Iklan

Iklan

,

Iklan

Mengapa Makam Maulana Maghrobi Ada Banyak? Ini Jawaban Habib Luthfi

24 Jan 2017, 23:54 WIB Ter-Updated 2024-08-14T23:20:04Z
Download Ngaji Gus Baha
Salah satu makam wali di Tapanuli

Dutaislam.or.id - Ahmad Syah Jalal (cucu Raja Naser abad India) menikah dengan putri raja Champa (Indocina, Vietnam-Kamboja) yang kemudian melahirkan Syekh Jamaludin Husen, memiliki 11 anak. Itulah kakek dari wali 9.  

Syekh Jamaludin inilah yang melakukan perjalanan -beserta rombongan para ulama yang dari Timur Tengah dan Maroko, hingga sampai ke Indonesia. Rombongan tersebut disebut sebagai al-Maghrobi (sebutan daerah Maghrib, Maroko). Setelah bertemu di Pasai, Aceh, rombongan tersebut langsung menuju ke pulau Jawa, tepatnya di Semarang. Dari Semarang mereka meneruskan perjalannya ke Trowulan-Mojokerto. 

Karena akhlak dan budi pekertinya yang baik, beliau sangat dihormati di kerajaan Majapahit.
Meskipun beda agama, pada waktu itu, beliau mendapat beberapa bidang tanah dari Maha Patih Gajah Mada, utamanya untuk kepentingan membuat sebuah padepokan pendidikan santrinya tidak hanya bersala dari dalam negeri, tetapi juga dari luar negeri.

Syekh Jamaludin Husen juga sangat popular disebut dengan Syeikh Jumadil Kubro. Rombongan beliau berpencar dalam menjalankan tugasnya masing-masing. Yang terbanyak di Jawa Timur, Jawa Tengah, lalu sebagian kecil ke Jawa Barat.

Dan makam-makam beliau-beliau ini. di kemudian hari, dinamakan al-Maghrobi. Makam dengan julukan itu sangat banyak, dan hal itu wajar karena orangnya bukan satu, tapi banyak.

Rombongan kedua dipimpin oleh dua tokoh, yang pertama Maulana Malik Ibrahim dan Sayyid Ibrohim Asmoroqondi (As Samarqondi) atau Pandito Ratu. Ketika itu, rombongan Maulana Malik Abdul Ghofur yang juga merupakan kakak Maulana Malik Ibrohim disebut pula sebagai al-Maghrobi-al-Maghrobi. Rombongan ini ternyata lebih banyak dari jumlah sebelumnya. 

Maulana Malik Ibrohim adalah cucu dari Syekh Jumadil Kubro. Rombongan ini juga berpencar, dan di antara robongan-rombongan tersebut ada yang sampai ke Pekalongan. Jumlahnya ada sekitar 25 orang maulana-maulana al Maghrobi. Makam beliau juga terpencar-terpencar dengan nama yang sama, Maulana Maghrobi.

Prabu Siliwangi (kerajaan Pajajaran) memanggil Maulana Maghrobi dengan sebutan kakek (pernahnya). Artinya, Maulana Maghrobi itu lebih tua dari Prabu Siliwangi. Di antara anggota rombongan itu, ada yang wafat satu orang, dimakamkan di pesisir Semarang, yang juga dikenal dengan nama Syekh Jumadil Kubro. Lokasinya dekat Kaligawe.

Dan ada juga yang wafat di Pekalongan, nama yang pertama adalah Maulana Syarifudin Abdullah, Hasan Alwi al Quthbi. Beliau bersama rombongannya tinggal di daerah Blado, Wonobodro. Lalu ada dua orang lagi bernama Maulana Ahmad al Maghrobi dan Maulana Ibrohim Almaghrobi, tinggal di daerah Bismo. Tiga tokoh tersebut dimakamkan di Bismo dan Wonobodro.

Yang di Bismo membangun masjid di Bismo, sementara yang di Wonobodro membangun masjid juga di Wonobodro. Yang di Setono (pekalongan), ada Maulana Abdul Rahman dan Maulana Abd Aziz Almaghrobi. Di antaranya lagi, tersebut nama Syekh Abdullah Almaghrobi Rogoselo, Sayidi Muhammad Abdussalam Kigede Penatas Angin.

Jadi, Almaghrobi tersebut ada empat generasi; generasi Jamaludin al Husen, generasi Ibrohim Asmoroqondi dan generasi Malik Ibrohim, lalu generasi Sunan Ampel. Yang dimakamkan di Paninggaran, daerah Sawangan, Wali Tanduran, adalah termasuk generasi kedua, walaupun bukan golongan al Maghrobi. Beliau sangat gigih dalam syi’ar Islam di Paninggaran. 
Kalau dalam bahasa Sunda, paninggaran itu berarti cemburu.

