Dutaislam.or.id - Diskusi dengan tema “Posisi MUI dalam Hukum Islam dan Hukum Indonesia” yang diselenggarakan Aliansi Masyarakat Sipil untuk Konstitusi (AMSIK) pada Ahad lalu (16/10) tidak hanya menghasilkan poin bahwa MUI telah berpolitik dalam kasus penyataan Ahok di Kepulauan Seribu.
Lebih dari itu, diskusi yang menghadirkan narasumber yang kredibel di bidangnya masing-masing itu juga menyajikan berbagai poin penting dan menarik tentang MUI, seperti sejarah MUI, status hukum MUI, dan posisi MUI yang diakomodir di sejumlah undang-undang, dan seterusnya.
Berikut pandangan menarik yang disampaikan Ketua Lakpersdam PBNU, Rumadi; Andi Syafrani (alumnus UIN Syarif Hidayatullah dan Victoria University, Australia); dan Peneliti Setara Institute Bonar Tigor Naipospos dalam diskusi santai tapi berisi itu. Sayang, tidak ada perwakilan MUI dalam forum itu.
Pada Mulanya Politik
Ada konteks historis yang melatari pembentukan MUI pada 1975. Menurut Bonar ada dua peristiwa penting yang menyebabkan mengapa pemerintahan Orde Baru memutuskan membentuk MUI.
Satu, pemilu 1971 yang diikuti 10 partai politik. Hasil pemilu tahun itu menunjukkan bahwa partai-partai Islam masih cukup signifikan. Kenyataan itu mengkhawatirkan pemerintahan Orde Baru.
Dua, debat panas tentang undang-undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Sejak tahun 1973, isu panas yang juga melibatkan kelompok Islam itu membuat pemerintahan Soeharto khawatir tentang stabilitas politiknya saat itu.
Dari dua peristiwa itu, Pemerintahan Orde Baru menyadari bahwa kekuatan politik Islam cukup kuat dalam percaturan politik Indonesia. Dan di balik kekuatan politik Islam di Indonesia itu, ada organisasi-organisasi masyarakat.
Sejumlah partai pada saat itu, misalnya, terafiliasi dengan NU. Dengan kata lain, backbound partai itu adalah NU. Begitu juga Partai Muslim Indonesia (Parmusi) dan Partai Syarikat Islam dengan backbound-nya adalah Muhammadiyah dan Syarikat Islam.
Untuk menundukkan kelompok Islam dan massa secara umum, Pemerintahan Orde Baru menerapkan strategi apa yang disebut organic corporatism. Istilah yang diperkenalkan Guillermo O’Donnel itu merujuk pada upaya penundukkan setiap sektor produksi, profesi, dan pekerjaan ke dalam satu organisasi yang diakui negara.
Pada masa Orde Baru, kelompok wartawan ditundukkan di bawah satu asosiasi, yaitu Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Kelompok guru ditundukkan melalui Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Kelompok buruh ditundukkan melalui Serikat Buruh Seluruh Indonesia (SBSI). Partai politik yang cukup banyak pada saat itu kemudian diciutkan menjadi 3 partai.
“Termasuk kekuatan Islam yang terdapat di organisasi-organisasi masyarakat. Karena itu, untuk mengontrol kekuatan Islam, pemerintahan Orde Baru mengintrodusir pembentukan MUI. Dari sini jelas bahwa tujuan awal pembentukan MUI adalah politik,” kata Bonar.
Hamka yang belakangan menjadi ketua MUI sebenarnya menolak pembentukan MUI. Tapi karena lobi dan desakan dari berbagai pihak, akhirnya Hamka menyetujuinya dan dia ditunjuk menjadi ketua MUI pertama. Setelah Hamka, Ketua MUI umumnya adalah orang-orang dari Departemen Agama atau orang yang dekat dengan pemerintah.
Senada dengan Tigor, Rumadi menyatakan bahwa pembentukan MUI adalah cara pemerintahan Orde Baru untuk melakukan konsolidasi dan penataan terhadap berbagai kelompok yang ada di tengah masyarakat. Konsolidasi dan penataan itu juga merambah ke wilayah keulamaan.
“Di satu sisi pemerintahan ingin mendapat legitimasi bagi seluruh program-program pembangunannya. Tapi di sisi yang lain pemerintahan Orde Baru juga ingin dilihat sebagai pemerintahan yang akomodatif terhadap kelompok-kelompok agama,” papar Rumadi.
