Iklan

Iklan

,

Iklan

Ketika Triologi Tauhid Wahabi Merambak ke Dunia Pendidikan Ma’arif NU

Duta Islam #02
16 Agu 2017, 04:39 WIB Ter-Updated 2024-08-17T17:22:52Z
Download Ngaji Gus Baha


Oleh Vinanda Febriani

Dutaislam.or.id - Kemarin siang, (senin, 14/08 2017) jam pelajaran terakhir (Jam ke-8) adalah mapel Aqidah Akhlak. Kebetulan, siang kemarin adalah hari pembagian buku LKS (Lembar Kerja Siswa). Bab pertama untuk semester awal ini adalah mengenai Ilmu Kalam. Memang sejak awal aku sudah menduga bila akan ada sesuatu yang ganjal di mapel ini. Ternyata benar dugaanku. Ilmu kalam yang juga disebut dengan ilmu ushuluddin atau ilmu tauhid, ketiganya sama-sama membicarakan sifat-sifat Tuhan.

Pada pemaparan Ilmu Tauhid, di buku tersebut menggunakan kaidah 'tri-tauhid' yakni tauhid Rubbubiyah, Uluhiyah, Asma wa sifat. Padahal sepengetahuanku selama ini, tri-tauhid tersebut adalah Tauhid pemahaman golongam Salafy-Wahabbi. Walaupun dalam teori yang dipelajari ini banyak mengulas kebiasaan-kebiasaan (amalan) golongan Ahlusunnah Wal Jamaah (Sunni), namun menurutku tidaklah begitu tepat apabila yang digunakan adalah tri-tauhid.

Mengingat dua tahun yang lalu, ketika aku mengenyam pendidikan di pesantren. Ada sebuah keanehan dalam mempelajari pemaparan Tauhid. Yakni, sebuah ketidak serasian (tidak sinkron) antara Tauhid yang dipelajari ketika Madrasah Diniyyah dan ketika menganut standar kurikulum sekolah. Di asrama, kami mengaji dan belajar memahami Tauhid 20 Asma Wajib Allah. Sedangkan di madrasah, kami mempelajari dan memahami apa itu tri-tauhid. Sehingga pada saat itu, muncul dalam benak pikiranku "mengapa antara di pesantren dengan di madrasah pemaparan Tauhid berbeda? Mengapa tidak disinkronkan antara pendidikan di pesantren dengan yang di madrasah. Lalu, apa bedanya tritauhid dengan 20 Asma Wajib Allah?"

Kini setelah aku lulus pendidikan formal Madrasah Tsanawiyah di pesantren, aku berlanjut mengenyam pendidikan sekolah Madrasah Aliyah Lembaga Pendidikan Ma’arif NU di daerahku. Lagi-lagi aku menemukan triologi itu. Sejak satu tahun yang lalu (ketika aku kelas 10) aku menemukan triologi ini di buku LKS Aqidah Akhlak. Saat itu, hatiku kembali memberontak. Ya, bagaimana aku tidak memberontak? Aku menemukan triologi ini. Namun, tidak ada referensi lain yang mengimbanginya dengan lebih menekankan kepada Tauhid ala Ahlusunnah Wal Jamaah (20 Asma Wajib Allah). Sehingga, ketika itu aku herus memberanikan diri bertanya kepada orang-orang yang aku rasa ilmunya lebih mumpuni.

Memang, jika menuruti kaidah kurikulum KTSP maupun K13, segala yang berkaitan dengan Tauhid, Depag mengenakan kaidah tri-tauhid. Sehingga, tidak kita jumpai lagi Tauhid 20 Asma Wajib Allah selain ketika kita "ngaji" di pesantren atau lembaga nonformal lain yang mengajarkan Agama Islam ala Ahlusunnah Wal Jamaah.

Disini, aku ingin memberikan sedikit masukan pendapatku kepada para aktivis LP Ma’arif. Bagaimana jika seandainya semua buku yang berkaitan dengan Agama, LP Ma’arif mencetak buku pribadi untuk diedarkan di lembaga-lembaga pendidikannya. Tujuannya, supaya apa yang dipelajari di sekolah formal tersebut sesuai dengan amalan Akidah Ahlusunnah wal jamaah, serta bertauhid yang sama (20 Asma wajib Allah).

Hal itu menurutku adalah pilihan yang tepat supaya siswa-siswi lebih memantapkan diri dan keyakinannya untuk tetap berhaluan Ahlusunnah Wal Jamaah An-Nahdliyyah. Sebab jika tidak dilakukan seperti itu, maka siswa-siswi akan jarang ada yang memahami amalan-amalan Aswaja dan terutama mengenai Tauhidnya. Bagaimana jika di masa depan, orang sudah tidak mengenal lagi 20 Asma wajib Allah? Tentu ajaran Aswaja akan lebih sedikit yang memahaminya secara keseluruhan.

Nah, untuk melestarikannya. Maka harus di sinkronkan antara "Islam" yang dipelajari dalam pendidikan formal dan non formal. Supaya nantinya, Islam yang dipahami siswa-siswi (terutama LP Ma’arif NU) adalah Islam yang berhaluan Ahlusunnah Wal Jamaah (Aswaja) An-Nahdliyyah.

Di berbagai acara keagamaan, aku selalu bertanya "Mengapa di dalam Lembaga Pendidikan NU ada pengaruh tritauhid ala Salafy-Wahabbi? Mengapa sebelum materi tersebut dikunyah dan dicerna siswa-siswi dalam Lembaga Pendidikan tersebut, tidak terlebih dahulu di filter, kemudian disinkronkan dengan pemahaman Islam ala Nahdliyyin supaya dalam pendidikan tersebut steril, tanpa ada campur tangan kaidah-kaidah Islam non-Nahdliyyin (kecuali hanya mempelajarinya, bukan untuk dihayati dan dijadikan sumber referensi)."

Pertanyaan sama yang selalu aku tanyakan dengan siapapun yang aku rasa "mumpuni" dalam bidang ini. Sehingga, jawabannya dapat ku jadikan bahan referensi dalam segala tanda tanya yang muncul dalam kepalaku yang mungil ini.

Sedikit curahan pertanyaan hati. Semoga ada yang dapat mengulas kembali maksud dari apa yang aku tanyakan selama ini. Terimakasih. [dutaislam.or.id/gg]

Vinanda Febriani, Kader IPPNU Magelang

Iklan