abi Syaibah no. 4864), dikatakan oleh Ibn Abbas ra bahwa ia
memperbolehkan shalat di gereja, namun menjadi makruh bila terdapat padanya
gambar gambar berhala (gambar bunda maria, yesus, dan semua yg disembah selain
Allah). (Mushannif Ibn Abi Syaibah hadits no.4867).
Dikatakan oleh Rafi’: bahwa aku melihat Umar bin Abdul Aziz
mengimami shalat di gereja di Syam. (Mushannif Ibn Abi Syaibah hadits no.4869).
Maka pendapat mereka adalah antara boleh, atau makruh, dan bukan haram.
Dijelaskan bagaimana banyaknya sahabat radhiyallahu ‘anhum
yg melakukan shalat di gereja, demikian pula tabiin (rujuk : Naylul Awthaar Juz 2 hal 143).
Bagi mereka yg tak memperbolehkannya adalah karena risau
khalayak akan menganggap sama antara masjid dan gereja, sama sama tempat
peribadatan, hingga menyamakan islam dengan agama lain."
Shalat di gereja saja dilakukan oleh para salafus shalih,
mengapa hanya untuk berbuka puasa di gereja saja banyak yang risau? Sampai menghina
Ibu Sita Nuriyah dengan sebutan yang tidak pantas. Apakah orang-orang itu
imannya masih lemah?
Para santri TBS itu jelas biasa-biasa saja dalam menyikapi polemik berbuka puasa bersama di gereja karena iman mereka sudah ditempa lama di pondok pesantren dan madrasah. AyoMondok! [dutaislam.or.id/lukman]
Para santri TBS itu jelas biasa-biasa saja dalam menyikapi polemik berbuka puasa bersama di gereja karena iman mereka sudah ditempa lama di pondok pesantren dan madrasah. AyoMondok! [dutaislam.or.id/lukman]