Dutaislam.or.id - Habib Luthfi bin Yahya Pekalongan pernah diundang oleh salah satu murid kesayangan di Jateng untuk hadir sebagai penceramah pada acara Maulid Nabi. Abah Luthfi menjawab insyaallah hadir. Sang murid tentu sangat bergembira atas kesediaan beliau.
Semua sudah disiapkan. Lazimnya, menghadirkan Habib Luthfi harus manut jadwal beliau. Atau, beliau yang menjadwalkan sendiri. Itu pun tidak ada jaminan pasti hadir. Dalam thariqah, hal itu adalah bagian dari sikap hormat murid kepada guru. Pun demikian, ketika tidak hadir, murid tidak layak menggerutu kepada guru.
Makanya, mengundang Abah Luthfi yang juga ketua Jamiyah Ahluth Thariqah al-Mu'tabarah an-Nahdliyyah (Jatman) tersebut, harus siap ikhlash lahir batin. Beliau datang, harus siap dan tetap berhati-hati. Tidak jadi hadir pun harus siap menata hati jangan sampai mengecewakan. Itulah adab dalam thariqah.
Jika jadwal acara diubah hingga berkali-kali, itu bukan tidak mungkin terjadi. Sebaliknya, beliau sering hadir tiba-tiba dalam sebuah acara tanpa konfirmasi dan tanpa pengawal. Sendirian. Saksi kejadian macam ini banyak. Karena itulah, acara yang dihadiri Habib Luthfi tidak pernah menggunakan wasilah Event Organizer (EO).
Nah, dalam cerita ini, jadwal maulid yang sudah disiapkan sang murid tersebut diubah hingga 3 kali (kalau tidak salah dengar). Dan, pas hari pelaksanaan, ternyata beliau tidak jadi hadir karena suatu urusan. Harapan kahadiran pun kandas.
Kejadian tersebut membuat sang murid akhirnya tidak pernah berjumpa dengan Abah Luthfi sebagaimana biasanya, entah kecewa atau karena faktor lain. Hingga suatu saat ada seorang kiai dari Semarang yang sowan ke Pekalongan dan Habib Luthfi bertanya kabar tentang sang murid kesayangan tersebut kepada sang kiai.
"Kamu tahu kan, dalam maulidan itu yang dihormati adalah Kanjeng Nabi Muhammad shallahu alaihi wa sallam. Terus kalau pun aku datang di acara maulid itu, apa bisa aku dibandingkan dengan Kanjeng Nabi? Tidak bisa, sejauh tanpa kira bandingannya. Seakan-akan kalau aku datang di acara maulid, mereka membandingkan aku dengan Kanjeng Nabi," kata Abah Luthfi ke kiai dari Semarang tersebut.
Apa yang dikatakan Abah Luthfi tersebut disampaikan juga kepada sang murid kesayangan. Bagai disambar petir, sang murid langsung nangis terisak, tersedu-sedu mendengar pesan sang guru hingga sebegitu mendalam memaknai maulid Nabi. [dutaislam.or.id/ab]