Dutaislam.or.id - Sehabis tahlil bersama dalam rangka memperingati Haul Gus Dur ke II, Wali Paidi bersama warga berkumpul bareng, ngopi. Mereka saling berkelompok antara tiga sampai empat orang membicarakan dan mengenang Gus Dur, yang sesekali diselingi adu argumen tentang rahasia sang Guru Bangsa itu.
Ia bersama empat orang lainnya duduk bersama ditemani satu cangkir kopi besar ditaruh di tengah. Joinan kopi dan rokok bersama. Indah, rukun, sepi umpatan.
"Gus Dur jadi presiden kok cuma sebentar itu menurut sampeyan gimana kang?" Paijo, tetangga Wali Paidi mulai membuka pembicaraan dengan bertanya kepada Wali Paidi
"Sebelum kita membahas tentang itu semua, alangkah baiknya kita mengulas lagi sejarah sebelum Gus Dur jadi presiden".
"Piye kang ceritane?" teman yang lain ikut penasaran atas apa yang akan keluar dari pendapat Wali Paidi.
Dulu ada seorang kiai di Blitar, namanya Kiai Rohimi. Beliau dikenal ahli istikharah. Banyak sekali kiai yang sowan kepadanya menanyakan apa makna isyarah yang diterima. Anehnya, Kiai Rohimi bisa menafsirkan isyarah-isyarah yang ditanyakan banyak orang kepadanya. Tidak pernah meleset. Dan hampir 100 persen mendekati kebenaran.
Padahal, kehidupan sehari-harinya hanya petani desa sederhana. Tiap pagi diantar cucu pergi ke sawah naik sepeda onthel. Para tamu yang hendak sowan biasanya harus menunggu Kiai Rohimi pulang, menunggu di depan ndalem beliau.
Di rumah yang berdinding kayu jati itulah, Kiai Rohimi menerima para tamu. Namun, ada sebuah kamar yang hanya khusus diperuntukkan kepada Gus Dur jikalau datang berkunjung ke situ dan menginap. Sebelum jadi presiden, Gus Dur memang banyak menerima isyarah dan menanyakan makna isyarah itu kepada Kiai Rohimi.
"Kiai rohimi ini tingkatannya lebih tinggi daripada Gus Dur ya kang, sampai Gus Dur sendiri minta tolong untuk menafsiri isyarah yang diterima," Paijo nyeletuk ke kepada Wali Paidi.
"Tidak mesti begitu. Kamu tahu Pak Ridwan tetangga kita yang jadi dosen di salah satu universitas terkenal itu?"
"Iya, saya tahu kang".
"Ketika ban mobilnya bocor, apa Pak Ridwan menambal ban mobilnya sendiri?"
"Tidak lah kang. Pak Ridwan jelas tidak bisa. Ban bocor akan ditambalkan ke tukang tambal ban".
"Pertanyaannya, apa tingkatan tukang tambal ban itu lebih tinggi daripada tingkatan Pak Ridwan yang dosen itu?"
"Ya tentu tidak kang".
"Begitulah apa yang terjadi di antara Gus Dur dan Kiai Rohimi. Tidak bisa diukur siapa lebih tinggi tingkatannya di antara mereka berdua," terang Wali Paidi. Rokok Dji Sam Soe nya disedot, nyeruput kopi, lalu melanjutkan cerita lagi.
"Sampeyan akan jadi orang nomor satu di Indonesia, tapi hanya sebentar," kata Wali Paidi menirukan ucapa Kiai Rohimi kepada Gus Dur kala itu.
"Berapa lama kiai?"
"Tidak sampai tiga tahun".
"Tugas yang sangat berat," ucap Gus Dur kala itu tanpa mempedulikan lama jabatannya.
"Iya ini memang tugas yang sangat berat Gus, dan sampeyan akan diturunkan oleh rakyat sampeyan sendiri," kata Kiai Rohimi.
"Kalau memang tugas, biar pun sebentar tidak apa-apa, yang penting bermanfaat," ucap Gus Dur.
