Dutaislam.or.id - Didorong oleh keprihatinan melihat perkembangan situasi kebangsaan, Pesantren Tebuireng mendirikan Pusat Kajian Pemikiran KH Hasyim Asy'ari. Lahirnya pusat kajian yang bernaung di bawah Universitas Hasyim Asy'ari (Unhasy) ini juga dimaksudkan untuk melestarikan dan mengembangkan pemikiran pendiri Nahdlatul Ulama (NU) yang saat ini mulai dilupakan.
Pengasuh Pesantren Tebuireng KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah) mengungkapkan, sekitar 20 tahun lalu, ada tokoh NU yang menilai pemikiran KHM Hasyim Asy'ari telah kadaluarsa alias out of date dan dianggap terlalu sederhana. "Waktu itu saya menjawab, Mbah Hasyim membuat rumusan Ahlussunnah wal Jamaah untuk konsumsi masyarakat. Jadi dibuat sangat sederhana, supaya mudah dipahami. Dan, alhamdulillah, itu mudah dipahami," ungkapnya saat meresmikan pendirian pusat kajian tersebut, Sabtu (05/02/2017).
Fakta bahwa pemikiran Mbah Hasyim mudah diterima, menurut Gus Sholah, dibuktikan dengan jumlah anggota NU yang sangat besar. "Jadi, dari segi ilmu komunikasi, rumusan yang sederhana itu justru suatu keunggulan," tegas kiai yang juga menjabat Rektor Unhasy Tebuireng itu.
Jasa Mbah Hasyim yang mulai dilupakan, terutama terkait dengan proses memadukan keislaman dan keindonesiaan. Baik pada proses penyusunan rumusan dasar negara, pembentukan Kementerian Agama, hingga sinkronisasi pendidikan nasional dan pendidikan Islam. "Pak Wahid Hasyim yang berperan dalam proses-proses itu, adalah mewakili pemikiran Mbah Hasyim," ungkap salah satu putra KHA Wahid Hasyim ini.
Gus Sholah menambahkan, sikap NU sebagai ormas Islam pertama yang menerima Pancasila secara resmi pada 1984 juga bagian dari sentuhan dan jasa Mbah Hasyim. Sebab, sikap NU itu didasarkan pada dokumen tentang hubungan Islam dan Pancasila yang ditulis oleh KH Ahmad Siddiq, yang merupakan salah satu murid Mbah Hasyim.
Lebih lanjut, Gus Sholah menuturkan bahwa proses akomodasi substansi syariah Islam ke dalam sejumlah UU, seperti UU Perkawinan dan UU Peradilan Agama, yang dipelopori oleh KH Bisri Syansuri dan KH Wahab Chasbullah, juga tidak bisa dilepaskan dari peran Mbah Hasyim. Sebab, keduanya juga murid beliau.
"Jadi, saya mengambil kesimpulan bahwa yang memadukan Islam dan Indonesia adalah Mbah Hasyim. Seandainya Kiai Ahmad Siddiq, Kiai Bisri Syansuri dan Kiai Wahab Chasbullah bukan murid Mbah Hasyim, mungkin akan lain ceritanya," tandasnya.
Perpaduan Islam dan Indonesia itu, menurut Gus Sholah, saat ini sedang ada yang coba merenggangkannya. "Kalau sampai upaya untuk melonggarkan sendi-sendi itu terjadi, saya khawatir bangsa kita akan mengalami lagi turbulensi," ungkapnya.
Untuk itulah, peresmian pusat kajian ini juga diisi dengan penyampaian Pesan Kebangsaan Pesantren Tebuireng. Dokumen berisi enam poin penting itu dibacakan langsung oleh Gus Sholah di akhir acara.
Hadir dalam acara tersebut, mantan Menteri Agama KH Tolchah Hasan, mantan Rektor UIN Jakarta Masykuri Abdillah. Juga wakil Rektor Unhasy Haris Supratno dan wakil pengasuh Pesantren Tebuireng KH Abdul Hakim Mahfudz. [dutaislam.or.id/day]