Dutaislam.or.id - Kiai Faqih ternyata memiliki hubungan yang sangat akrab dengan Hadratussyaikh karena senasib dan seperjuangan dalam mencari ilmu serta dengan guru yang sama. Hubungan mereka pun semakin akrab tatkala NU didirikan pada 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926 di Kota Surabaya.
Yakni, mereka berdua didaulat oleh para kiai untuk menduduki jabatan sebagai Rais Akbar Hadratussyaikh dan Kiai Faqih mendapat bagian sebagai Wakil Rais Akbar. Keakraban mereka dalam menjalankan roda organisasi bukannya tanpa perbedaan. Mereka pernah tidak sepaham dalam menanggapi satu masalah yang berhubungan dengan hukum pemakaian kentongan.
Paling tidak, sejak tahun 1918, 1926 dan bertahan hingga kini, NU tiap bulannya sudah menerbitkan Jurnal Ilmiah. Tradisi keilmuwan yang kuat dari para ulama atau kiai NU inilah sebenarnya yang menjadi cikal bakal ormas Islam terbesar di Indonesia ini.
Pada salah satu terbitan Jurnal tersebut, Mbah Kiai Hasyim As’ary, dari Tebuireng Jombang, yang juga ketua NU saat itu, mengulas tentang hukum Bedug dan kentongan. Menurut Kiai Hasyim, Bedug boleh digunakan di masjid tetapi kentongan tidak boleh digunakan. Karena tidak ada dalil naqli,
Sumber hukum tekstual lah yang membolehkan kentongan, sementara kalau bedug memang ada dalil naqlinya. Pada terbitan bulan berikutnya, Mbah Kiai Faqih dari Maskumambang, Gresik, yang juga ketua wakil NU saat itu, menulis artikel yang berbeda pendapat dengan Mbah Hasyim.
Hukum Kentongan
Menurut Kiai Faqih, hukum kentongan juga boleh digunakan di masjid karena meskipun tidak ada sumber teksnya, kentongan bisa diqiyaskan, atau dianalogikakan dengan bedug.
Setelah kemunculan terbitan jurnal yang memuat pendapat kiai faqih itu, Mbah Hasyim mengumpulkan para ulama dan santri senior di pesantren Tebuireng Jombang dan meminta kedua artikel itu dibacakan ke hadirin.
Mbah Hasyim mengatakan bahwa baik bedug maupun kentongan, bisa digunakan secara bebas, hanya saja beliau meminta hendaknya di masjid Tebuireng kentongan tidak digunakan selama-lamanya.
Mbah Hasyim menegaskan “Anda bebas mengikuti pendapat yang mana saja, karena kedua-duanya benar. tetapi saya tekankan bahwa di pesantren saya kentongan tidak digunakan.”
Pada waktu kesempatan berikutnya, dalam rangka maulid nabi, Kiai Hasyim diundang ceramah ke Pesantren Maskumambang, Gresik, pesantrenya Kiai Faqih. Nah, rupanya, sebelum kedatangan Kiai Hasyim, Kiai faqih meminta para pengurus masjid se Kabupaten Gresik agar selama Kyai Hasyim berada di Gresik, kentongan-kentongan itu diturunkan dari tempatnya.
Sungguh suatu sikap yang patut diteladani dari kedua tokoh besar bijak bestari NU ini bagi warga nahdliyin jika terjadi suatu perselisihan. Kearifan para ulama jaman dahulu, meskipun berbeda pendapat, tetapi mereka tetap saling menghormati perbedaan pendapat itu. Teguh dalam pendapat dan keyakinan bukan berarti harus kehilangan rasa hormat terhadap pendapat dan keyakinan yang berbeda.
Ironisnya, justru di jaman serba keterbukaan informasi sekarang ini, banyak ulama yang tidak rukun. Antar kelompok gerakan, saling menyalahkan, saling menyesatkan, bahkan saling mengkafirkan.
Bila para ulama dan pemimpin umat yang berbeda pendapat itu bisa saling menghormati seperti Mbah Hasyim dan Mbah Faqih, umat dan warga negara Indonesia pastinya akan rukun dan damai. Perbedaan bukan media pertengkaran dan permusuhan, tetapi sebagai perekat ukhuwah dan memupuk sikap toleransi dan menghargai pendapat orang lain.
Sungguh indah jika para pemimpin dan elit di negara kita tercinta ini bisa meneladani pesan moral dari kedua tokoh besar Nahdlatul ulama di atas. [dutaislam.or.id/msd]
Keterangan:
Artikel di atas dikutip dari Biografi Gus Dur (karya Greg Barton) dan Tata Krama dan Ummatan Wahidan, dalam buku "Islam ku, Islam Anda, Islam Kita".
Artikel di atas dikutip dari Biografi Gus Dur (karya Greg Barton) dan Tata Krama dan Ummatan Wahidan, dalam buku "Islam ku, Islam Anda, Islam Kita".