***
Gus Dur menerima dengan lapang dada isyarah yang ditafsirkan Kiai Rohimi. Gus Dur tidak peduli jika dalam kepimpinanya kelak, akan direcoki dan akhirnya diturunkan secara tidak terhormat. Gus Dur memiliki prinsip, biarlah orang memusuhinya asal Allah menyayanginya. Biarlah orang menghinanya asal Allah ridla.Beberapa bulan kemudian ganti para kiai sepuh yang mendapatkan isyarah-isyarah dari Allah mengenai Gus Dur. Para kiai tidak mau gegabah dengan menafsiri sendiri isyarah yang diterima oleh mereka. Para kiai sepuh itu sowan ke Kiai Rohimi menanyakan apa makna isyarah yang mereka terima.
Setelah mendapatkan makna isyarah Kiai Rohimi, para kiai sepuh menyampaikannya kepada Gus Dur. Sikap Gus Dur sangat ta’dzim ketika menerima mereka dan bahkan mengucapkan terimakasih karena mau memperhatikan dirinya selama ini, walau sebetulnya Gus Dur sendiri sudah tahu kalau dirinya akan jadi presiden. Gus Dur juga sudah tahu kalau masa kepemimpinannya cuma sebentar, jauh sebelum para kiai ini mengetahuinya.
Di luar sana, pertemuan antara para kiai dan Gus Dur tersebut tercium wartawan. Ramailah berita pertemuan tersebut. Oleh pewarta media, para kiai sepuh ini akhirnya dijuluki sebagai poros langit, disesuaikan dengan kelompok yang mengusung Gus Dur menjadi presiden, yakni poros tengah. Kebetulan juga, pemimpin kelompok kiai sepuh ini adalah KH Abdullah Faqih langitan Tuban. Jadi pas jika sebutan mereka itu "poros langit", alias poros Langitan.
Dan kita semua tahu, Gus Dur secara mengejutkan benar-benar jadi presiden. Namun tentunya Gus Dur dan para kiai sepuh sama sekali tidak terkejut dengan hal itu sudah tahu sebelumnya
Awal pemerintahan Gus Dur berjalan baik. Hubungan Gus Dur dengan Bu Mega nampak mesra. Mereka bergantian mengadakan sarapan pagi bersama. Kadang di istana presiden, kadang pula di istana wakil presiden. Tapi lama kelamaan para koruptor dan penggila jabatan mulai kuatir dengan ketegasan Gus Dur dalam memimpin negara ini.
Mereka mulai tidak bebas melakukan korupsi dan menumpuk-numpuk kekayaan pribadi karena ketatnya pengawasan Gus Dur kala itu. Mereka akhirnya mulai mendanai mahasiswa melakukan ndemo kepada Presiden Gus Dur. Mengangkat isu-isu yang memojokkan. Para koruptor hanya menunggu momen tepat menjatuhkan Gus Dur.
Gus Dur memang terkenal dengan gaya ngomong yang blak-blakan, Gus Dur berprinsip "padhakno pengucapmu podho karo karepe atimu" (Samakanlah ucapanmu dengan kehendak hatimu).
Saat Gus Dur diminta pendapat oleh wartawan tentang Bu Mega yang sering diam saja, Gus Dur dengan enteng menjawab, "dia itu bodoh". Jawaban Gus Dur itu didengar oleh Pramono Anung yang ketika itu, -kalau tidak salah,- masih menjabat sebagai sekjen PDIP. Oleh Pram, jawaban Gus Dur itu disampaikan kepada Ibu Mega. Ngambek deh Bu Mega waktu itu. Ia tidak mau menemui Gus Dur ketika sarapan pagi bersama di istana wakil presiden.
Dan inilah kesempatan yang ditunggu oleh para koruptor dan penggila jabatan. Moentum ini dianggap sebagai celah asyik yang bisa buat amunisi menurunkan Gus Dur dari kursi presiden.
Pada sat ini, para kiai sepuh dapat isyarah lagi kalau Gus Dur akan dilengserkan dari kursi presiden. Para kiai sepuh poros langit ini sowan lagi kepada Kiai Rohimi, meminta pendapat dan meminta solusi menanyakan langkah terbaik agar Gus Dur masih tetap menjadi presiden.
"Gus Dur akan bisa tetap jadi presiden kalau mau meminta maaf kepada Ibu Mega, walaupun Gus Dur tidak ada niat merendahkan ibu mega," ucap Kiai Rohimi kepada para kiai sepuh.
