Dutaislam.or.id - Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jenderal Polisi Tito Karnavian, melakukan kunjungan kerja selama dua hari di Surabaya dan Sidoarjo, Jawa Timur, pada Kamis-Jumat, 1-2 September 2016. Bertandang ke Surabaya, Tito merasa seperti pulang kampung.
Tito menceritakan bahwa kakeknya dulu bermukim di kawasan Pasar Turi, Surabaya. "Saya besar di Palembang, tapi kakek saya dulu tinggal di Pasar Turi," katanya usai mengikuti acara bersama Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) di Markas Kepolisian Daerah Jatim, Surabaya, pada Kamis, 1 September 2016.
Ayah Tito, Achmad Saleh, juga pernah bermukim di kawasan Wonorejo, Surabaya. Ayahnya pernah melakukan napak tilas menelusuri kerabatnya di Surabaya. "Kalau ada waktu saya akan sempatkan silaturrahim ke kerabat di Surabaya," katanya menambahkan.
Mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme itu juga mengaku bahwa kakeknya pernah berguru dan menjadi santri di Pesantren Tebu Ireng, Jombang. Pesantren itu didirikan Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU) dan kakek Presiden keempat RI, Abdurrahman Wahid. "Jadi, (kakek saya) asli NU. Tapi saya tidak perlu bikin Kartu NU," ujar Tito.
Di Markas Polda Jatim, Tito menghadiri kesepakatan bersama atau MoU dengan Pengurus Besar NU tentang penanganan konflik sosial dan ujaran kebencian atau hate speech. Penanganan konflik sosial tidak dapat dikerjakan aparat penegak hukum, melainkan semua pihak, termasuk NU.
NU diajak kerjasama karena memiliki jaringan yang luas di seluruh negeri dan memiliki kesamaan pandangan soal kebangsaan. "Sama dengan Polri, NU ini merupakan salah satu elemen pendiri bangsa," kata Tito.
Ketua Umum PBNU, Said Aqil Siroj, menyambut baik dan siap bekerja sama dengan Polri dalam penanganan konflik sosial, terutama terkait ancaman radikalisme dan terorisme.
"Tepat sekali Polri menggandeng NU dan MoU ini dilaksanakan di Polda Jatim, karena NU sendiri didirikan di Surabaya pada Januari tahun 1926," kata Said Aqil. [dutaislam.or.id/mus]
Source: Viva.co.id
Tito menceritakan bahwa kakeknya dulu bermukim di kawasan Pasar Turi, Surabaya. "Saya besar di Palembang, tapi kakek saya dulu tinggal di Pasar Turi," katanya usai mengikuti acara bersama Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) di Markas Kepolisian Daerah Jatim, Surabaya, pada Kamis, 1 September 2016.
Ayah Tito, Achmad Saleh, juga pernah bermukim di kawasan Wonorejo, Surabaya. Ayahnya pernah melakukan napak tilas menelusuri kerabatnya di Surabaya. "Kalau ada waktu saya akan sempatkan silaturrahim ke kerabat di Surabaya," katanya menambahkan.
Mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme itu juga mengaku bahwa kakeknya pernah berguru dan menjadi santri di Pesantren Tebu Ireng, Jombang. Pesantren itu didirikan Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU) dan kakek Presiden keempat RI, Abdurrahman Wahid. "Jadi, (kakek saya) asli NU. Tapi saya tidak perlu bikin Kartu NU," ujar Tito.
Di Markas Polda Jatim, Tito menghadiri kesepakatan bersama atau MoU dengan Pengurus Besar NU tentang penanganan konflik sosial dan ujaran kebencian atau hate speech. Penanganan konflik sosial tidak dapat dikerjakan aparat penegak hukum, melainkan semua pihak, termasuk NU.
NU Disebut Jadi Garda Depan Tangkal Terorisme
NU diajak kerjasama karena memiliki jaringan yang luas di seluruh negeri dan memiliki kesamaan pandangan soal kebangsaan. "Sama dengan Polri, NU ini merupakan salah satu elemen pendiri bangsa," kata Tito.
Ketua Umum PBNU, Said Aqil Siroj, menyambut baik dan siap bekerja sama dengan Polri dalam penanganan konflik sosial, terutama terkait ancaman radikalisme dan terorisme.
"Tepat sekali Polri menggandeng NU dan MoU ini dilaksanakan di Polda Jatim, karena NU sendiri didirikan di Surabaya pada Januari tahun 1926," kata Said Aqil. [dutaislam.or.id/mus]
Source: Viva.co.id