Dutaislam.or.id - Tidak salah jika Tuhan menciptakan idiom Nusantara sebagai nama terindah untuk kepulauan ini. Dan tidak pula suatu kebetulan bila pathok negeri nusantara adalah NU-Santri-Tentara.
NU merupakan ikatan ulama seluruh kawasan di negeri ini, yang penuh dedikasi telah dan terus berjuang berlumur lumpur keringat bahkan darah untuk memahamkan manusia kepulauan ini akan Allah SWT sebagai Sang Pencipta dan kewajiban kehambaan kita pada-Nya.
Santri sebagai simbol para pembelajar yang penuh kesungguhan, akhlakul karimah, takdzim pada guru, dan pelaksana kebijakan yang terpercaya. Tentara adalah simbol keberanian dan manunggal tekad dalam membela tanah air.
Tidak mokal, bila cara berpikir ke-NU-anlah (tidak harus dimiliki warga nahdhiyin) yang mampu menjadi pemersatu bangsa. Ormas lain dengan mudahnya mengatakan tahayul, bid'ah, churafat, bahkan sekarang muncul cap thogut, kafir, sesat, syi'ah dan stempel dehumanisasi lain yang sangat menyesakkan dada, ora penak, nglarani ati, ndudut emosi.
Siapa yang mau dituduh kafir, bahkan orang kafir sekalipun? Pemberantasan tahayul, bid'ah, churafat (TBC) yang yang dialamatkan kepada ormas besar ini telah melukai masyarakat setempat pemangku tradisi dan budaya.
Budaya adalah pedalaman hati orang banyak, menistakan kebudayaan berarti melukai hati orang banyak. Kyai, Pesantren dan NU tidak pernah menggunakan jargon ini. Dengan jiwa yang besar dan hikmah, mereka ngemong, bahkan berani nggeget untu atau menahan diri dari perkataan yang menyakitkan hati masyarakat.
Seorang kyai mengatakan kepada seorang pemabuk yang ingin bertaubat, "Kamu ini sudah Islam, hanya kurang sholat." Lalu setelah pemabuk itu minta diajari cara shalat, dikatakannya, "Ya mandi dan wudhu, trus nanti saya ajari membaca syahadat". Sungguh hebat, seorang pemabuk mandi, wudhu dan kemudian membaca syahadat lalu shalat.
Sayangnya, para pegiat sekarang baru melihat puji-pujian dibilang bidngah, melihat orang tahlilan dibilang bidngah, ketemu orang ahli tafsir menjelaskan kecintaan pada sahabat Sayidina Ali kw dibilang syiah, ketemu orang melakukan ritual di pantai dibilang musyrik, ketemu orang rambut jagung dibilang kafir. Bagaimana mau memimpin orang nusantara, bila kagetan dan kepalanya penuh stigma?
Memang mungkin benar tuduhan itu, tapi dakwah yang mengutamakan akhlak akan menyimpan stempel itu di dalam dada dan tidak sekali-kali keluar dari mulutnya.
Ketika Jokowi minta restu mencalonkan diri sebagai pimpinan di negeri ini, maka almarhum Mbah KH Abdul Aziz Pacul Gowang pertama kali menguji akhlaknya, sebelum berbincang pribadi tentang konsep kepemimpinannya (keilmuan).
Karena Jokowi bukanlah Kyai, maka ia masuk kategori Santri. Dan seorang santri yang paling utama adalah akhlak qobla ilmu. Alhamdulillah negeri ini pernah dipimpin seorang kyai (KH Abdurrahman Wahid), dan kini seorang santri. Dengan akhlak santri, beliau mampu momong alam dan aneka kehidupan di tanah rimba kelapa ini.
Mari merawat Nusantara kita, tempat bunda kita dilahirkan, tempat kita berkarya dan kelak ditanam berkalang tanah. [dutaislam.or.id/ab]