Dutaislam.or.id - Tiap 20 Mei, kita diingatkan pada sebuah organisasi "Budi Utomo", karena pada tanggal itu, tahun 1908 dikenang sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Di tahun itu, mula-mula hanya ada tiga pelajar kedokteran; Soetomo, Cipto Mangunkusumo, dan R.T Ario Tirtokusumo, kemudian puluhan kaum pelajar lain, yang bukan kedokteran, turut bergabung dan andil di dalamnya. Tujuan utamanya menyatukan cita-cita kaum terpelajar dan kemajuan bagi Hindia Belanda.
Enam tahun setelah Budi Utomo mengabdi, dalam perkembangannya, tahun 1914 di tubuh Budi Utomo muncul dua aliran. Yang pertama, pihak kanan, diwakili Soetomo, berkehendak supaya keanggotaannya dibatasi pada golongan terpelajar saja dan tidak bergerak dalam lapangan politik, sementara pihak kiri, yang diwakili Cipto Mangunkusumo, berkeinginan keanggotaannya dari semua kalangan, terutama kaum buruh dan tani, serta arah gerakan kebangsaan yang politik-demokratis.
Masih pada tahun 1914 itu, di saat Perang Dunia I sedang bergolak hebat, ada santri yang baru pulang menimba ilmu dari tanah Hijaz, ia bernama Abdul Wahab Chasbullah. Tak sampai seminggu di kampung Tambak Beras, ia kemudian bergabung pada Syarikat Islam (SI) dengan tokoh utamanya Haji Oemar Said Tjokroaminoto, ia juga bergabung pada Budi Utomo (BU) pimpinan Cipto Mangunkusumo, tetapi Kiai muda itu merasa ada yang ganjil dari keduanya.
Dalam pandangannya, SI terlalu mengutamakan kegiatan politik, dan melupakaan dunia pendidikan, sedangkan Budi Utomo dirasa sangat nihil dari spirit nasionalisme. Hal ini dibuktikan dengan arah organisasi itu yang hanya memajukan pendidikan untuk kalangan priyayi dan hanya mementingkan pemerintah kolonial Belanda daripada kepentingan rakyat pribumi.
Karena gelisah dengan keadaan itu, ia bersama santri lain, terutama Bisri Syansuri, Mas Mansur dan atas izin Sang Kiai (Hasyim Asy'ari) mendirikan organisasi Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Bangsa).
Dari Nahdlatul Wathan itulah, para pemuda di seluruh jagad Nusantara ini mendapatkan percikan api nasionalisme, dan santri-santri dididik untuk menjadi pemuda yang berilmu dan cinta tanah air. Bahkan setiap hendak dimulai kegiatan mengaji, para santri diharuskan terlebih dahulu menyayikan lagu nasionalisme; Yalal Wathan atau Syubbanul Wathan. Sejak itu, di tanah tumpah darah ini, gegap-gempita dan membara api nasionalisme.
Untuk menghargai peran santri, yang diwakili Abdul Wahab Chasbullah ini, Soetomo pernah berpidato: “Pesantren adalah konservatorium nasionalisme dan patriotisme Indonesia. Andai tidak ada pesantren, andai kata tokoh-tokoh Indonesia hanya mendapatkan pendidikan Barat, kiranya sulit mengajak mereka untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.”
Tetapi sejarah seperti itu dimasukkan ke dalam "ruang gelap", kita seakan menyembunyikan sesuatu yang teramat penting itu di dalam kotak. Kita gagap mengingatnya. Wallahu'alam. [dutaislam.or.id/ab]
Source: Buku "Sang Mujtahid Nusantara"