Iklan

Iklan

,

Iklan

Menyegarkan Kembali Nalar Keberagamaan Pasca Penganiayaan Ustadz dan Pastor

Duta Islam #02
14 Feb 2018, 11:11 WIB Ter-Updated 2024-08-16T22:14:19Z
Download Ngaji Gus Baha
Ilustrasi: Istimewa

Oleh Ach. Tijani

Dutaislam.or.id - Penganiayaan tokoh agama dan penyerangan rumah ibadah menjadi kabar paling hits akhir-akhir ini. Bahkan salah satu ustadz korban dari penganiayaan tersbut yaitu ustadz Prawoto telah meninggal dunia (01/02/2018). Tepat sepuluh hari duka itu berlalu, kemarin (11/02/2018) kekerasan seputar tokoh agama dan rumah ibadah kembali mengagetkan ketenangan publik. Kali ini terjadi di Yogyakarta, tepatnya di Gereja Santa Lidwina dengan jumlah korban 4 orang, salah satunya adalah Pastur Romo Carl E Prier yang sedang memimpin kebaktian saat itu.

Antara Ustadz Prawoto dan Romo Prier sebagai tokoh agama yang menjadi korban dari kekerasan tidak boleh terlalu terburu-buru dibawa pada konteks apapun di luar dari kejahatan kekerasan itu sendiri. Spekulasi mengenai tensi politik dan kepentingannya serta sentimen keagamaan tidak dapat serta merta didudukkan sebagai pemicu dari kekerasan tersebut. Spekulasi tersebut disamping terlalu liar juga cenderung memicu kemarahan publik yang lebih massif.

Sebagai fakta yang sudah dibuka ke ruang publik, bahwa pelaku kekerasan terhadap ustadz baik yang sudah terjadi di Cisalengka maupun yang di Bandung konon kedua pelaku tersebut mengalami ganggungan jiwa dan kegilaan. Sementara pelaku kasus kekerasan di Gereja Santa Lidwina sampai saat ini masih belum ada keterangan resmi dari pihak yang berwajib, apakah juga gila atau waras. Semoga saja bukan orang gila lagi.

Fakta tersebut juga tidak dapat dimaknai terlalu jauh, walaupun sejumlah analis mencoba memaparkan dengan prediksi yang seakan-akan relevan. Tapi sekali lagi, asumsi, prediksi bahkan analisis yang mungkin memiliki presesi yang sangat tinggi sekalipun tidak dapat melebihi data faktual itu sendiri. Asumsi kebetulan, sengaja dibuat kebetulan mengenai pelaku kekerasan terhadap ustadz yang saat ini marak diperbincangkan di ruang-ruang publik juga tidak dapat semena-mena menggantikan fakta.

Kini publik harus meletakkan antara fakta dan asumsi setepat mungkin. Sangat tidak diperkenankan untuk menggeser dan menggantinya secara serampangan, apalagi jika dihadapakan pada perroses hukum. Kemarahan, rasa dongkol dan nalar sentimen menjadi nalar yang harus diwaspadai dari sekedar kekerasan itu sendiri. Runtutan fenomena tersebut betul-betul menjadi suatu gejala yang harus kita lihat secara hati-hati.

Pertimbangan kerukunan dalam keragaman dan berbangsa menjadi unsur pertimbangan utama untuk melihat fenomena tersebut. Mari kita balut luka duka bersama ini sebagai luka kebangsaan bukan luka suatu komunitas belaka. Jika kebetulan hari ini ada umat Islam dan Katolik yang dicederai secara langsung, maka elemen lain dari bangsa ini harus ikut merasakan sakit dari luka tersebut. Begitu juga umat Islam dan Katolik itu sendiri harus meletakkan bahwa kekerasan kali ini adalah kejadian yang tidak dikehendaki oleh siapapun dan kelompok manapun.