Pekalongan ini masih terpengaruh Jawa Barat dan sebagian Jawa Timur. Karena perbatasan Mangkang itu wilayah Majapahit, dan Mangkang ke arah barat sudah termasuk ikut wilayah Pajajaran Kuno. Pekalongan sendiri terpengaruh bahasa-bahasa Sunda dengan salah satu buktinya, ada nama tempat berawalan Ci, yakni Cikoneng Cibeo, di daerah Sragi.

Jadi, sebelum sebelum wali 9 yang masyhur seperti Sunan Ampel, Sunan Giri Sunan, Kali Jogo dan lainnya, sudah ada wali sembilan seperti Lembaga Wali Sembilan jamannya Sunan Ampel itu. Lembaga wali Sembilan ini seperti Wali Abdal, yang jumlahnya ada 7. Wafat satu akan ada yang menggantikannya. Wafat satu, berganti dan seterusnya. Jumlahnya tidak lepas dari 7. Nah wali 9 pun demikian.

Termasuk Kigede Penatas Angin itu Walisongo. Yang Wonobodro juga bagian dari Walisembilan, tapi tentu masuk generasi sebelum Walisongo yang masyhur itu. Ki Gede Penatas Angin adalah yang mempertahankan Pekalongan dari serangan Portugis. 

Pada waktu wali 9, di zaman Sunan Gunung Jati, sudah ada yang masuk ke Pekalongan. Namanya Kiyai Gede Gambiran, di pesisir pantai. Tapi karena terkena erosi, sekarang Gambiran sudah tidak ada.

Ada lagi Sayid Husen, di daerah Medono, dikenal sebagai makam Dowo Syarif Husen, hidup dijaman wali 9 juga, antara tahun 1590 an, sebelim masuk pejajahan Belanda. Walaupun tidak banyak disebut dalam sejarah Demak, Pekalongan dulu sangat dekat dan erat. 

Pada tahun 1900, Pekalongan lebih sedikit pelabuhannya di sekitar Loji, daerah hilir. Makanya di daerah sekitar itu, nama-nama desanya ada yang dijuluki Bugis; Bugisan, Sampang; Sampangan.

Pekalongan pada waktu itu sudah mulai maju, baik dalam pendidikan agama, ekonomi maupun lainnya. Di Dieng dan daerah sekitarnya, ada beberapa Candi. Itu menunjukkna kultur di Pekalongan sudah maju.

Di daerah Reban sampai Blado pernah ditemukan situs air langga. Itu semua menunjukan kalau Pekalongan sudah tua, hanya kita belum menemukan bukti secara kongritnya. Di antara bukti lainnya adalah pada jaman Sultan Agung Pekalongan, sudah ada tempat atau lumbung-lumbung padi dan beras.

Dan diantara tokoh-tokoh yang berperan pada waktu itu adalah tokoh yang di makamkan di Sapuro, yaitu Ki Gede Mangku Bumi. Sayang makamnya sudah rusak. Jaman almarhum Pak Setiono, saya masih sempat meminta untuk menulis tentang tokoh itu. Beliau meninggal pada tahun 1517 Masehi, makamnya di Sapuro, belakang masjid. 

Ada lagi tokoh lain -walaupun aslinya dari Bupati Pasuruan,- namanya Raden Husen Among Negoro. Beliau meninggal tahun 1665 dan dimakamkan di belakang masjid Sapuro. Beliau adalah Putra Tejo Guguh, Putra bupati Kayu-Gersik ke dua. Beliau ini yang menurunkan bupati Pekalongan pertama.

Pada waktu itu penduduk sudah ramai disusul dengan beberapa tokoh yang lain seperti Ki Hasan Cempalo atau Kyai Ahmad Kosasi, sang menantu. 

Bupati Pekalongan bernama Adipati Tanja Ningrat meninggal tahun 1127 H. dimakamkan di Sapuro juga, hidup sezaman dengan Jayeng Rono Wiroto, putra Amung Negoro Kyai Gede Hasan Sempalo.

Dan di Noyontaan (Jl. Dr. Wahidin), ada juga tokoh bernama Kiyai Gede Noyontoko, sehingga desa tersebut disebut Noyontaan, sebab waktu itu, yang membuka daerah adalah Ki Gede Noyontoko.

Dulu di belakang rumahnya Pak Teko, meninggal tahun 1660 M. Banyak lagi tokoh sepuh Pekalongan lainnya, seperti Wali Rahman di Noyontaan, dulu di Tikungan Jl. Toba atau di depan pabrik Tiga Dara, tapi sekarang makam nya sudah hilang. [dutaislam.or.id/ ab]

Keterangan:
Dipetik dan diedit dari wawancara Kabag Humas Kab. Pekalongan pada Al-Habib M. Lutfi bin Yahya di Kayu Geritan.

Iklan