Relasi MUI dan Pemerintah
Meski MUI didirikan oleh pemerintahan Orde Baru, tapi hubungan MUI dengan Pemerintahan Orde Baru tidak selalu mulus. Itu terlihat, misalnya, pada kasus fatwa MUI tentang pengharaman menghadiri perayaan Natal pada 1985.
Rumadi menengaskan bahwa fatwa MUI itu bukanlah fatwa pengharaman mengucapkan selamat Natal seperti yang disebarkan dan menjadi perdebatan setiap menjelang Natal dalam beberapa tahun terakhir ini.
Fatwa itu, sambung Rumadi, menyulitkan bagi pemerintahan Orde Baru karena fatwa itu dianggap memecah-belah kehidupan umat beragama. Karena situasi yang tegang antara MUI dan pemerintah saat itu, akhirnya Hamka menyatakan mundur sebagai ketua MUI.
Setelah reformasi, MUI tidak lagi takluk di hadapan pemerintah. Posisi MUI malah cenderung menguat.
Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, misalnya, MUI pernah bersitegang dengan pemerintah. Penyebabnya adalah soal Ajinomoto. Produk penyedap itu disinyalir mengandung enzim babi.
Gus Dur selain presiden, juga seorang ulama. Karena kapasitasnya sebagai ulama, dia merasa punya otoritas untuk bicara soal Ajinomoto dari sisi agama. Di sisi lain, MUI juga merasa punya otoritas untuk bicara dari sisi agama. Dua otoritas itu berhadap-hadapan dan bertarung soal Ajinomoto.
Relasi mesra MUI dengan pemerintah pasca Orde Baru terjadi pada Munas MUI tahun 2005. Saat itu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menghadiri munas sebagai tamu undangan khusus memberikan penyataan yang menguntungkan buat MUI.
SBY dalam pidatonya mengatakan bahwa untuk urusan keagamaan, pemerintahan sepenuhnya tunduk atas apa yang disampaikan MUI. Pidato itu, menurut Rumadi, tidak hanya menunjukkan relasi MUI dan pemerintah yang positif, tapi juga menunjukkan posisi MUI yang powerfull di hadapan pemerintah.
“Kita bisa memahami SBY yang tidak punya otoritas bicara mengenai agama sehingga dia untuk urusan-urusan keagamaan dia harus tunduk pada MUI. Beda dengan Gus Dur yang merasa punya otoritas bicara agama.”
Bonar memberikan perbandingan tentang fatwa MUI dan dampaknya pada publik saat Orde Baru dan pasca Orde Baru.
Pada 1980, MUI mengeluarkan fatwa tentang Ahmadiyah aliran Qodiyani. Isi fatwa itu menyebut bahwa Ahmadiyah aliran Qodiyani adalah sesat dan berada di luar Islam. Tapi fatwa sesat itu tidak memicu reaksi apapun dari publik saat itu. Fatwa MUI itu seolah tidak berdaya karena kuatnya posisi negara.
Bandingkan dengan fatwa serupa yang dikeluarkan MUI pada 2005. Fatwa itu menyebut Aliran Ahmadiyah, tanpa membedakan Qadiyani maupun Lahore, berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan, serta orang Islam yang mengikutinya adalah murtad (keluar dari Islam). Setelah fatwa itu, gelombang reaksi bisa disaksikan.
Gelombang reaksi yang paling kasat mata adalah penyerangan, persekusi, dan pengusiran jemaat Ahmadiyah di berbagai daerah. Pemerintah pusat makin memperparah keadaan dengan mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri pada 2008 yang memperlihatkan betapa tidak adilnya negara pada jemaat Ahmadiyah.
“Perbandingan ini menunjukkan pada pemerintahan Soeharto, MUI tidak memiliki peran seperti sekarang,” kata Bonar.
Bonar melihat era di mana menguatnya posisi MUI di masa pemerintah SBY adalah era yang buruk dalam sejarah politik demokrasi di Indonesia. Berbagai hasil laporan tahunan yang dibuat Setara Institue, Wahid Institute, juga lembaga-lembaga serupa lainnya menunjukkan bahwa dekade pemerintahan SBY adalah dekade yang suram bagi kebebasan beragama. SKB 3 menteri yang diskriminatif terhadap Ahmadiyah dikeluarkan pada masa pemerintahan SBY.
