Dutaislam.or.id - Mr. Andri Wanto, laki-laki yang tinggal di Singapura, tiba-tiba menangis tersedu-sedu saat mahallul qiyam pada acara Maulid Nabi yang diselenggarakan oleh BEM UIN Walisongo Semarang pada Kamis (08/09/2016) makam silam. Laporan maulid, bisa cek DISINI.
Tajuddin, teman yang mendampinginya mengaku heran karena selama menemani koleganya melakukan penelitian selama seminggu di Jateng, ia tidak pernah melihat Andri se-emosional itu. Melihat Andri menangis, ia biarkan. Dutaislam.or.id pun akhirnya diajak ketemu esok hari, 9 September 2016. Sempat berbincang sekitar 15 menit sebelum acara yang dihadirinya dimulai.
"Acara maulid 9 September 2016, terus terang saya emosional karena ada kerinduan primordial, yang selama 16 tahun tidak terobati," terang Andri, yang pernah nyantri 6 tahun di Pesantren Nurul Yaqin, Sumatra Barat. Pria asal Minang, Sumatra Barat itu menyebut bahwa manangis dan emosional seperti malam maulid sangat sulit dirasakan karena selama ini ia mengalami jumping (ketimpangan) kehidupan sosial.
Solidaritas dibangun dengan kuat di dunia pesantren. Rasa cinta antar sesama juga sangat mudah dirasakan. Namun, begitu masuk dunia modern yang individualis, hidup menjadikan jiwanya kering kerontang, tidak punya nilai spiritual dan ukuran-ukurannya selalu dengan materi.
Baca juga: Akhir Perdebatan Maulid Nabi Muhammad SAW
Dalam acara maulid yang selalu dilaksanakan di pesantrennya dulu, kenang Andri, ia bertemu antar para santri dan masyarakat, "ketika ketemu itu tidak ada tensi sama sekali, yang ada hanya hubungan transendensial, menumbuhkan cinta kepada Rasulullah dan membangun tawassul kepada Rasulullah," paparnya, "ini yang menurut saya tidak ada di kehidupan modern," imbuh Andri.
Andri mengisahkan, kedamaian seperti dalam maulid, tidak pernah dirasakan olehnya sejak pindah kuliah ke Jakarta sekitar tahun 1999. Di Jakarta, ia tidak menemukan acara maulidan seperti yang dirasakan Andri di pesantrennya, sementara, kondisi politik saat itu membuatnya harus terjun ke dunia aktivis.
Hidup dalam cengkeraman modernitas, menurut peneliti di Rajaratnam School of Internatioanl Studies (RSIS) Singapura ini memang melahirkan sifat individulis yang sangat luar biasa. "Di Singapura saya tidak tahu tetangga saya namanya siapa, kita tidak pernah saling tegur, dan memang tidak ada gunanya tahu, jangan pernah menegur tetangga lain, dia akan mencurigai Anda. Se-ekstrim itu hidup di Singapura," tegasnya.
Dari Singapura Andri pindah ke Inggris sampai menikah dengan orang Inggris, ia tidak menemukan perasaan damai seperti dalam acara maulid. Bahkan ketika tinggal di Jerman dan Australia pun, ia tidak menemukan kerinduan cinta Rasulullah seperti malam itu.
Dalam dunia santri, tidak ada ketegangan yang ditampakkan dalam maulid. Semua orang mengekpresikan rasa cintanya kepada Rasulullah tanpa takut bersaing dan. "Saat orang bersama sholawatan, itu yang membuat saya emosional," terang Andri, "ketemu teman-teman pesantren, nyambung lagi di sini," pungkas Andri. Masih menganggap bid'ah, mari belajar ke psantren. Ayo mondok! [dutaislam.or.id/ab]