Oleh Imam Khanafi
Dutaislam.or.id - Jarang yang mengetahuinya jika
hubungan Buleleng, Bali dengan Jepara sudah terjalin ratusan tahun silam.
Menurut catatan sejarah, Kerajaan Buleleng yang berada di wilayah Pantai Utara
Bali mulai muncul tahun 1660-an, dengan pemimpin kharismatis Ki Barak Panji
Sakti, yang berdarah Majapahit. Aktivitas perdagangan lewat laut pun ditengarai
berlangsung di wilayah yang sebelumnya dikenal sebagai Den Bukit itu.
Jepara sebagai kadipaten yang
bervisi maritim di Pantai Utara Pulau Jawa pada masanya juga mengandalkan
perdagangan lewat pelabuhan. Hingga
memasuki era pemerintahan Belanda, aktivitas pelabuhan itu berangsur meredup.
Jejak Buleleng dengan Jepara
melekat pada sosok yang diyakini sebagai cikal bakal desa dan diabadikan jadi
nama desa di Mayong, Jepara, itu adalah Mbah Datuk Singorojo (hidup tahun 1500-1600
an Masehi). Nama desanya juga Singorojo (sesuai penyebutan ala lidah Jawa, Singorojo,
bukan Singaraja). Sebuah desa yang cukup tua. Sudah ada sejak ratusan tahun
silam.
Sosok yang sangat berpengaruh
di tiga kecamatan di Jepara. Yakni kecamatan Mayong, Kecamatan Pecangaan dan
Kecamatan Kedung. Ratusan tahun lalu, banyak pengikutnya dari ketiga kecamatan
tersebut. Bahkan pengaruhnya hingga ke luar Jepara, yakni Kudus.
Jejak Ki Datuk Singorojo
Bagi warga di Troso, Pecangaan,
Jepara masih terlihat dan setidaknya sejumlah jejak masa lampau memang masih
ada dan terasa. Di Troso misalnya, keterangan yang didapat pun serupa. Bahwa
mendiang adalah tokoh yang datang dari Bali. Tepatnya dari wilayah utara Pulau
Dewata, Buleleng, Singaraja. Ia diyakini sebagai orang yang mengembangkan
kerajinan tenun di wilayah Jawa Tengah ujung utara itu.
Versi kedatangan pun beragam. Versi
legenda menyebutkan bahwa Datung Singorojo datang dari Bali dengan naik
layangan besar dari Bali dan jatuh di kawasan Pantai Teluk Awur, Jepara. Ada
juga yang menyebut kedatangannya naik gentong bersama saudara kembarnya, Ida
Gurnada. Tapi Gurnada kembali lagi ke Bali.
Mbah Datuk adalah seorang
waliyullah yang juga punya nama sebutan Datuk Gurnadi. Ada yang menyebut Gusti
Gurnadi dan Ida Gurnadi. Itu adalah nama sesinglon atau samaran. Gurnadi
disebut-sebut sebagai kependekan dari “guru nadi” (guru keutamaan/ pengajar
kebajikan).
Ida Gurnadi atau Mbah Datuk
Singorojo ini di wilayah Mayong dikenal sebagai penakluk kawanan pengacau
keamanan, pengikut Arya Penangsang. Pasca Arya Penangsang atau Arya Jipang
terbunuh oleh Danang Sutowijoyo pada akhir periode 1.500-an atau awal tahun
1.600-an, pengikutnya membuat kerusuhan di wilayah Jepara dan Pati. Peredam
kerusuhan itu adalah Mbah Datuk Singorojo.
Masjid Datuk Ampel Troso
Selain itu, Masjid Datuk Ampel
Troso, Pecangaan menjadi masjid peninggalan Datuk Singorojo. Tempat ibadah itu
saat ini sudah direhab beberapa kali dan tampak begitu megah. Masjid tersebut
adalah bukti bahwa Mbah Datuk itu seorang ulama yang memang bekerja keras untuk
kemajuan wilayah ini. Selain megah, masjid dengan 12 pilar besar itu tampak
bersih dan terawat.