“Ini strategi SBY dalam mempertahankan kekuatan politiknya. Dia merangkul kekuatan-kekuatan politik Islam untuk berpihak pada kekuatan politiknya. Konsekuensinya, SBY mengakomodir tuntutan-tuntutan dari kelompok-kelompok Islam yang bertentangan dengan konstitusi.”
Selain itu, Undang-undang Penodaan Agama paling banyak digunakan pada masa pemerintahan SBY. Bonar mencatat antara 2004 sampai 2015, UU Penodaan Agama digunakan untuk 106 kasus. Sementara dalam masa pemerintahan Soeharto selama 32 tahun UU yang dikeluarkan pada akhir pemerintahan Soekarno itu tercatat digunakan hanya untuk 10 kasus.
“Lonjakan pengunaan UU Penodaan Agama begitu luar biasa di masa SBY. Pada saat yang sama sejumlah fatwa sesat dikeluarkan untuk melegitimasi apa yang dianggap sebagai penodaan agama.”
Status Hukum MUI
Dalam Undang-undang Ormas Nomor 17 Tahun 2013, ormas dibedakan menjadi dua macam. Satu, ormas yang tidak berbadan hukum. Dua, ormas yang berbadan hukum.
Ormas yang tidak berbadan hukum, misalnya, forum guru, forum ulama, forum umat Islam, dan seterusnya. Ormas-ormas seperti ini tetap diberikan haknya untuk berekspresi dan itu dijamin oleh konstitusi. Sementara ormas yang berbadan hukum dibedakan menjadi dua macam: perkumpulan dan yayasan.
Ciri utama perkumpulan adalah memiliki anggota dan memiliki struktur kepengurusan. Struktur itu bisa berjenjang dari tingkat kecamatan hingga tingkat nasional. Atau struktur itu hanya ada di satu wilayah tertentu. Perekrutan anggota ormas berbasis perkumpulan ini ditentukan dalam anggaran dasar/anggaran rumah tangga setiap ormas. Adapun yayasan adalah ormas yang tidak memiliki anggota.
Dari kerangka yang digariskan dalam UU Ormas itu, Andi melihat MUI masuk dalam kategori ormas berbadan hukum berbasis perkumpulan. Meski begitu, Andi belum bisa memastikan mengingat dia belum melihat langsung akta pendirian MUI.
“Setelah UU Ormas disahkan, pemerintah meminta kepada seluruh organisasi kemasyarakatan yang ada di Indonesia untuk menyesuaikan semua sistemnya. Setidaknya memastikan bahwa organisasi yang berdiri lebih tua dari UU Ormas, seperti Muhammadiyah dan NU tetap memiliki akta atau badan hukum yang bisa diterima menurut UU Ormas,” kata Andi.
Meski belum bisa dipastikan apakah sudah mengikuti koridor yang diamanatkan UU Ormas, hebatnya MUI adalah organsasi kemasyarakatan yang diterima dan menjadi bagian dari sistem hukum di Indonesia. Itu terlihat dalam Undang-undang Jaminan Produk Halal Nomor 33 Tahun 2014 yang menyebutkan bahwa MUI adalah satu-satunya lembaga yang punya kewenangan untuk membuat fatwa halal.
Dalam pasal 1 angka 7 UU itu sudah mendefinisikan MUI. Bunyinya, “Majelis Ulama Indonesia atau yang disingkat dengan MUI adalah wadah musyawarah ulama, zu’ama, dan cendikiawan Muslim”. Poin ini menarik bagi Andi karena poin ini memberikan posisi hukum MUI menjadi sangat istimewa, terlepas dari badan hukumnya yang belum diketahui.
Klausul “wadah musyawarah” juga menarik bagi Andi untuk dipertanyakan. Karena UU ini tidak menunjuk MUI sebagai sebuah entitas badan hukum tersendiri. Dalam klausul itu pun ada tiga komponen dalam wadah musyawarah itu, yaitu ulama, zu’ama (pemimpin), dan cendikiawan Muslim.
