Oleh Muhammad Roby
Dutaislam.or.id - Dikisahkan, belasan tahun lalu seorang santri jenius yang mondok di Rubath Tarim yang saat itu diasuh Habib Abdullah bin Umar Assyathiri. Di sana, ia dikenal sebagai santri yang sangat alim hingga mampu menghafal kitab Tuhfatul Muhtaj 4 jilid. Siapa tak kenal dia? Semua pun tahu bahwa ia sangat alim, bahkan diprediksi kelak akan menjadi ulama besar.
Nah, suatu hari di saat Habib Abdullah mengisi pengajian rutin di pondok, tiba tiba Sang Habib pengasuh pondok tersebut bertanya tentang santri yang sangat terkenal alim itu, "kemana si Fulan?", semua santri bingung tak bisa menjawab pertanyaan sang guru.
Ternyata santri yang alim tadi tidak ada di pondok. Ia keluar berniat mengisi pengajian di sebuah kota yang bernama Mukalla. Tapi ia keluar tanpa izin. Akhirnya, Habib Abdullah Asysyathiri yang kondang allamah (sangat alim) dan kewaliannya itu berkata, "baiklah, orangnya boleh keluar tanpa izin, tapi ilmunya tetap di sini!".
Di kota Mukalla, santri yang alim tersebut sangat dinanti-nantikan oleh para pecinta ilmu untuk mengisi pengajian di Masjid Omar Mukalla. Singkat cerita, si santri ini pun maju ke depan dan mulai membuka ceramahnya dengan salam dan muqaddimah pendek.
Subhanallah, ternyata setelah membaca amma ba'du, si alim ini tak mampu berkata sama sekali, bahkan untuk menerangkan kitab paling tipis sekelas Safinah sedikit pun tak mampu ia ingat. Sontak dia tertunduk dan menangis. Para hadirin pun heran, "ada apa ini?" Akhirnya Salah satu ulama kota Mukalla menghapirinya dan bertanya, "saudara mengapa begini? Apa yang saudara lakukan sebelumnya?"
Dia menjawab, "aku keluar tanpa izin guruku di pesantren." Dia terus menangis, dan beberapa orang menyarankan agar ia meminta maaf kepada Habib Abdullah Asysyathiri. Namun dengan sombongnya ia tidak mau meminta maaf.
Kesombongannya ini membuat semua orang menjauhinya, dan tidak ada satupun yang peduli padanya, bahkan setelah itu hidupnya sangat miskin dan terlunta lunta. Sehingga ia bisa bekerja apapun kecuali hanya dengan menjual daging ikan kering.
Dan di saat ia meninggal, dia mati dalam keadaan miskin bahkan kain kafannya pun tak mampu dibeli dan akhirnya diberi oleh seseorang.
***
"Santri yang ilmunya berkah bukanlah yang paling banyak hafalannya, yang paling bagus dalam membaca kitabnya, yang selalu juara kelas. Tapi santri yang berkah dan bermanfaat adalah yang paling hormat dan taat kepada gurunya. Dan menganggap dirinya bukan siapa-siapa di hadapan Gurunya."
Di Hari Santri ini, mudah-mudahan dapat mengingatkan kita kembali akan pentingnya mendapatkan ilmu yang berkah, bukan sekadar pintar. [dutaislam.or.id/ab]