Iklan

Iklan

,

Iklan

Kritik Hadis Jenggot yang Dipaksakan Jadi Sunnah

20 Jun 2016, 05:38 WIB Ter-Updated 2024-08-31T09:11:19Z
Download Ngaji Gus Baha

Oleh Dr. Mahmud Suyuti

Dutaislam.or.id - Term hadis secara tekstual dari kata al-khabar (berita), al-jadid (yang baru), atau setiap apa yang diceritakan baik pembicaraan atau khabar. Jika term hadis diperhadapkan pada etimologi (asal usul kata), lafadz حدث dapat berarti al-kalam (pembicaraan), al-waq’u (kejadian), ibtada’a (mengadakan), al-sabab (sebab), rawa (meriwayatkan) dan al-qadīm (lawan dari yang lama).

Perspektif pendekatan fiqh al-lughah, hadis secara mikro hanya terbatas sebagai suatu berita, pembicaraan dan sesuatu yang baru. Akan tetapi dalam tinjauan makro, kata حدث sebagai kata dasar, memiliki cakupan makna yang luas sehingga keterkaitan makna kata itu membuat pengertian piramida terbalik.

Secara terminologi, ulama hadis mendefinisikan sebagai segala perkataan, perbuatan dan taqrir yang disandarkan kepada Nabi baik sebelum atau sesudah diutusnya. Ulama ushul membatasi sebagai ucapan, perbuatan atau penetapan (taqrir) yang dinisbatkan kepada Nabi saw yang berkaitan dengan segala hukum syara’.

Bila melihat sisi perbedaan definisi ulama, antara pendefinisian ulama hadis dan usul tersebut, tampaknya ulama usul menitik-beratkan obyek hukum dari hadis itu, yakni berkaitan dengan hukum syara’ tanpa melihat latar belakang dan keterikatan status kenabian Muhammad saw. Sementara ulama hadis melihat pengertian terminologi hadis dalam peran Rasulullah saw., baik sebelum atau sesudah diutusnya. Tinjauan umum makna hadis ini dibatasi dengan catatan bahwa bila hanya disebut hadis, maka dimaksudkan sebagai segala perkataan, perbuatan dan taqrir setelah kenabian.

Terlepas dari perbedaan tinjauan kedua kelompok ulama tersebut, baik persepsi terminologi maupun permulaan penggunaannya, persepsi yang sama adalah bahwa hadis menyangkut perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi saw. Adapun perbedaan pandangan tentang keberadaannya, tidak mengurangi makna hadis itu sendiri.

Persoalan mendasar dalam memahami hadis adalah mengetahui kriteria dan klasifikasi apa saja yang masuk dalam kategori hadis. Kesalahan dalam menempatkan suatu unsur akan membawa dampak kesalahan penilaian dan kekeliruan dalam menyimpulkan suatu persoalan. Silang pendapat para ulama dikarenakan sudut pandang mereka berbeda.

Jika merujuk pada batasan hadis yang disebutkan dan identik dengan sunnah, maka secara spesifik yang terkait dengan cirri khas Nabi saw, bukanlah sesuatu hadis sehingga tidak pula tergolong sunnah.

Contoh, Nabi saw memang berjenggot tetapi jenggot ini bukan perkataan atau sabda, bukan pula perbuatan dan taqrir, tetapi jenggot salah satu ciri khas fisik Nabi saw dan kebanyakan sahabat banyak yang ditakdirkan punya jenggot panjang. Sementara selainnya, termasuk kebanyakan orang-orang Indonesia justru tidak dikarunia jenggot yang subur. Dengan demikian, maka jenggot bukan sunnah bagi kalangan umum walaupun ditemukan sabda Nabi saw tentang itu, misalnya:

إٍنْهَكُوْا الشَّوَارٍبَ وَاعْفُوْا الٍّلحَى {رواه البخاري ومسلم وغيرهما عن إبن عمر}

Artinya:
“Guntinglah kumis dan panjangkan jenggot” (HR. al-Bukhari, Muslim dan selainnya dari Ibnu Umar)

Sebagian umat Islam memahami hadis tersebut tekstual dengan pendapat bahwa Nabi saw menyuruh semua kaum laki-laki untuk memelihara kumis dengan memangkas ujung-ujungnya agar kelihatan rapi, lalu memelihara jenggot dengan memanjangkannya.

Perintah Nabi saw tersebut memang relevan untuk orang-orang Arab pada umumnya yang dikarunia rambut subur secara alamiah, tetapi konteks kekinian justru orang-orang Arab sendiri, termasuk raja-raja Arab Saudi justru lebih memelihara kumis ketimbang jenggot mereka.

Atas kenyataan itu, maka jenggot bersifat kondisional bahkan orang-orang kafir di zaman Nabi saw pun berjenggot, seperti Abu Lahab dan Abu Jahal serta selainnya, juga berjenggot.

Terlepas jenggot sebagai ciri khas Nabi saw yang ciri ini tidak bisa merata pada semua umatnya, khususnya umat Islam Indonesia yang kumis dan jenggotnya jarang, maka implementasinya adalah: bagi orang-orang yang dikarunia (tumbuh) jenggotnya, silahkan pelihara dan rawat dengan baik. Bagi mereka yang tidak bisa tumbuh jenggotnya, jangan dipaksa untuk tumbuh dengan cara mencari obat penyubur.

Selain persoalan jenggot, masih banyak lagi hadis dengan tema lain yang sesungguhnya harus dipahami secara tekstual dan kontekstual, baik yang sifatnya kondisional, temporal dan lokal maupun yang bersifat universal. Wallahu A’lam. [dutaislam.or.id/ab]

Dr. Mahmud Suyuti, ketua MATAN Sulsel

Iklan