Dutaislam.or.id - Di Desa Candirejo Kecamatan Mojotengah Kabupaten Wonosobo Jawa Tengah terdapat sebuah makam kuno. Konon, makam tersebut bersemayam jasad seorang tokoh pembawa alirah Tarekat Naqsbandiyah pertama kali di tanah Jawa. Syekh Abdullah Qutbudin namanya. Dia berasal dari Iran. Menyebarkan Islam dengan membawa bendera tarekat yang kemudian menyatu dengan kehidupan masyarakat Jawa. Bahkan diyakini, Candirejo sendiri merupakan desa Islam pertama di Jawa karena kedatangan Syekh Abdullah Qutbudin ini.
Belum ada penelitian ilmiah yang mengupas Syekh Abdullah Qutbudin ini. Siapa dirinya, bagaimana sepak terjangnya dalam menyebarkan ajaran Islam di tanah Jawa, khususnya di Wonosobo. Hingga kini, cerita tentang tokoh tersebut masih dari mulut ke mulut.
Sejak dikunjungi Gus Dur, makam Syekh Abdullah Qutbudin mulai ramai peziarah. Gus Dur yang menemukan makam tokoh yang bersejarah dalam perkembangan Islam di Jawa ini. Menurut cerita KH Chabibullah Idris, ulama terkenal di Wonosobo, Gus Dur tahun 1994 meminta dirinya untuk menemani mencari makam Syekh Abdullah Qutbudin yang berada di Candi.
Peristiwa itu jauh sebelum Gus Dur menjadi Presiden RI. Tokoh kharismatik ini memang memiliki kepedulian tinggi terhadap peninggalan bersejarah. Termasuk mencari makam-makam yang memiliki nilai sejarah tinggi. Seperti halnya makam Syekh Abdullah Selomanik di Dusun Kalilembu, Dieng Wetan yang merupakan tokoh religius juga. Tak peduli di tengah hutan atau di atas gunung, jika ada makam wali, Gus Dur akan berusaha menziarahinya. Sekalipun dengan segala keterbatasan fisik yang dialaminya. Dengan tekad kuatnya tersebut, segala rintangan dapat dilaluinya.
Diungkapkan Edi dan Afif Mustofa, tokoh pemuda Candirejo. Sebelumnya masyarakat tidak mengetahui siapa yang dikuburkan di makam tersebut. Sehingga makam tersebut dibiarkan saja. Sampai akhirnya pada tahun 1994, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur datang ke Desa Candirejo mengunjungi makam.
“Kami tidak tahu ada makam tokoh terkenal Islam. Karena makamnya tidak sendirian, tapi menjadi satu dengan kuburan masyarakat desa. Tidak seperti tokoh-tokoh lain, yang makamnya berada di ketinggian atau sendirian. Makam Syekh Qutbudin ini campur dengan makam desa,” ungkap pemuda lulusan Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang itu.
Dirinya tidak paham betul, yang dimaksud candi itu nama desa atau kawasan candi di Dataran Tinggi Dieng. “Kata Gus Dur, Islam pertama kali masuk ke Jawa di candi. Kita ini tidak tahu candi itu mana, apakah komplek candi Dieng atau di mana. Beliau datang ke Wonosobo. Saya diminta menemaninya mencari makam tokoh Islam ini,” jelasnya.
KH Chabibullah Idris bersama kru Gus Dur memburu makam kuna tersebut. KH Chabib ditemani anaknya mengendarai sepeda motor dini hari. Sementara rombongan Gus Dur berangkat sendiri. Mereka berpencar.
“Akhirnya sampai di Desa Candirejo. Saya tanya apakah ada makam kuna di desa itu. Kata warga memang ada, tapi tidak jelas makam siapa. Letak makam di tengah-tengah sawah. Tidak ada akses jalan ke sana. Hanya jalan setapak, bisa dikatakan jalan lembu. Wong blekuk-blekuk susah sekali. Saya berharap, Gus Dur jangan sampai ke situ karena jalannya mengerikan kayak gitu. Begitu saya sampai di lokasi, mencari mana yang dimaksud makam tua. Eh ternyata Gus Dur lebih dulu tiba di makam,” jelasnya panjang lebar.
Menurut keterangan Sastro Al Ngatawi, mantan asisten pribadi Gus Dur menuturkan, bersama Gus Dur, ketika mereka sampai di Wonosobo hampir Subuh, lalu mampir di salah satu pesantren (Ponpes Al-Asy’ariyyah) di kota tersebut. Ditemani beberapa Gus (putra kiai), mereka berangkat ke sebuah daerah yang diyakini masyarakat menjadi makam wali tersebut, posisinya tepat di bawah sebuah pohon besar, tetapi Gus Dur tak menghiraukannya.
