Ustad Alumni 212 Hilmi Firdausi "menganjurkan" ceramah politik di Masjid. Foto: Istimewa |
Dutaislam.or.id - Jelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 atau pesta demokrasi yang akan dihelat di Indonesia, Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin melarang para ustadz dan ulama berceramah dengan sisipan agenda politik praktis di tempat ibadah. Peringatan lukman ini lantaran tempat ibadah rentan dijadikan ruang politik yang strategis selama masa kampanye pemilu dan dikhawatirkan memicu perpecahan.
Peringatan Lukman Hakim yang bertujuan positif ini justru ditanggapi miring oleh Ustad Alumni 212 Hilmi Firdausi. Sebaliknya, Ustadz muda ini justru "menganjurkan" dengan mengatakan bahwa politik di masjid untuk mencegah politik bar bar. Dia juga bilang bahwa umat Islam jangan mau dibodohi. Keputusan politik dari masjid menurutnya akan menghasilkan politisi yang hanif.
"Ummat Islam jangan mau terus dibodohi. Mengabarkan politik di masjid, di pengajian-pengajian justru untuk mencegah budaya politik bar bar di negeri ini. Insya Allah keputusan politik dari masjid, dengan musyawarah para ulama hanif akan menghasilkan politisi yang hanif pula," tulisnya melalui akun Twitternya @Hilmi28, Senin (23/04/2018).
Tak hanya itu, Dia juga menilai larangan Menag dengan sebuah pertanyaan yang seolah-olah Indonesia akan dijadikan negara sekuler. Bahkan dia bilang, kalau tidak boleh politik Islam dibicarakan di masjid bukanlah umat Nabi.
"Ini negara muslim terbesar dunia mau dijadikan negara sekuler ya?! Kalau di Masjid gak boleh bicara politik, lalu buat apa kalian sekarag berkunjung ke pesantren-pesantren dan mengumpulkan ulama?! lalu kenapa di tempat ibadah agama lain boleh? Jangan menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri," tulis Hilmi.
"Kalau di Masjid gak boleh ngomongin politik Islam, berarti ente semua bukan ummatnya Nabi. Nabi kita Muhammad SAW itu membicarakan politik, bahkan mengatur strategi perangpun di Masjid. Ngerti ora son?!," ucap Hilmi lagi.
Hilmi tampaknya gagal paham dengan ucapan Menag. Pasalnya, Menag bukan melarang politik Islam. Melainkan berkaca pada pengalaman, jika masjid dijadikan alat politik akan memicu perpecahan. Selain itu, Menag juga tak hanya melarang ceramah politik di masjid. Tapi juga di tempat-tempat ibadah lain. Jadi bukan hanya masjid.
Hal ini sebagaimana diungkapkan sendiri oleh Menag Lukman Hakim Sarifuddin.
"Yang tidak diperkenankan adalah rumah ibadah, ceramah agama untuk politik praktis. Misalnya mari dukung calon a, jangan calon b. Dukung partai a, jangan partai b. Ini yang tidak boleh," kata Lukman dalam pidato di Rakornas Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di Hotel Bidakara, Jakarta, Rabu (18/04/2018) lalu sebagai dilansir dutaislam.or.id dari CNNIndonesia.
Lukman menyayangkan kalau tempat ibadah kerap kali disalahgunakan. Yakni, dijadikan ajang kampanye politik terselubung dan serta penyebaran provokasi dan kebencian. Pasalnya, hal itu akan memicu perpecahan masyarakat.
"Agama seharusnya mempersatukan masyarakat supaya tercipta kehidupan rukun dan damai, bukan malah menimbulkan perpecahan," katanya.
Lukman juga mengingatkan agar para penceramah tidak memanipulasi agama buat kepentingan politik praktis. [dutaislam.or.id/pin]
Peringatan Lukman Hakim yang bertujuan positif ini justru ditanggapi miring oleh Ustad Alumni 212 Hilmi Firdausi. Sebaliknya, Ustadz muda ini justru "menganjurkan" dengan mengatakan bahwa politik di masjid untuk mencegah politik bar bar. Dia juga bilang bahwa umat Islam jangan mau dibodohi. Keputusan politik dari masjid menurutnya akan menghasilkan politisi yang hanif.
"Ummat Islam jangan mau terus dibodohi. Mengabarkan politik di masjid, di pengajian-pengajian justru untuk mencegah budaya politik bar bar di negeri ini. Insya Allah keputusan politik dari masjid, dengan musyawarah para ulama hanif akan menghasilkan politisi yang hanif pula," tulisnya melalui akun Twitternya @Hilmi28, Senin (23/04/2018).
Tak hanya itu, Dia juga menilai larangan Menag dengan sebuah pertanyaan yang seolah-olah Indonesia akan dijadikan negara sekuler. Bahkan dia bilang, kalau tidak boleh politik Islam dibicarakan di masjid bukanlah umat Nabi.
"Ini negara muslim terbesar dunia mau dijadikan negara sekuler ya?! Kalau di Masjid gak boleh bicara politik, lalu buat apa kalian sekarag berkunjung ke pesantren-pesantren dan mengumpulkan ulama?! lalu kenapa di tempat ibadah agama lain boleh? Jangan menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri," tulis Hilmi.
"Kalau di Masjid gak boleh ngomongin politik Islam, berarti ente semua bukan ummatnya Nabi. Nabi kita Muhammad SAW itu membicarakan politik, bahkan mengatur strategi perangpun di Masjid. Ngerti ora son?!," ucap Hilmi lagi.
Hilmi tampaknya gagal paham dengan ucapan Menag. Pasalnya, Menag bukan melarang politik Islam. Melainkan berkaca pada pengalaman, jika masjid dijadikan alat politik akan memicu perpecahan. Selain itu, Menag juga tak hanya melarang ceramah politik di masjid. Tapi juga di tempat-tempat ibadah lain. Jadi bukan hanya masjid.
Hal ini sebagaimana diungkapkan sendiri oleh Menag Lukman Hakim Sarifuddin.
"Yang tidak diperkenankan adalah rumah ibadah, ceramah agama untuk politik praktis. Misalnya mari dukung calon a, jangan calon b. Dukung partai a, jangan partai b. Ini yang tidak boleh," kata Lukman dalam pidato di Rakornas Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di Hotel Bidakara, Jakarta, Rabu (18/04/2018) lalu sebagai dilansir dutaislam.or.id dari CNNIndonesia.
Lukman menyayangkan kalau tempat ibadah kerap kali disalahgunakan. Yakni, dijadikan ajang kampanye politik terselubung dan serta penyebaran provokasi dan kebencian. Pasalnya, hal itu akan memicu perpecahan masyarakat.
"Agama seharusnya mempersatukan masyarakat supaya tercipta kehidupan rukun dan damai, bukan malah menimbulkan perpecahan," katanya.
Lukman juga mengingatkan agar para penceramah tidak memanipulasi agama buat kepentingan politik praktis. [dutaislam.or.id/pin]