Oleh Dr. Mahmud Suyuti
Dutaislam.or.id - Term
hadis secara tekstual dari kata al-khabar
(berita), al-jadid (yang baru), atau
setiap apa yang diceritakan baik pembicaraan atau khabar. Jika term hadis
diperhadapkan pada etimologi (asal usul kata), lafadz حدث dapat berarti al-kalam (pembicaraan), al-waq’u
(kejadian), ibtada’a (mengadakan), al-sabab (sebab), rawa (meriwayatkan) dan al-qadīm
(lawan dari yang lama).
Perspektif pendekatan fiqh
al-lughah, hadis secara mikro hanya terbatas sebagai suatu berita,
pembicaraan dan sesuatu yang baru. Akan tetapi dalam tinjauan makro, kata حدث sebagai kata dasar,
memiliki cakupan makna yang luas sehingga keterkaitan makna kata itu membuat
pengertian piramida terbalik.
Secara terminologi, ulama hadis mendefinisikan sebagai
segala perkataan, perbuatan dan taqrir yang disandarkan kepada Nabi baik
sebelum atau sesudah diutusnya. Ulama ushul membatasi sebagai ucapan, perbuatan
atau penetapan (taqrir) yang dinisbatkan kepada Nabi saw yang berkaitan dengan
segala hukum syara’.
Bila melihat sisi perbedaan definisi ulama, antara
pendefinisian ulama hadis dan usul tersebut, tampaknya ulama usul menitik-beratkan
obyek hukum dari hadis itu, yakni berkaitan dengan hukum syara’ tanpa melihat
latar belakang dan keterikatan status kenabian Muhammad saw. Sementara ulama
hadis melihat pengertian terminologi hadis dalam peran Rasulullah saw., baik
sebelum atau sesudah diutusnya. Tinjauan umum makna hadis ini dibatasi dengan
catatan bahwa bila hanya disebut hadis, maka dimaksudkan sebagai segala
perkataan, perbuatan dan taqrir setelah kenabian.
Terlepas dari perbedaan tinjauan kedua kelompok ulama
tersebut, baik persepsi terminologi maupun permulaan penggunaannya, persepsi
yang sama adalah bahwa hadis menyangkut perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi
saw. Adapun perbedaan pandangan tentang keberadaannya, tidak mengurangi makna
hadis itu sendiri.
Persoalan mendasar dalam memahami hadis adalah mengetahui
kriteria dan klasifikasi apa saja yang masuk dalam kategori hadis. Kesalahan
dalam menempatkan suatu unsur akan membawa dampak kesalahan penilaian dan
kekeliruan dalam menyimpulkan suatu persoalan. Silang pendapat para ulama dikarenakan
sudut pandang mereka berbeda.
Jika merujuk pada batasan hadis yang disebutkan dan identik
dengan sunnah, maka secara spesifik yang terkait dengan cirri khas Nabi saw,
bukanlah sesuatu hadis sehingga tidak pula tergolong sunnah.
Contoh, Nabi saw memang berjenggot tetapi jenggot ini bukan
perkataan atau sabda, bukan pula perbuatan dan taqrir, tetapi jenggot salah
satu ciri khas fisik Nabi saw dan kebanyakan sahabat banyak yang ditakdirkan punya
jenggot panjang. Sementara selainnya, termasuk kebanyakan orang-orang Indonesia
justru tidak dikarunia jenggot yang subur. Dengan demikian, maka jenggot bukan
sunnah bagi kalangan umum walaupun ditemukan sabda Nabi saw tentang itu,
misalnya:
إٍنْهَكُوْا
الشَّوَارٍبَ وَاعْفُوْا الٍّلحَى {رواه البخاري ومسلم وغيرهما عن إبن عمر}
Artinya:
“Guntinglah kumis dan panjangkan jenggot” (HR. al-Bukhari,
Muslim dan selainnya dari Ibnu Umar)
Sebagian umat Islam memahami hadis tersebut tekstual dengan
pendapat bahwa Nabi saw menyuruh semua kaum laki-laki untuk memelihara kumis
dengan memangkas ujung-ujungnya agar kelihatan rapi, lalu memelihara jenggot
dengan memanjangkannya.
Perintah Nabi saw tersebut memang relevan untuk orang-orang
Arab pada umumnya yang dikarunia rambut subur secara alamiah, tetapi konteks
kekinian justru orang-orang Arab sendiri, termasuk raja-raja Arab Saudi justru
lebih memelihara kumis ketimbang jenggot mereka.
Atas kenyataan itu, maka jenggot bersifat kondisional bahkan
orang-orang kafir di zaman Nabi saw pun berjenggot, seperti Abu Lahab dan Abu
Jahal serta selainnya, juga berjenggot.
Terlepas jenggot sebagai ciri khas Nabi saw yang ciri ini
tidak bisa merata pada semua umatnya, khususnya umat Islam Indonesia yang kumis
dan jenggotnya jarang, maka implementasinya adalah: bagi orang-orang yang
dikarunia (tumbuh) jenggotnya, silahkan pelihara dan rawat dengan baik. Bagi
mereka yang tidak bisa tumbuh jenggotnya, jangan dipaksa untuk tumbuh dengan
cara mencari obat penyubur.
Selain persoalan jenggot, masih banyak lagi hadis dengan
tema lain yang sesungguhnya harus dipahami secara tekstual dan kontekstual,
baik yang sifatnya kondisional, temporal dan lokal maupun yang bersifat
universal. Wallahu A’lam. [dutaislam.or.id/ab]
Dr. Mahmud Suyuti, ketua
MATAN Sulsel