Iklan

Iklan

,

Iklan

KH Agus Sunyoto: Ken Arok Tokoh Fiktif Buatan Belanda Untuk Diskreditkan Diponegoro

20 Okt 2017, 01:17 WIB Ter-Updated 2024-08-14T22:20:19Z
Download Ngaji Gus Baha
Didampingi Rais Syuriah PCNU Jepara, KH Ubaidillah Noor Umar (kanan) KH Agus Sunyoto (tengah) mengisi "Bedah Buku Atlas Walisongo" dalam rangka Hari Santri 2017 di Gedung Setda Pemda Kab. Jepara, Rabu (18/10/2017).

Dutaislam.or.id – Diakui atau tidak, sejarah peradaban bangsa Indonesia masih didominasi oleh produk fiktih sejarah buatan Belanda. Rekayasa sejarah hingga saat ini masih digunakan dalam sistem pendidikan kita walau tidak ada bukti prasasti atau naskah kuno yang mendukung kebenarannya.

Sunan Kudus melawan Saridin misalnya, masih banyak diyakini sebagai legenda cerita rakyat yang dianggap nyata. Padahal kedua wali tersebut tidak pernah bertemu karena beda masa. Di sekolah pun, Serat Pararaton bikinan Belanda masih diajarkan untuk mengetahui tokoh misterius Ken Arok, nama raja dari Singasari yang tidak bisa diuji kebenarannya.

"Tidak ada satu pun prasasti atau naskah kidung yang menyebut Ken Arok. Nama itu baru muncul di zaman Belanda saat Perang Diponegoro,” demikian terang KH Agus Sunyoto saat bedah buku "Atlas Walisongo" dalam rangka peringatan Hari Santri 2017 oleh PCNU Jepara di Ruang Setda Gedung Pemda Jepara, Rabu (18/10/2017) siang.

Serat Pararaton itu muncul dikala Pangeran Diponegoro sangat membanggakan garis  keturunan Majapahit karena leluhurnya yang menjadi raja-raja Mataram memang keturunan Majapahit. Para pangeran pun masih bangga sebagai trah Majapahit.

Saat itulah Belanda membuat sebuah naskah dengan judul Pararaton untuk mengikis mental para pejuang yang ikut Pangeran jihad bersama Diponegoro melawan penjajahan, yang inti dari isinya adalah ingin menunjukkan bahwa dengan alasan apapun, raja-raja Majapahit adalah keturunan Singasari yang raja pertamanya disebut sebagai Ken Arok. Siapa?

Menurut Serat Pararaton, Ken Arok itu adalah orang hina, jahat, dibesarkan di lingkungan yang buruk, penuh perbuatan keji serta keturunan orang yang tidak jelas silsilahnya sehingga tidak perlu dibanggakan oleh para bangsawan Yogyakarta, Surakarta dan bupati-bupati yang merasa masih punya hubungan darah.

Kronologi cerita fiktifnya dimulai dari penyebutan Ken Arok sebagai anak haram hasil hubungan gelap Ken Endok. Ketika lahir, dia dibuang ke kuburan, lalu ditemu oleh maling bernama Lembong.

Karena diasuh oleh maling yang bertabiat buruk dan hidup di lingkungan jahat, Ken Arok akhirnya digambarkan menjadi sosok anak yang nakal. Ketika remaja, menurut serat fiktif Pararaton, Ken Arok kemudian diasuh oleh seorang penjudi bernama Banyu Samparan, lalu berguru kepada Empu Paron, seorang pendeta sakti yang punya ritual kejam suka meminum darah manusia dan memakan mayatnya.

Penggambaran betapa jahatnya Ken Arok tidak hanya sampai di situ. Lanjut ceritanya lebih mengerikan lagi. Saat dewasa, ia difiksikan Serat Pararaton pernah mengabdi di Kerajaan Tumapel hingga punya keinginan jahat merebut istri Ki Agung Tumapel, penguasa kerajaan di Jawa Timur yang sangat dihormati saat itu.

Untuk memuluskan niat tersebut, Ken Arok kemudian memesan keris kepada Empu Gandring. Setelah pesan, Empu Gandring kemudian dibunuh tanpa ampun. Sudah tidak mau bayar, masih dibunuh juga. Mental inilah yang ingin dibangun dalam cerita fiksi Ken Arok.

Lanjut cerita, keris itu konon dibuat untuk membunuh Tumenggung Ametung hingga Ken Arok dikutuk tujuh turunan karena menikahi istri Tumenggung yang sedang hamil.

Mendengar cerita yang beredar tutur-tinular di masyarakat bawah begitu, para pangeran dan bangsawan Surakarta dan Yogyakarta jadi stres. Apalagi cerita yang kurangajar menggambarkan Ken Arok itu dibandingkan lagi dengan trah keturunan Belanda yang disiarkan sebagai kaum darah biru, orang suci (Santo) dan berkelakuan baik.

Menurut Kiai Agus Sunyoto, cerita fiktif Ken Arok tidak bisa ditemukan di naskah manapun kecuali naskah Serat Pararaton. Namun semuanya terbongkar saat ditemukan bukti prasasti bernama Mula Malurung di Kediri pada tahun 1960-an. 

“Tidak ada bunuh-bunuhan seperti dongeng dalam Serat Pararaton, yang edisi terbarunya dicetak tahun 1960 dan yang masih tulisan Pegon itu tahun 1920 zaman kolonial,” tegas Kiai Agus.

Bersambung lagi ke bagian: Gajah Mada Bunuh Raja Sunda Itu Dongeng (tunggu). Edisi sebelumnya, baca: KH Agus Sunyoto: Syeikh Maulana Maghribi Bukan Bagian Walisongo. [dutaislam.or.id/ab]

Iklan