Iklan

Iklan

,

Iklan

Gaptek Nahwu, Wahabi Mati Kutu Dalam Debat Dengan Sayyid Ali Jembrana

1 Sep 2016, 23:01 WIB Ter-Updated 2024-08-30T23:13:03Z
Download Ngaji Gus Baha

Dutaislam.or.id - “Jangan sekali-kali tuan berani mengartikan Al-Qur’an dan Hadis Nabi jika tuan sendiri tidak memahami bahasa Arab dengan benar!” Habib Ali Bin Umar Bin Abu Bakar Bafaqih (Bali)

Islam datang ke Bali yang mayoritas Hindu itu tampil dengan penuh toleransi dan kedamaian, sehingga masyarakat tidak terusik. Bahkan selama masa perjuangan, kedua komunitas agama yang berbeda itu bahu membahu dalam melawan Belanda.

Tetapi sejak tahun 1934, pulau Bali dijadikan target gerakan puritanisme yang dikomandoi oleh kelompok yang mengaku modernis Islam alias sekte wahabi/salafi. Beberapa tokoh wahabi dikirim dari Solo dan Banyuwangi untuk menancapkan pengaruhnya dengan cara menyerang habis-habisan tradisi Islam yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat setempat. Slogan taklid buta, bid’ah, khurafat dan tahayyul pun mereka jadikan platform perjuangan.

Mereka juga tak segan-segan menuduh praktek beragama ulama dan masyarakat muslim Bali sebagai bentuk peribadatan yang telah tercemari oleh perbuatan syirik. Tentu saja masyarakat Islam Bali tidak tinggal diam dengan tuduhan tersebut. Mereka tidak terima jika paham ahlussunnah wal jama’ah yang selama ini diwariskan oleh para ulama  dituduh mereka menyimpang, bahkan dianggap mengajarkan ajaran yang sesat. 

Oleh sebab itu, beberapa kali tokoh-tokoh sekte wahabi/salafi diusir karena dianggap meresahkan dan memancing permusuhan di kalangan masyarakat.

Namun setelah diusir, ada saja utusan baru yang dikirimkan dan mendekati masyarakat dengan strategi yang berbeda. Hingga suatu ketika, salah seorang tokoh sekte wahabi/salafi yang merasa ingin membuktikan kebenaran ajaran yang dipeluknya menantang para ulama Bali untuk membuktikan ajaran siapa yang lebih benar melalui perdebatan bukan dengan kekuatan massa tetapi dengan kekuatan nalar.

Mendengar berita ini, Sayyid Ali Bafaqih yang terkenal sangat tegas segera tampil menerima tantangan dari tokoh sekte salafi/wahabi itu. Pada hari dan tempat yang telah ditentukan, kedua tokoh berseberangan paham itu pun bertemu. Disaksikan oleh masyarakat luas adu argumen pun segera dimulai. Sebagai bentuk penghormatan, tokoh sekte wahabi/salafi pun dipersilahkan untuk terlebih dahulu membuka pembicaraan, memaparkan ajarannya.

Setelah mengucapkan salam dan hamdalah, tokoh sekte wahabi/salafi tersebut mulai berorasi dengan suara lantang. Tapi baru saja ia berkata; “Rasulullah bersabda: “Man kana…”

“Behenti dulu… Berhenti dulu!!” teriak Sayyid Ali Bafaqih memotong pembicaraan dengan suara lebih lantang seraya mengangkat tangan kanannya. Tentu saja, semua yang ada di tempat kejadian terheran-heran dan berbisik mengenai tindakan Sayyid Ali tersebut.

Ketika merasa semua orang mulai tenang, Sayyid Ali Bafaqih pun kemudian berkata: “Sebelum tuan meneruskan sabda Rasulullah tersebut saya hendak bertanya, "‘man’ itu huruf apa dan dalam gramatika Arab kedudukan sebagai apa?"

Mendengar pertanyaan yang tidak pernah disangkanya, tokoh sekte wahabi/salafi tersebut lantas terdiam. Ia mencoba untuk mengelak namun Sayyid Ali tidak mau meneruskan perdebatan sebelum mendapatkan jawaban. Karena sudah sangat terpojok, sang tokoh sekte wahabi/salafi pun mengaku tidak mengetahui jawabannya. Tapi ia berjanji akan memberikan jawaban di luar masalah huruf ‘man’.