Lalu mereka segera berjalan menuju lokasi lain. Di tengah-tengah perjalanan tersebut, rombongan tersebut bertemu dengan orang tua. Dalam suasana yang masih sepi tersebut, mereka mengamati orang tua yang terus berjalan di tengah-tengah sawah. Tiba-tiba saja, ketika di tengah sawah itu orang tua tersebut menghilang. Gur Dur pun berujar, “Ya itu tadi Syeikh Hubbuddin dan di tengah-tengah sawah tadi makamnya,” katanya.
Lanjut KH Chabib, begitu sampai ke makam yang dituju, mendadak Gus Dur jatuh terduduk. Dhalab. Menyatu dengan arwah dan mengucapkan istigfar seperti tanpa sadar. Mengetahui itu, para pengikut segera merubungnya. Ternyata makam kuna yang sebelumnya tidak dikenal, merupakan tempat bersemayam Syekh Abdullah Qutbudin.
“Menurut cerita Gus Dur, Syekh Abdullah ini mendirikan pesantren di Desa Candirejo. Karena tidak memiliki keturunan, lama-kelamaan pesantrennya hancur. Ini bisa dilihat dari banyaknya batu-batu candi yang berada di sekitar makam,”tutur Ketua Majelis Ulama Indonesia Jateng tersebut.
Diawali dari kedatangan Gus Dur itulah, makam akhirnya banyak diziarahi masyarakat. Terutama kalangan pondok pesantren. Dikatakan KH Chabib, mengutip pengakuan warga Candirejo, bertahun-tahun lalu, makam itu pernah didatangi orang asing. Tampaknya dia adalah seorang antropolog dari Eropa yang tengah mengadakan penelitian.
Orang Eropa heran dengan keberadaan Islam di Indonesia. Disebarkan sekian ratus tahun, tapi sampai saat ini tidak bisa hilang, bahkan semakin berkembang. Karena penyebaran agama Islam salah satu caranya dengan tarekat. Sebuah metode yang mengedepankan keimanan. Hal-hal keduniawian ditinggalkan. Hal inilah yang membuat Islam mendapat tempat di hati masyarakat.
Muncul Cahaya di Atas Makam
Desa Candirejo Kecamatan Mojotengah tidak terlalu jauh dari Kota Wonosobo. Hanya sekitar 8 kilometer, dapat ditempuh dengan mobil maupun kendaraan roda dua. Jalan menuju desa tersebut cukup bagus, sudah beraspal meskipun tidak terlalu lebar.
Namun ada sebagian jalan desa yang masih berbatu-batu. Makam Syekh Abdullah Qutbudin sendiri berada agak jauh dari desa. Lokasinya di tengah-tengah areal persawahan bercampur dengan makam umum warga setempat.
Jalan menuju makam belum bagus, berupa batu-batu. Bahkan sebelumnya, kata Edi, jalan tersebut berupa setapak. Sejak Gus Dur kerap mendatangi makam, dibuat jalan lebar. Meskipun berbatu-batu namun dapat dilewati sepeda motor. Letak makam dari perkampungan Candirejo sekitar 1 kilometer. Sepanjang jalan menuju makam, disuguhi pemandangan hamparan tanah pertanian. Tanaman kol, padi dan jagung. Banyak juga pohon-pohon albasia yang tumbuh subur.
Di dekat makam terdapat sumber air yang sangat jernih. Airnya begitu dingin. Mengalir sepanjang waktu, tak pernah kering meskipun musim kemarau. Memasuki makam terkesan dingin dan sunyi. Maklum saja, komplek tersebut termasuk makam kuna. Ditumbuhi banyak pohon-pohon besar berusia ratusan tahun. Akar serabutnya menjalar ke mana-mana memenuhi makam. Sedangkan makam Syekh Abdullah Qutbudin berada persis di sebelah kiri pintu masuk. Berada di tengah-tengah akar yang bertonjolan. Sangat sederhana. Tidak ada cungkup atau kijing mewah. Berupa gundukan tanah yang pinggir-pinggirnya diberi batu-batu. Terdapat dua batu nisan berukir di kanan dan kirinya. Ada dua makam di situ yang berdampingan. Menurut warga, satunya adalah makam istri Syekh Abdullah Qutbudin.
Di sekitarnya, berserakan batu-batu tua berbentuk persegi panjang seperti bata. Diyakini batu tersebut adalah bekas bangunan pondok pesantren milik Syekh Abdullah. Konon, Syekh Abdullah tidak mau makamnya dibangun mewah. Dia memilih apa adanya berupa batu nisan yang berbentuk seperti candi.
“Masyarakat sini sering melihat ada cahaya yang muncul dari makam. Pernah petani cabe menunggui tanamannya, tiba-tiba ada cahaya terbang dari makam. Pernah juga ada seorang pimpinan pondok pesantren bersama 12 santrinya berziarah. Lalu hujan sangat deras. Anehnya, mereka tidak kehujanan sama sekali,” imbuh KH Chabibullah Idris.
Kini makam mulai ramai pengunjung. