Oleh Ayik Heriansyah
Dutaislam.or.id - Seruan Habib Riziq Shihab (HRS) agar Partai Gerindra, PAN dan PKS menjalin koalisi permanen nasional jauh panggang dari api. HRS bukan siapa-siapa bagi ketiga partai tersebut. Gerindra, PAN dan PKS punya figur karismatik sendiri yang layaknya HRS bagi FPI. Di Gerindra ada Prabowo, PAN ada Amien Rais dan PKS punya Habib Salim Seggaf AL-Jufri.
Lagi pula, medan juang partai politik tidak sama dengan ormas. Keberadaan HRS nun jauh di sana membuat daya seruannya melemah. Pengaruh HRS semakin lemah setelah dia meninggalkan jama'ah untuk menghindari "fitnah."
Bagi ulama yang ikhlas, fitnah sudah lumrah, sudah jadi sunnatullah bagi para ahli waris Nabi. Aneh rasanya jika ulama meninggalkan umat karena takut menghadapi fitnah. Meskipun tidak boleh dicela, pengalaman Nabi Yunus As meninggalkan kaumnya diganjar Allah swt dengan hukuman penjara di dalam perut ikan paus di tengah samudera lepas. Hikmahnya, tidak layak bagi para Nabi dan ahli warisnya meninggalkan umat karena fitnah yang menimpa dirinya.
Mbah Hasyim Asy'ari juga pernah difitnah, sekali lagi difitnah oleh penjajah dituduh telah memimpin pemberontakan buruh pabrik gula di Cukir. Mbah Hasyim menghadapi fitnah tersebut. Tidak terpikir olehnya mau kabur dengan alasan umrah ke tanah suci. Cucu Mbah Hasyim, Gus Dur mengalami hal yang sama. Sepanjang hidupnya tidak sepi terkena fitnah.
Kehadiran HRS secara fisik, mempengaruhi soliditas tokoh-tokoh GNPF Ulama dan Presidium Alumni (PA) 212. Harus diakui, figur HRS jadi magnet perekat. Di antara tokoh-tokoh GNPF Ulama dan PA 212 belum ada yang melampaui wibawa dan karismanya.
Sekedar mengumpulkan massa jutaan orang di Monas, para tokoh GNPF Ulama dan PA 212 minus HRS, bisa mereka lakukan. Setidaknya terlihat pada acara Reuni 212 dan Aksi Bela Palestina Ahad, 17/12/17 yang baru lalu. Akan tetapi untuk kelanjutan agenda mereka, khususnya agenda politik, rasanya sulit tanpa figur HRS.
Kini masing-masing tokoh GNPF Ulama dan PA 212 mulai one man show. Amien Rais mulai sibuk mengawal PAN menghadapi Pilkada serentak 2018 dan Pemilu 2019. Ust Khaththath sedang menggalakkan Gerakan Indonesia Shalat Subuh (GISS). Asatidz FPI kembali menekuni aktivitas keorganisasian mereka. Demikian juga dengan Ust Rasmin Zaitun sebagai ketua umum Wahdah Islamiyah. Ust. Bakhtiar Nasir sendiri punya lembaga pendidikan al-Quran.
PA 212 dan GNPF Ulama agaknya tidak akan berumur panjang karena aliansi mereka bersifat sesaat dan berlandaskan emosi. Menyatukan para tokoh yang masing-masing memiliki kekuatan dan agenda sendiri, sangat susah. Di Pilgub Jatim, Jateng dan Jabar suara mereka nyaris tak terdengar. Tarik menarik kepentingan politik terkait deal-deal dengan calon kontestan dan partai pengusungnya menambah kerenggangan koalisi para "pembela Islam" tersebut.
Akhirnya pendulum politik umat Islam 2018-2019 kembali di pihak ormas Islam mainstream, NU dan Muhammadiyah. [dutaislam.or.id/gg]