Setelah mendengar pengakuan rivalnya itu, Sayyid Ali langsung berkata: “Jangan sekali-kali tuan berani mengartikan Al-Qur’an dan Hadis Nabi jika tuan sendiri tidak memahami bahasa Arab dengan benar!”

Akhirnya, dalam perdebatan tersebut, Sayyid Ali berhasil memenangkan perdebatan nya tanpa harus bersusah payah. Sementara rivalnya sekte wahabi/salafi sendiri tertunduk malu dan meninggalkan arena tanpa daya.

Habib Ali bin Umar bin ABu Bakar Bafaqih
Habib Ali Bafaqih dilahirkan dari pasangan Habib Umar dan Syarifah Nur al Haddad, Beliau lahir pada tahun 1882 di Banyuwangi. Usia 15 tahun beliau belajar ke Bangkalan dengan KH Khalil. Menjelang usia 17 tahun, atau sekitar tahun 1899 Sayyid Ali “berlayar” ke tanah suci Mekah untuk memperdalam ilmu agamanya kepada beberapa ulama tersohor ketika itu. 

Salah satu gurunya adalah Habib Abbas bin Abdul Azis al Maliky, Habib Alwi bin Abbas al Maliky, Syekh Umar Hamdan, Syeikh Nawawi al Bantani dan lainnya. Keberangkatan ke Mekah ini atas “sponsor” Haji Sanusi, ulama terkemuka di Banyuwangi pada masa itu. 

Beliau mukim di Siib Ali (Mekah) lebih kurang tujuh tahun lamanya. Sepulang dari Mekah, Habib Ali kembali ke tanah air dan menambahkan ilmunya di Pondok pesantren di Jombang yang diasuh oleh ayah Kyai Wahab Abdullah. 

Selain mendalami ilmu Al Quran, di waktu mudanya beliau dikenal sebagai pendekar silat yang sangat tangguh. Jauh sebelum mendirikan Pondok Pesantren “Syamsul Huda” di Loloan Barat Kecamatan Negara Kabupaten Jembrana, habib Ali mengajar di Madrasah Khairiyah selama setahun di daerah kelahirannya Banyuwangi. 

Perjalanan ke Bali beliau lakukan atas permintaan Datuk Kyai Haji Mochammad Said, seorang ulama besar di Loloan. Mulailah syiar Islam berbinar di Loloan dengan makin bertambahnya ulama setingkat Kyai Sayyid Ali Bafaqih.

Baru pada tahun 1935, beliau mendirikan Pondok Pesantren Syamsul Huda yang kini telah meneteskan ribuan ulama, da’i dan ustazah. Para santri datang dari berbagai pelosok desa di tanah air. Mereka belajar membaur dengan kehidupan masyarakat Loloan yang sejak ratusan tahun lalu telah dikunjungi oleh ulama-ulama tangguh dari berbagai daerah. Tak terkecuali ulama besar dari Trengganu (Malaysia) yang meninggalkan negerinya lalu hijrah ke Loloan sekitar awal abad 19.

Habib Ali Bafaqih wafat pada tahun 1999 pada usia 117 tahun. Karena perjuangan dan kegigihanya untuk menyebarkan atau mensyiarkan agama Islam dan juga ketinggian ilmunya, maka beliau dianggap sebagai salah satu “Wali Pitu” yang ada di Bali. 

Kini, makam beliau di Loloan banyak di kunjungi atau diziarahi orang dari berbagai pelosok negeri mulai dari Jakarta, Bandung, Lampung, yang kadang datang dengan 10 bus pariwisata. Syiar Islam di Bali pada masa silam telah meninggalkan sejumlah “karya besar” yang pada masanya kini dapat dijadikan landasan kokoh bagi syiar Islam di masa-masa yang akan datang. Kampung Loloan telah menjadi legenda syiar Islam yang tetap hidup di Bali.

Makam Habib Ali bin Umar Bafaqih ada di Jln. Nangka No. 145 di Desa Loloan Barat Kecamatan Negara Kabupaten Jembrana. Beliau di makamkan di Area Pondok Pesantren “Syamsul Huda”. [dutaislam.or.id/ab]

Iklan