Namun demikian ruang publik yang terbuka seumpama pasar yang menjajakan berbagai komuditi yang ranum di depan mata para pengunjung. Kasus kekerasan terhadap tokoh agamapun tampil dengan berbagai kemasan. Kemasan ranum yang sangat menggoda khalayak ramai menempatkan bahwa kekerasan tersebut adalah bagian dari pergesekan antar kelompok. Dalam hal ini akan muncul kecurigaan, Islam mencurigai Kristen atau sebaliknya bisa jadi Kristen akan mencurigai Islam dan mungkin juga agama-agama lain sebagai biang dari kekersan tersebut.

Situasi yang semakin kacau ini seakan membenarkan prediksi Huntington mengenai gesekan antar peradaban (The Clash of Civilization: 2000). Disitulah peradaban-perdaban besar dunia seperti Islam dan Barat atau dalam konteks Indonesia adalah perseteruan antar kelompok (agama, ras dan suku) akan semakin menguat. Prediksi Huntington ini banyak dinilai provokatif, namun diluar penilaian tersebut dapat saja sebagai alarm bagi kita semua sebagai umat beragama agar tetap bersikukuh pada komitmen kebangsaan kita. Hal itu dimaksudkan agar bangsa yang besar ini tetap terjaga.

Berbeda dengan apa yang disampaikan Abdul Karim Sorroush, bahwa umat beragama khususnya Islam banyak didominasi oleh pemahaman identitas. Dengan bahasa yang lebih sederhana, umat beragama cenderung menempatkan agamanya sebagai identitas bukan sebagai way of life. Sebagai konsekuensinya, tipe pemeluk agama yang mengadopsi pemikiran agama sebagai identitas akan mudah tergagap-gagap dan emosional. Sesekali akan muncul pergerakan-pergerakan brutal atas nama bela agama, bela ulama dan bela pastor.

Kecenderungan pemikiran di atas akan mengarahkan pada pola keberagamaan  organized Religion (organisasi agama). Pada pola-pola seperti inilah agama cenderung dibuat sebagai landasan pembenaran untuk kepentingan tertentu. Aburdine dan John Naisbit menyatakan " Sprituality, Yes; Organized Religion, No". Pernyataan tersebut adalah kritik terhadap formalisme agama yang kering dari aksi-aksi kebenaran universal.

Jika kembali pada Soroush, semestinya umat Islam harus menempatkan Islam tidak sekedar identitas akan tetapi sebagai "Islam Kebenaran". Islam kebenaran tidak akan pernah mengalami gesekan dengan kebenaran apapun di luar dirinya. Segala kecurigaan tidak akan pernah terjadi pada kepercayaan atau agama apapun di luar Islam. Islam sebagai kebenaran inilah yang menjadi kerangkan berfikir dalam melihat segala sesuatu, sehingga tindakan dan prilaku yang lahir darinya tentu adalah kebenaran juga.

Kasus kekerasan yang menimpa ustadz, pastor, dan segala hal yang kebetulan hari ini menyerang simbol-simbol agama harus dilihat dalam frame agama sebagai kebenaran. Frame ini dimaksudkan agar tidak terjadi saling mencurigai antar elemen bangsa, khususnya relasi antar agama. Persoalan apakah kejadian tersebut sengaja dibuat oleh kepentingan politik atau tidak,  menurut hemat penulis asumsi tersebut tidak akan berarti apa-apa selagi kita semua masih bersikukuh pada frame agama sebagai kebenaran.

Namun apabila kita terjebak pada frame agama sebagai identitas, maka pada saat itulah kepentingan politik akan mengambil keuntungan walau mungkin fenomena tersebut bukan skenario politik, terlebih jika fenomena tersebut memang diskenariokan, maka mereka yang memiliki kepentingan politik  akan semakin diuntungkan. Mari kita kembali menajdikan agama kita sebagai way of life dan bukan sekedar identitas. Semoga keselamatan untuk kita semua. Amin... [dutaislam.or.id/gg]

Ach. Tijani, Pengurus Lakpesdam PCNU Pontianak.

Iklan