“Pertanyaan hukumnya adalah, apakah yang dimaksud oleh UU itu adalah MUI yang sama dengan yang kita pahami sebagai sebuah entitas kelembagaan yang ada. Karena per definisi, UU ini tidak menyebut MUI sebagai sebuah entitas organisasi khusus, melainkan hanya sebagai wadah. Dan itupun 3 komponennya.”
Posisi MUI sebagai ormas Islam yang diistimewakan, sambung Rumadi, terlihat dari gedung yang dijadikan kantor MUI adalah gedung milik kementerian agama. Sementara gedung atau kantor milik Muhammadiyah dan NU dibeli tanahnya sendiri dan dibangun sendiri.
Menurut Rumadi, menguatnya pengaruh MUI dalam konteks perundang-undangan dimulai pada 2007. Dalam Undang-undang Perseroan Terbatas (PT) Nomor 40, misalnya, MUI dimasukkan dalam nomenklatur perundang-undangan.
Sesuai amanat UU PT, setiap bisnis yang menggunakan label syariah harus dibentuk Dewan Pengawas Syariah (DPS). Anggota DPS itu direkomendasikan oleh MUI. Dan faktanya hampir semua pengurus MUI adalah anggota DPS. Para pengurus MUI yang menjadi anggota DPS mendapat fasilitas dari lembaga bisnis swasta itu.
Setahun kemudian, dikeluarkan Undang-undang Perbankan Syariah Nomor 21 Tahun 2008. Dalam nomenklatur UU ini, fatwa-fatwa MUI mengikat dalam urusan ekonomi syariah. “Bila Gubernur BI mau membuat fatwa mengenai perbankan syariah, sumbernya harus dari fatwa MUI. UU ini membuat posisi MUI menguat,” ungkap Rumadi.
Berdasarkan sejumlah UU di atas, Rumadi melihat bahwa posisi MUI tidak lagi sama dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan lainnya, seperti Muhammadiyah dan NU. Muhammadiyah dan NU, misalnya, hidup sendiri sebagai gerakan civil society. Sementara MUI tidak bisa disebut lagi sebagai gerakan masyarakat murni, tapi semi-negara.
Melihat posisi MUI sebagai ormas layaknya Muhammadiyah dan NU tapi mendapatkan keistimewaan-keistimewaan tertentu dari negara layaknya lembaga negara, Andi mengajukan dua pilihan untuk lebih memberikan kepastian hukum di mana posisi MUI.
Satu, apakah MUI tetap ingin menjadi lembaga swasta sebagaimana tujuan awal kehadirannya. Atau, dua, MUI dipertimbangkan menjadi lembaga negara yang terikat dengan konsekuensi-konsekuensi tertentu.
Konsekuensi itu antara lain, MUI harus terbuka jika diaudit oleh lembaga audit negara. Jika dalam proses audit itu ditemukan ada penyalahgunaan uang negara, maka statusnya adalah korupsi.
“Dengan kewenangan yang diberikan sejumlah UU kepada MUI, harusnya lembaga penegak hukum, seperti inspektorat, kepolisian, dan KPK melakukan pengawasan ke MUI”.
Konsekuensi yang lain adalah pengurus MUI harus juga menjaga kepentingan negara. Salah satunya adalah menjaga NKRI. Jangan sampai pengurus yang menikmati kewenangan dari negara dan uang dari pajak masyarakat malah memainkan peran yang bertentangan dengan tujuan didirikannya negara ini.
Banker Kelompok Radikal
Bonar menegaskan bahwa Indonesia bukanlah negara yang memisahkan secara ajeg antara kehidupan agama dengan kehidupan politik. Karena tidak ada pemisahan, kedudukan semua agama di Indonesia ditempatkan pada posisi yang setara. Tidak ada satu agama yang lebih dominan dan hegemonik dibandingkan agama yang lain.
Karena posisi semua agama yang setara itu, maka nilia-nilai universal semua agama bisa dijadikan bahan bagi pembentukan konstitusi maupun turunannya. Konsekuensi lain dari kesetaraan itu, semua warga negara Indonesia, apa pun latar belakang agama dan etnisnya, punya kesempatan yang sama untuk menjadi pejabat publik di negara ini.
Berangkat dari pandangan ini, Setara Institute menyayangkan sikap MUI terkait polemik pernyataan Ahok di Pulau Seribu. Pernyataan sikap itu dirilis Setara beberapa saat setelah MUI mengeluarkan “pendapat dan sikap keagamaan”. Tugas MUI seharusnya memberi panduan apa yang sebaiknya dilakukan umat, bukannya berpolitik.
