Foto: Istimewa |
Oleh: Rijal Mumazziq Z
Dutaislam.or.id - Ada golongan
orang yang menganggap tragedi seperti di Mako Brimob kemarin atau
kejadian seram lain selalu mengandung teori konspirasi.
Saya tidak tahu apakah teori
konspirasi ini masuk kajian sosiologi atau psikologi. Mungkin juga masuk
kategori cocokologi. Sebab, penganut teori ini bisa dengan imajinasinya
mencocokkan dan mengutak atik gatuk sebuah peristiwa, menghasilkan kesimpulan
yang serampangan, lalu dipakai sebagai justifikasi. Dengan demikian, teori ini
bisa disebut teori Chiki. Sebab, sebagaimana jajanan Chiki, teori ini kriuk,
renyah, gurih, dan enak dirasakan, tapi miskin gizi, nirvitamin, dan… katanya
sih banyak vetsin alias micin.
Namanya juga teori Chiki, sudah
pasti gurih. Ketika peristiwa gugurnya polisi di Mako Brimob menyeruak ke
publik, tanpa mengurangi rasa duka mendalam atas gugurnya para prajurit terbaik
Polri, saya menunggu penganut teori konspirasi melontarkan analisis kelas
Chiki-nya terkait peristiwa tersebut. Dan, benarlah, sudah ada yang menyebut
bahwa itu hanyalah settingan polisi, pengalihan isu atas naiknya dolar, dan
konspirasi lainnya.
Terlepas dari kebenaran
pendapatnya, jika dicermati, penganut teori konspirasi ini punya ciri-ciri luar
biasa seperti berikut.
1. Punya imajinasi liar
Dia sanggup menyusun
imajinasinya seperti menyusun rangkaian puzzle. Ini begini, lalu begitu,
kemudian seperti ini. Runtut. Persis cerpenis menyusun plot cerita. Sayang,
jalinan cerita berbentuk imajinasi ini gampang dipatahkan. Sebab, tidak
didukung dengan analisis dan bukti secanggih cara Sherlock Holmes.
Kalau Anda tahu Alfian Tanjung,
ya seperti itulah tipikal pegiat teori konspirasi. Kalau dikasih mik, dia bakal
ngerocos soal bank, vaksin, imunisasi, dan tentu saja imajinasinya soal PKI.
Menciptakan imajinasinya sendiri, dipercaya sendiri, dan mengajak orang lain
mempercayai igauannya. Kalau nggak ikut pandangan dia pasti dituduh antek PKI.
Ya, jika di mata Donald Trump
kita adalah orang kere, bagian dari fuqara dan masakin, di mata Alfian Tanjung,
selain dirinya dan kelompoknya, semua adalah pendukung komunis. Pe ka i. Anak
buah Wahyu Setiaji. Titik. Siapa Wahyu Setiaji ini? Cari sendirilah. Saya bosan
menerangkan imajinasi orang.
2. Sikap sok yes
Dia menganggap dirinya sejenius
Hercule Poirot. Padahal babar blas. Ketika bom Bali 1 terjadi, saya membaca
analisis sok yes ini dari majalah Sabili. Awalnya, sebagaimana pencinta majalah
ini, saya mengimani (hahaha) teorinya bahwa CIA ada di balik pengeboman
mengerikan itu dan Imam Samudra, Mukhlas, dan Amrozi hanyalah pion. Tapi,
kemudian saya meyakini ini adalah teori sampah. Sebab, trio bomber ini pun
menuliskan kisahnya dan saya punya buku karya ketiganya sebelum dieksekusi.
Setahun sebelumnya, ketika
menara kembar WTC meledak pada 11 September, teori konspirasi juga muncul. Bla
bla bla. Percaya terserah, nggak percaya juga tidak masalah. Sebab, berdebat
dengan penganut teori konspirasi sama halnya membuang waktu untuk berdebat soal
apakah 3 loli Milkita memang setara dengan segelas susu.
3. Penyuka film Hollywood
Saya hakul yakin kalau penyuka
teori konspirasi ini adalah penggemar berat film Hollywood. Kalau dia penggemar
Bollywood, pasti dia suka nyanyi dan menari. Kalau suka Hollywood, dia pasti
suka film genre eksyen-konspirasi seperti “Traitor”, “Conspiracy Theory”,
“JFK”, “All President’s Men”, dan sebagainya. Namanya juga teori konspirasi,
pasti ada dalang, pion, kisah berbelit, dan teori.
Jika setelah menonton film-film
konspirasi lalu meyakini analisis kita bakal setajam para detektif, seharusnya
kita menonton film Jackie Chan, Donnie Yen, dan Jet Li juga lalu mengimani
apabila kemampuan bela diri kita bakal setara dengan mereka.
4. Antek Amerika
Lho, kok bisa? Jelas. Penganut
teori konspirasi biasanya menuduh AS sebagai dalang. Mereka pelaku, kita
korban. Mereka penganiaya, kita dizalimi. Narasi demikian terus saja
dilanggengkan sampai meteor cokelat menghantam ladang gandum dan jadilah Koko
Krunch. Makanya, saya curiga mereka ini antek Amrik yang sedang menyamar. Kok
semuanya dihubungkan dengan superioritas Amrik.
Di Indonesia, penganut teori
konspirasi ini biasanya nongol saat ada peristiwa yang memakan korban jiwa.
Misalnya, pengeboman. Saat bom Thamrin meledak, mereka bilang ini hanya ulah
pemerintah untuk mengalihkan isu. Ketika dikejar, isu apa? Mbuletlah
jawabannya.
Ketika ada orang mencelakai
pastur dan berniat meledakkan diri di gereja di Medan, sontak nongol teori ini.
Katanya, orang kafir berniat menjelek-jelekkan citra Islam, bla bla bla
disertai analisis kelas kompor meleduk. Lalu di-share rame-rame hingga terbukti
pelakunya muslim dan orangtuanya minta maaf di hadapan pers. Kejadian di
Samarinda juga sama. Bom diledakkan dan seorang balita menjadi korban.
Lagi-lagi teori konspirasi muncul. Ini, itu, settingan polisi dan sebagainya.
Saya percaya jika setiap peristiwa
terjadi karena jalinan berbagai faktor. Ada alasan rasional membuktikannya.
Tapi, jika setiap kejadian, khususnya pengeboman maupun penembakan yang memakan
korban jiwa dianggap settingan, teori konspirasi, pengalihan isu, dan
sebagainya, saya curiga jangan-jangan mereka ini diam-diam mendukung ISIS
maupun teroris berkedok agama.
Teroris haruslah tetap disebut teroris. Kalau dia disebut
“mujahid” saya khawatir kelak maling pun hanya disebut sebagai “pemindah
barang”. Wallahu a’lam bisshawab. [dutaislam.or.id/pin]
source: mojok.co