Foto: Istimewa |
Oleh Ayik Heriansyah
Dutaislam.or.id - Pilkada serentak 2018 sedikit berbeda dengan pilkada sebelum-sebelumnya. Presidium Alumni 212 menambah semarak pilkada dengan menitipkan calon dari kader mereka. Keberhasilan tokoh-tokoh PA 212 mengumpulkan massa sebanyak 7 juta orang di Monas, menambah rasa percaya diri.
Aksi di Monas pada 12 Desember 2016 lalu adalah aksi bela Islam setelah Ahok menista agama. Karena alasan agamanya dinista, jutaan umat Islam berkumpul di Monas. Aksi tersebut murni membela agama, bukan karena mau mendukung pasangan Anies Sandi pada pilkada Jakarta saat itu.
Seakan lupa dengan latar belakang aksi bela Islam 212 atau memang baru sekarang diungkap, Ust. Al-Khaththath merujuk kepada keberhasilan tokoh-tokoh PA 212 waktu membela kader 212 yang gagal jadi cagub di Jawa Timur. Dengan kata lain, kemenangan pasangan Anies Sandi bukan sepenuhnya dari perjuangan Gerindra dan PKS sebagai partai pengusung melainkan juga berkat dukungan PA 212. Dari sini masyarakat jadi tahu, ternyata Aksi Bela Islam 212 bermotif politik praktis, tidak murni untuk membela agama dari si Penista.
Menjelang pilkada serentak 2018, HRS dari tempat pengasingannya di Makkah berusaha menyatukan Partai Gerindra, PAN dan PKS. Ketiga partai ini dinilainya pro Islam karena menolak Perppu Ormas menjadi Undang-undang dan sebagai anti tesis partai lainnya yang dianggap mendukung si Penista agama, Ahok. HRS sangat berharap trio partai ini bisa memperjuangkan calon kepala daerah yang aspiratif terhadap umat Islam.
Memang sumir, tapi begitulah persepsi yang ingin dibentuk oleh HRS kepada setidaknya 7 juta alumni Aksi Bela Islam 212. HRS memberi nama koalisi ini Koalisi Partai 212. Kendati Ketiga partai tersebut tidak pernah melakukan koalisi secara resmi, persepsi ini dibiarkan mengalir siapa tahu bermanfaat. Petinggi ketiga partai tersebut pasti punya logika dan kalkulasi sendiri. Aspirasi HRS dan PA 212 ditampung adapun soal realisasi itu masalah lain.
Agaknya setiap tokoh PA 212 punya penafsiran yang berbeda atas sikap HRS tentang pilkada serentak. Hal ini terlihat dari pernyataan Ust. Khaththath yang disandarkan kepada perkataan HRS agar meng-copas pilgub Jakarta ke daerah lain bahwa PA 212 memberi rekomendasi 5 orang kader mereka agar diusung melalui jalur khusus oleh Koalisi Partai 212. Jalur khusus mungkin maksudnya jalur gratis bebas mahar.
5 orang dari 171 pilkada memang tidak banyak, tapi bagi sebuah partai bersoalannya tidak sederhana. Untuk satu orang calon mereka harus menyiapkan dana miliyaran dan tim sukses. Mereka juga mempertimbangkan kader internal yang layak diusung serta positioning calon dan konstelasi partai dengan partai lain yang notabene setiap daerah memiliki konstelasinya sendiri-sendiri. Jadi bagi Koalisi Partai 212, masalah calon di pilkada lebih kompleks dari sekedar semangat membela Islam.
Meng-copas pilgub Jakarta dengan semangat al-Maidah 51 ke daerah lain relevan jika di daerah calon kontestannya head to head muslim non-muslim. Ditambah calon non muslimnya menista agama seperti Ahok. Tidak tepat jika PA 212 membawa semangat al-Maidah 51 di pilkada Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan daerah lainnya. Bukankah calon Gubernurnya muslim semua? ! Atau mau dikafirkan saja calon Gubernur yang diusung lawan?! Pada kenyataannya pada pilkada propinsi hanya di Jawa Barat, Kalimantan Timur dan Maluku Utara murni dibentuk Koalisi Partai 212. Selebihnya Koalisi Partai 212 berkoalisi dengan partai lain.
Manuver politik PA 212 sangat prematur. Setiap tokoh bergerak sendiri. Ust. Khaththath menyampaikan surat rekomendasi yang ditandatangani K.H. Abdul Rasyid Abdullah Syafi’i. kenapa bukan HRS atau Ust. Slamet Ma’arif yang menjabat ketua PA 212 yang menandatangan surat sepenting itu. Apa Ust. Khaththath dan K.H. Abdul Rasyid Abdullah Syafi’i tidak berkomunikasi dulu dengan HRS dan Ust. Slamet Ma’arif. Apa sesama mereka tidak ada koordinasi sebelumnya.?!
Terang saja Ust. Slamet Ma’arif cepat-cepat membuat pernyataan sikap resmi PA 212. PA 212 menyatakan tidak ikut serta dalam pemberian rekomendasi 5 orang kader 212. Krisis sesama tokoh 212 diperkeruh dengan manuver mantan ketua PA 212 Ust. Sambo membuat Garda 212. Rencananya Garda 212 jadi wadah pengodokan kader 212 untuk maju di pemilu 2019. Sayangnya, wadah ini tidak diakui oleh Ust. Slamet Ma’arif.
Ditinggal HRS ke Arab, masing-masing tokoh PA 212 mau tampil menonjol. Fakta ini menunjukkan ego tiap-tiap tokoh masih dominan. Mereka merasa orang besar, punya massa dan berkontribusi banyak pada kesuksesan Aksi Bela Islam 212. Semua merasa layak jadi pemimpin umat pembela Islam. Semua merasa berhak menginisiasi gerakan atas nama Islam.
Egoisme penyakit jiwa yang sering dilengahkan para pembela Islam. Penyakit ini halus, tipis dan seringan angin menempel pada diri seseorang. Ulama, tokoh masyarakat dan pejabat paling rawan terserang egoisme. Perjuangan umat Islam seringkali kandas karena egoisme pemimpinnya. Krisis tokoh PA 212 menjadi pelajaran bagi siapapun, sebelum memperjuangkan Islam, taklukkan dulu ego diri sendiri. [dutaislam.or.id/pin]
Dutaislam.or.id - Pilkada serentak 2018 sedikit berbeda dengan pilkada sebelum-sebelumnya. Presidium Alumni 212 menambah semarak pilkada dengan menitipkan calon dari kader mereka. Keberhasilan tokoh-tokoh PA 212 mengumpulkan massa sebanyak 7 juta orang di Monas, menambah rasa percaya diri.
Aksi di Monas pada 12 Desember 2016 lalu adalah aksi bela Islam setelah Ahok menista agama. Karena alasan agamanya dinista, jutaan umat Islam berkumpul di Monas. Aksi tersebut murni membela agama, bukan karena mau mendukung pasangan Anies Sandi pada pilkada Jakarta saat itu.
Seakan lupa dengan latar belakang aksi bela Islam 212 atau memang baru sekarang diungkap, Ust. Al-Khaththath merujuk kepada keberhasilan tokoh-tokoh PA 212 waktu membela kader 212 yang gagal jadi cagub di Jawa Timur. Dengan kata lain, kemenangan pasangan Anies Sandi bukan sepenuhnya dari perjuangan Gerindra dan PKS sebagai partai pengusung melainkan juga berkat dukungan PA 212. Dari sini masyarakat jadi tahu, ternyata Aksi Bela Islam 212 bermotif politik praktis, tidak murni untuk membela agama dari si Penista.
Menjelang pilkada serentak 2018, HRS dari tempat pengasingannya di Makkah berusaha menyatukan Partai Gerindra, PAN dan PKS. Ketiga partai ini dinilainya pro Islam karena menolak Perppu Ormas menjadi Undang-undang dan sebagai anti tesis partai lainnya yang dianggap mendukung si Penista agama, Ahok. HRS sangat berharap trio partai ini bisa memperjuangkan calon kepala daerah yang aspiratif terhadap umat Islam.