Dalam konteks kontroversi penyataan Ahok, Bonar menginginkan MUI bersikap netral. Lebih dari itu, MUI harusnya bisa berperan dengan memberikan tafsir tentang al-Maidah 51 dalam konteks negara Pancasila. Inilah hal yang dituntut kepada MUI.
“MUI harus mengajarkan bagaimana nilai-nilai agama bisa menjadi pegangan bersama. Bukan hanya menguntungkan salah satu pihak atau bersikap diskriminatif kepada mereka yang berbeda.”
Terkait posisi MUI terhadap polemik pernyataan Ahok, Rumadi semula mengapresiasi MUI karena dua hal. Satu, pengurus MUI menolak dengan tegas ketika ada kelompok radikal yang ingin menjadikan kantor MUI sebagai tempat konferensi pers untuk menyerang Ahok. Hal ini patut dipuji karena MUI sadar bahwa MUI mau dimanfaatkan kelompok lain.
Menurut Rumadi pemanfaatan MUI sebagai sarang kelompok radikal sudah lama terjadi. Ketika masih di Wahid Institute persisnya pada 2010, Rumadi sudah mewanti-wanti pengurus MUI bahwa MUI dijadikan banker kelompok radikal.
“Ada tokoh di MUI yang memasukkan orang-orang yang paham kebangsaannya kacau, menolak Pancasila, dan menolak konstitusi, tapi difasilitasi oleh tokoh itu. Untungnya pengurus MUI mau mendengar dan tokoh itu ‘dikotakkan’ dan tidak diberikan peran yang maksimal sehingga wajah MUI pasca 2010 relatif lebih ramah,” papar Rumadi.
Dua, ketika Ahok meminta maaf, ada dua tokoh yang memberikan respons secara cepat. Ma’ruf Amin dan Said Aqil Siradj. Sebagai Ketua Umum MUI, Ma’ruf menyatakan bahwa ketika Ahok sudah minta maaf, sebaiknya Ahok dimaafkan. Pernyataan serupa disampaikan Said Aqil sebagai Ketua Umum PBNU.
Pasca pernyataan dua tokoh di atas, Rumadi merasa situasi berangsur mereda. Tapi beberapa jam setelah pernyataan Ma’ruf, MUI merilis pernyataan “pendapat dan sikap keagamaan” yang justru memanaskan situasi yang sudah reda. Dan pernyataan sikap MUI itu dijadikan legitimasi untuk melakukan ujaran kebencian kepada kelompok masyarakat yang berbeda pada demonstrasi pada Jumat pekan lalu.
Terkait isu penodaan agama, Rumadi meminta pemerintah, khususnya aparat penegak hukum agar bijak dalam menanganinya. Dari riset yang dilakukan Rumadi tentang kasus penodaan agama dari 1969 sampai beberapa tahun terakhir ini, setidaknya ada dua hal yang disimpulkan Rumadi.
Satu, hampir semua kasus penodaan agama selalu diikuti dengan gerakan massa. Itu, misalnya, terlihat dalam kasus cerpen berjudul Langit Makin Mendung yang memakan korban HB. Jassin dan kasus salat dua bahasa Yusman Roy.
Dua, di mana ada gelombang gerakan massa, di situ aparat penegak hukum biasanya akan mengikuti selera massa itu. Orang yang dituduh melakukan penistaan agama dijebloskan ke penjara agar meredakan kemarahan massa. Padahal belum tentu orang itu bersalah.
“Ada kasus di mana tuduhan penistaan agama tidak melibatkan gelombang massa. Kepolisian dan kejaksaan kemudian melepas orang yang dituduh melakukan penistaan agama karena dianggap tidak bersalah. Itu, misalnya, kasus karikatur Teguh Santosa.”
Rumadi berharap aparat penegak hukum tetap dalam posisi yang independen dan tidak dalam tekanan massa dalam menangani kasus pernyataan Ahok di Kepulauan Seribu. Rumadi juga berharap aparat penegak hukum tidak bekerja untuk memuaskan selera massa. [dutaislam.or.id/irwan amrizal/ab]
Source: http://www.madinaonline.id/ (website sudah mati)