Dari 12 pilar masjid itu, 4 di
antaranya adalah pilar asli yang sekarang sudah dibalut beton cor semen. Pilar
atau tiang atau soko guru penyangga itu disebut-sebut berbahan kayu jati yang
terpotong-potong (tatal), yang kemudian disusun ulang seperti puzzle dengan
bangun simetris pengunci. Mirip tiang penyangga Masjid Agung Demak.
Sedikit tentang Jepara,
Kadipaten Jepara sendiri yang merupakan wilayah di bawah kekuasaan Kesultanan
Demak, setelah era kerajaan Majapahit, punya pelabuhan laut yang besar.
Penguasa Demak, juga adipati Jepara saat itu, Ratu Kalinyamat pun keturunan
Majapahit.
Pelabuhan Jepara pada saat itu
adalah salah satu pelabuhan terbesar di Nusantara. Karena posisi Kesultanan
Demak yang tidak di pinggir laut, maka kekuatan armada lautnya ada di pesisir Jepara.
Dipimpin Nyai Ratu Kalinyamat.
Hubungan perdagangan Jepara dengan
wilayah lain di Nusantara, termasuk dengan Buleleng pun diperkirakan sudah
terjalin saat itu.
Masa lalu Jepara bisa dijumpai
dalam catatan sejarah asing. Seperti
riwayat era Ratu Kalinyamat yang
disebut penulis buku Da Asia, yakni De
Coutu. Dalam buku itu, De Coutu menguraikan sebuah pembahasan, berjudul Rainha de Jepara, Senhora Poderosa e Rica,
yang mengisahkan ratu atau adipati Jepara seorang perempuan yang punya
kekuasaan besar.
Bukti kebesaran Kadipaten
Jepara di bawah Kesultanan Demak antara lain terlihat tahun 1550 dan 1574 M. Yakni ketika membantu
perjuangan Kesultanan Malaka, Malaysia. Jepara membantu menyerang Portugis di
Malaka, sekarang bagian wilayah Malaysia. Portugis sendiri mulai datang di
Malaka tahun 1511 M.
Disebutkan juga bahwa pada
tahun 1550 Ratu Kalinyamat mengirimkan armada tempur angkatan lautnya. Tak kurang
40 kapal perang dikirim beserta prajurit berkemampuan khusus sebanyak 200-an
orang. Tahun 1574 ia juga menyerang Portugis
di Malaka bersama 15.000 personel pasukan, 300 kapal perang dan 80 buah
jung besar (kapal perang raksasa) . Tapi, akhirnya kalah karena strategi yang
tidak efektif dan jumlah pasukan Portugis lebih besar.
Dengan segala kemampuan
pemerintahnya di bidang kelautan, Ratu Kalinyamat berpulang. Sejumlah sumber
menyebutkan bahwa penguasa Jepara ini meninggal tahun 1579 Masehi. Setelah
kemangkatan Ratu Kalinyamat, maka kekuasaan pemerintahan diserahkan kepada
putra angkatnya, Pangeran Jepara, yaitu putra Raja Hasanuddin dari Banten.
Tapi, banyak terjadi pemberontakan di Pajang.
Pasang surut kekuasaan pun
terjadi. Patron Kadipaten Jepara, Kerajaan Pajang, akhirnya juga runtuh pada
tahun 1578. Hal ini berpengaruh kepada Jepara, yang pada tahun 1600-an tidak
lagi sehebat tahun 1500-an. Paling tidak, kekuatan militer seperti era 1500-an
sudah tidak ada lagi.
Kedatangan Datuk Singorojo
sendiri diperkirakan pada masa kerajaan Mataram yang berdiri tahun 1586.
Mataram lebih muda dari era Kesultanan Demak, yang berdiri sekitar tahun 1478
hingga tahun 1568. Ini antara lain
adanya cerita bahwa era Ida Gurnadi ini adalah bersamaan dengan era Raden Ayu
Roro Semangkin, yang merupakan anak asuh Ratu Kalinyamat.
Ki Datuk Singorojo sempat
berperang dengan Raden Ayu Mas Semangkin, yang kemudian lebih dikenal Ibu Mas,
di Mayong Lor, Jepara. Raden Ayu Mas adalah puteri kedua dari Pangeran Haryo
Bagus Mukmin atau Sunan Prawoto. [dutaislam.or.id/ab]
Tinggal di Mayong (2013 – 2015), kini tinggal
di Kudus.