Oleh M Abdullah Badri
Dutaislam.or.id - Indonesia sepertinya memang butuh situasi seperti kegaduhan yang selama ini terjadi. Publik dibuat gusar dulu, baru dijelaskan. Butuh benturan opini tentang pro-kontra Ahok dan tuduhan kepada KH Ma'ruf Amin, biar ada ruang menjelaskan kepada publik, terutama tentang kebijakan NU yang selama ini dianggap lembut kepada kafirin kepet.
Jika sampai perang fisik terjadi, akan ada tata dunia baru. 91 tahun NU tidak pernah ikut gerakan thoghut, masak mau diajak menjadi thoghut oleh kelompok makar yang baru lahir belakangan. Padahal target kegaduhan ini adalah perebutan pengaruh antara elite negeri sono dengan elite negeri sana. Ya Allah.
NU lagi-lagi jadi alat mereka (yang saling berebut itu), biar tarikan isunya berbunyi nyaring di media. Kiai Said sudah ikhlash dibully karena tidak ikut dukung 212. Ia ingin NU dijauhkan dari kepentingan Pilkada. Eh, hanya karena Kiai Ma'ruf jadi saksi yang dihadirkan JPU, digorenglah jadi isu besar yang membenturkan antar sesama nahdliyyin.
Pendukung GNPF hilang. Mereka minta Ansor yang keluar melakukan aksi bela-belaan. Padahal selama ini mereka membully NU dan Ansor. Duh. Makin rumit saja ketika mereka mendadak jadi NU, tapi hanya menyoraki dari luar saja. Dukung NU, tapi masih menuduh bid'ah tahlilan, maulid dan amaliyah aswaja lainnya.
NU lebih besar daripada DKI gan. Urusan Ahok itu politik murahan Pilkada. Makanya Mbah Wali tidak ada yang mau terlibat langsung laiknya ketika Gus Dur akan diturunkan oleh pemilik hati-hati busuk itu. Urusan Pilkada DKI adalah remeh dan temeh, tapi bikin runyam anak negeri ini.
Pesan persatuan dari Gus Mus |
Insyaallah nanti akan kelihatan satu per satu kalau isu-isu fatwa jelas dipesan pihak sebelah yang ingin Indonesia gaduh, lalu ada The New Word Order for NKRI. Bisa lewat perang, bisa lewat perjanjian atau dominasi pengaruh dan jeratan politik plus ekonomi. Wait and see saja.
NU selalu dibenturkan biar isunya bunyi. Biar antara Kiai dan MUI saling berhadapan, biar antara NU dan Habib tukaran, biar antara NU dan NU lainnya saling curiga. Lalu, di dunia lain di negeri ini, sekelompok orang sedang memetakan masa depan Nusantara sesuai selera, merekalah elite global yang jumlahnya 1 persen penduduk dunia. Huff...
Deradikalisasi dunia maya itu bagian dari pencegahan perang fisik. Kalau masih bicara mayoritas minoritas, dikit-dikit bela-belaan, dikit-dikit isu Cina Kristen Syiah, ya sudah, perang akan lahir sendirinya.
Mudah kok untuk memantik perang di negeri kaya aneka ragam suku dan budaya dengan jumlah muslimin besar seperti Indonesia ini. Cara mudah, hinalah NU dan kiai-nya, provokasi pemudanya, terutama Ansor Banser, bukan tidak mungkin, jika hal itu berhasil, tragedi 65 akan terulang kembali.
NU selalu dibenturkan biar isunya bunyi. Biar antara Kiai dan MUI saling berhadapan, biar antara NU dan Habib tukaran, biar antara NU dan NU lainnya saling curiga. Lalu, di dunia lain di negeri ini, sekelompok orang sedang memetakan masa depan Nusantara sesuai selera, merekalah elite global yang jumlahnya 1 persen penduduk dunia. Huff...
NU Diajak Gaduh
Deradikalisasi dunia maya itu bagian dari pencegahan perang fisik. Kalau masih bicara mayoritas minoritas, dikit-dikit bela-belaan, dikit-dikit isu Cina Kristen Syiah, ya sudah, perang akan lahir sendirinya.