Memang sumir, tapi begitulah persepsi yang ingin dibentuk oleh HRS kepada setidaknya 7 juta alumni Aksi Bela Islam 212. HRS memberi nama koalisi ini Koalisi Partai 212. Kendati Ketiga partai tersebut tidak pernah melakukan koalisi secara resmi, persepsi ini dibiarkan mengalir siapa tahu bermanfaat. Petinggi ketiga partai tersebut pasti punya logika dan kalkulasi sendiri. Aspirasi HRS dan PA 212 ditampung adapun soal realisasi itu masalah lain.
Agaknya setiap tokoh PA 212 punya penafsiran yang berbeda atas sikap HRS tentang pilkada serentak. Hal ini terlihat dari pernyataan Ust. Khaththath yang disandarkan kepada perkataan HRS agar meng-copas pilgub Jakarta ke daerah lain bahwa PA 212 memberi rekomendasi 5 orang kader mereka agar diusung melalui jalur khusus oleh Koalisi Partai 212. Jalur khusus mungkin maksudnya jalur gratis bebas mahar.
5 orang dari 171 pilkada memang tidak banyak, tapi bagi sebuah partai bersoalannya tidak sederhana. Untuk satu orang calon mereka harus menyiapkan dana miliyaran dan tim sukses. Mereka juga mempertimbangkan kader internal yang layak diusung serta positioning calon dan konstelasi partai dengan partai lain yang notabene setiap daerah memiliki konstelasinya sendiri-sendiri. Jadi bagi Koalisi Partai 212, masalah calon di pilkada lebih kompleks dari sekedar semangat membela Islam.
Meng-copas pilgub Jakarta dengan semangat al-Maidah 51 ke daerah lain relevan jika di daerah calon kontestannya head to head muslim non-muslim. Ditambah calon non muslimnya menista agama seperti Ahok. Tidak tepat jika PA 212 membawa semangat al-Maidah 51 di pilkada Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan daerah lainnya. Bukankah calon Gubernurnya muslim semua? ! Atau mau dikafirkan saja calon Gubernur yang diusung lawan?! Pada kenyataannya pada pilkada propinsi hanya di Jawa Barat, Kalimantan Timur dan Maluku Utara murni dibentuk Koalisi Partai 212. Selebihnya Koalisi Partai 212 berkoalisi dengan partai lain.
Manuver politik PA 212 sangat prematur. Setiap tokoh bergerak sendiri. Ust. Khaththath menyampaikan surat rekomendasi yang ditandatangani K.H. Abdul Rasyid Abdullah Syafi’i. kenapa bukan HRS atau Ust. Slamet Ma’arif yang menjabat ketua PA 212 yang menandatangan surat sepenting itu. Apa Ust. Khaththath dan K.H. Abdul Rasyid Abdullah Syafi’i tidak berkomunikasi dulu dengan HRS dan Ust. Slamet Ma’arif. Apa sesama mereka tidak ada koordinasi sebelumnya.?!
Terang saja Ust. Slamet Ma’arif cepat-cepat membuat pernyataan sikap resmi PA 212. PA 212 menyatakan tidak ikut serta dalam pemberian rekomendasi 5 orang kader 212. Krisis sesama tokoh 212 diperkeruh dengan manuver mantan ketua PA 212 Ust. Sambo membuat Garda 212. Rencananya Garda 212 jadi wadah pengodokan kader 212 untuk maju di pemilu 2019. Sayangnya, wadah ini tidak diakui oleh Ust. Slamet Ma’arif.
Ditinggal HRS ke Arab, masing-masing tokoh PA 212 mau tampil menonjol. Fakta ini menunjukkan ego tiap-tiap tokoh masih dominan. Mereka merasa orang besar, punya massa dan berkontribusi banyak pada kesuksesan Aksi Bela Islam 212. Semua merasa layak jadi pemimpin umat pembela Islam. Semua merasa berhak menginisiasi gerakan atas nama Islam.
Egoisme penyakit jiwa yang sering dilengahkan para pembela Islam. Penyakit ini halus, tipis dan seringan angin menempel pada diri seseorang. Ulama, tokoh masyarakat dan pejabat paling rawan terserang egoisme. Perjuangan umat Islam seringkali kandas karena egoisme pemimpinnya. Krisis tokoh PA 212 menjadi pelajaran bagi siapapun, sebelum memperjuangkan Islam, taklukkan dulu ego diri sendiri. [dutaislam.or.id/pin]