Cara mudah memahami substansi Islam Nusantara |
Dutaislam.or.id - Islam Nusantara itu tidak rumit kok. Ini barang yang sudah lama sekali ada, sejak Islam masuk ke Nusantara. Hanya saja, memang belum pernah disebut namanya (meskipun sudah berabad-abad dihirup aromanya dan dikunyah barangnya)
Islam Nusantara itu hanya bungkus, sedangkan isinya ya Islam itu, gak ada yang beda.
Kok Nusantara? Iya, bungkusnya Islam di kawasan Nusantara inilah yang menjadi beda dengan Islam di kawasan lain.
Kok bisa? Bisa donk, coba saja perhatikan. Hanya di Nusantara inilah ada acessories ke-Islaman yang namanya sarung dan songkok. Hanya di Nusantara ini ada bedug dan penthongan. Hanya di Nusantara ini musholla disebut dengan langgar. Hanya di Nusantara ini orang shalat disebut sembahyang.
Hanya di Nusantara ini orang Islam ber-halal bihalal ketika lebaran. Hanya di Nusantara ini orang mengenal lontong, kupat, lepet sebagai bagian dari syiar Islam.
Hanya di Nusantara ini orang mengenal Islam melalui muludan, tahlilan, muharroman, megengan, tumpengan sebagai bagian dari seremonial keislaman. Hanya di Nusantara ini pula ada penyematan kata habaib untuk penghormatan bagi para dzurriyah Rasulullah.
Jadi, Islam Nusantara hanya kemasan budaya yang dijadikan alat untuk membungkus ajaran Islam yang dijalankan. Kok pakai dibungkus-bungkus, emangnya martabak?
Iya, itulah kelihaian para wali penyebar Islam Nusantara. Karena itu pulalah Islam menjadi 90% (sembilan puluh persen) di Nusantara.
Dengan cara itulah para ulama menerapkan konsep tasamuh (toleran), tawazun (moderat), tawassuth (seimbang), tetapi tetap tegak berkepribadian Islam (i'tidal).
ada yang lagi getol ingin menghilangkan keberadaan ulama-ulama Nusantara (kiai-kiai pesantren) dengan memanfaatkan isu Islam Nusantara sebagai alat menyerang mereka. Juga dengan isu-isu Liberalisme dan Politik Internasional.
Dan, dengan membenturkan para Kiai "Ulama Nusantara" dengan kalangan Habaib. Tapi, kenapa kok baru sekarang muncul istilah Islam Nusantara?
Jawabnya: ketika mulai banyak gerakan-gerakan dari kelompok yang baru datang hendak menghapus sejarah keberadaan para Wali 9 (Walisongo) di Indonesia dengan segala ajarannya tentang toleransi dan lain-lainnya itu.
Karena itulah kita mulai perlu memberi identitas keislaman kita yang bersanding dengan kultur ke-Nusantara-an kita. [dutaislam.or.id/ed]
Islam Nusantara itu hanya bungkus, sedangkan isinya ya Islam itu, gak ada yang beda.
Kok Nusantara? Iya, bungkusnya Islam di kawasan Nusantara inilah yang menjadi beda dengan Islam di kawasan lain.
Kok bisa? Bisa donk, coba saja perhatikan. Hanya di Nusantara inilah ada acessories ke-Islaman yang namanya sarung dan songkok. Hanya di Nusantara ini ada bedug dan penthongan. Hanya di Nusantara ini musholla disebut dengan langgar. Hanya di Nusantara ini orang shalat disebut sembahyang.
Hanya di Nusantara ini orang Islam ber-halal bihalal ketika lebaran. Hanya di Nusantara ini orang mengenal lontong, kupat, lepet sebagai bagian dari syiar Islam.
Memahami Islam Nusantara
Hanya di Nusantara ini orang mengenal Islam melalui muludan, tahlilan, muharroman, megengan, tumpengan sebagai bagian dari seremonial keislaman. Hanya di Nusantara ini pula ada penyematan kata habaib untuk penghormatan bagi para dzurriyah Rasulullah.
Jadi, Islam Nusantara hanya kemasan budaya yang dijadikan alat untuk membungkus ajaran Islam yang dijalankan. Kok pakai dibungkus-bungkus, emangnya martabak?
Iya, itulah kelihaian para wali penyebar Islam Nusantara. Karena itu pulalah Islam menjadi 90% (sembilan puluh persen) di Nusantara.
Dengan cara itulah para ulama menerapkan konsep tasamuh (toleran), tawazun (moderat), tawassuth (seimbang), tetapi tetap tegak berkepribadian Islam (i'tidal).
ada yang lagi getol ingin menghilangkan keberadaan ulama-ulama Nusantara (kiai-kiai pesantren) dengan memanfaatkan isu Islam Nusantara sebagai alat menyerang mereka. Juga dengan isu-isu Liberalisme dan Politik Internasional.
Dan, dengan membenturkan para Kiai "Ulama Nusantara" dengan kalangan Habaib. Tapi, kenapa kok baru sekarang muncul istilah Islam Nusantara?
Jawabnya: ketika mulai banyak gerakan-gerakan dari kelompok yang baru datang hendak menghapus sejarah keberadaan para Wali 9 (Walisongo) di Indonesia dengan segala ajarannya tentang toleransi dan lain-lainnya itu.
Karena itulah kita mulai perlu memberi identitas keislaman kita yang bersanding dengan kultur ke-Nusantara-an kita. [dutaislam.or.id/ed]