Mudah kok untuk memantik perang di negeri kaya aneka ragam suku dan budaya dengan jumlah muslimin besar seperti Indonesia ini. Cara mudah, hinalah NU dan kiai-nya, provokasi pemudanya, terutama Ansor Banser, bukan tidak mungkin, jika hal itu berhasil, tragedi 65 akan terulang kembali.
Aksi bela-belaan dan baper sebelah |
Kalau memprovokasi FPI, tentu masih kurang kuat membikin gaduh, yang akhirnya melahirkan tragedi. Buktinya, sekali Ansor protes Ahok soal penghinaan kepada KH Ma'ruf Amin, langsung ketakutan dan mau minta maaf. Untung Gus Yaqut Ketua Umum GP Ansor tidak menginstruksikan Banser agar turun jalan atas nama "bela ulama". Jika itu terjadi, darah bakal mengalir. Sejarah akan terulang.
Saya jadi ingat zaman Gus Dur mau digulingkan dari kursi kepresidenan. Puluhan ribu Banser siap tempur, tapi dicegah oleh Gus Dur. Sejak itu, Habib Rizieq mengetahui kekuatan Gus Dur dan ia tidak pernah turun jalan seperti akhir-akhir ini terjadi. Semasa Gus Dur jadi presiden, dakwah FPI berjalan massif dari masjid-masjid hingga lumayan besar bisa bikin gaduh seperti sekarang ini kita rasakan bersama.
Dengan NU, Gus Dur kuat. Tapi NU tidak dimanfaatkan semena-mena untuk mempertahankan kekuasaan politik sesaat. Bill Clinton menghormati Gus Dur, tunduk sama Gus Dur ya karena menurut Presiden Amerika (zaman Gus Dur) NU adalah macan yang ada di kandang. Sekali terkam, wassalam.
Kini NU mau ditarik keluar kandang oleh kalangan peminat makar dan kegaduhan dengan pintu masuk Pilkada DKI. Entah apa yang mereka inginkan sebenarnya. Gregel ati melihat orang-orang dibalik gerakan aksi-aksi an yang mengajak "para buih" berdemo atas nama bela agama, bela ulama dan bela kemenangan sebelah.
Pada akhirnya, semua akan terkuak, lambat, sedikit, tapi terus-menerus hingga anak negeri ini waras atau memilih konflik ala Syuriah. Banjir informasi tanpa saringan mana yang provokasi dan mana yang simpati, akan mengakibatkan benturan. Apa Indonesia mesti butuh konflik agar lebih jelas siapa yang berkepentingan merusak persatuan? [dutaislam.or.id/ab]
Saya jadi ingat zaman Gus Dur mau digulingkan dari kursi kepresidenan. Puluhan ribu Banser siap tempur, tapi dicegah oleh Gus Dur. Sejak itu, Habib Rizieq mengetahui kekuatan Gus Dur dan ia tidak pernah turun jalan seperti akhir-akhir ini terjadi. Semasa Gus Dur jadi presiden, dakwah FPI berjalan massif dari masjid-masjid hingga lumayan besar bisa bikin gaduh seperti sekarang ini kita rasakan bersama.
Dengan NU, Gus Dur kuat. Tapi NU tidak dimanfaatkan semena-mena untuk mempertahankan kekuasaan politik sesaat. Bill Clinton menghormati Gus Dur, tunduk sama Gus Dur ya karena menurut Presiden Amerika (zaman Gus Dur) NU adalah macan yang ada di kandang. Sekali terkam, wassalam.
Kini NU mau ditarik keluar kandang oleh kalangan peminat makar dan kegaduhan dengan pintu masuk Pilkada DKI. Entah apa yang mereka inginkan sebenarnya. Gregel ati melihat orang-orang dibalik gerakan aksi-aksi an yang mengajak "para buih" berdemo atas nama bela agama, bela ulama dan bela kemenangan sebelah.
Pada akhirnya, semua akan terkuak, lambat, sedikit, tapi terus-menerus hingga anak negeri ini waras atau memilih konflik ala Syuriah. Banjir informasi tanpa saringan mana yang provokasi dan mana yang simpati, akan mengakibatkan benturan. Apa Indonesia mesti butuh konflik agar lebih jelas siapa yang berkepentingan merusak persatuan? [dutaislam.or.id/ab]
M Abdullah Badri, pengurus LTN NU Jepara