Biarpun Kiai Rohimi sudah tahu kalau jabatan Gus Dur cuma sebentar, tapi Kiai Rohimi tetap memberi peluang kepada para kiai. Ia berkeyakinan bahwa Allah jualah yang menjadi penentu akhir suatu kisah. Isyarah hanyalah perlambang.
Para kiai kembali menemui Gus Dur dan menyampaikan apa yang diperoleh dalam isyarahnya dan juga menyampaikan pesan Kiai Rohimi. Tapi Gus Dur tidak mau melakukannya, bukan berarti Gus Dur tidak mau minta maaf karena malu atau gengsi, tapi apa yang dialami Gus Dur kurang lebih persis seperti apa yang dialami oleh Sayyidina Ali.
Dalam peperangan, ketika Sayyidina Ali mau membunuh orang kafir yang sudah terjatuh di atas permukaan tanah, ia tiba-tiba mengurungkan niat ketika orang kafir itu meludahinya. Orang kafir itu heran melihat Sayyidina Ali yang tiba-tiba urung membunuhnya itu.
"Pertama. aku memang berniat membunuhmu karena Allah, tapi ketika kamu meludahiku, terbesit perasaan marah kepadamu, maka aku urungkan niat membunuhmu karena ada niat selain Allah di hatiku," begitu kata Sayyidina Ali kepada si kafir.
Gus Dur juga demikian. Ia tidak mau meminta maaf kalau niatnya hanya karena ingin mempertahankan jabatan. Gus Dur tidak gila jabatan, dan ia memang sudah tahu kalau masa kepemimpinannya cuma sebentar. Akhirnya, kita semua tahu bahwa Gus Dur berhasil diturunkan dari kursi kepresidenan karena kasus yang dibuat-buat oleh lawan politiknya, macam buloggate.
***
Paijo dan kawan-kawannya terdiam mendengar cerita Wali Paidi ini. Mereka merasa baru mendengar cerita Gus Dur dengan Kiai Rohimi. Sangat penasaran."Apakah Kang Paidi pernah bertemu dengan Kiai Rohimi".
"Tidak pernah," jawab Wali Paidi kepada Paijo, ia masih menyedot rokoknya.
"Lalu, sampeyan dapat cerita darimana".
Wali Paidi tidak menjawabnya, dia hanya tersenyum dan menyeruput selepek kopi, lalu ngeloyor pergi. Namanya juga Wali Paidi, kerajaan jin di gunung Arjuna saja tahu siapa saja presidennya. Apalagi cuma cerita soal Gus Dur yang juga sering ditemui di alam kewalian sana. [dutaislam.or.id/ab]
Lanjut edisi selanjutnya, ke edisi 10: Wali Paidi Bertemu Rasulullah di Gunung Pring Magelang, Apa yang Terjadi?
Biar paham, baca edisi sebelumnya:
- Wali Paidi (Bag. 1) Hanya Wali Indonesia yang Kemana-Mana Bawa Rokok dan Kopi
- Wali Paidi (Bag. 2) Gagal Pakai "Doa Lipat Bumi", Wali Ini Balik Pulang Naik Pesawat
- Wali Paidi (Bag. 3) Hanya Karena Punya Rokok Tapi Tak Ada Korek, Kerajaan Jin Diobrak-Abrik Wali Sakti Ini
- Wali Paidi (Bag. 4) Sering Shalat di Atas Daun, Pemuda Ini Temui Kiai yang Biasa Jualan Minyak Wangi
- Wali Paidi (Bag. 5) Sang Wali Beri Amalan Cepat "Cling" Naik Haji Tanpa Ijazah Doa Wirid
- Wali paidi (Bag. 6) Saat Joget Bersama "Mulan Jameela", Wali Ini Justru Melihat Paha Berdzikir
- Wali Paidi (Bag. 7) Garam "Suwuk" Sakti dari Wali Paidi Untuk Begal-Bedugal
- Wali Paidi (Bag. 8) Karena Sering Usul ke Gusti Allah, Wali Ini Terkenal "Cerewet" di Jagat Langit Malaikat
Baca: Serial Wali Paidi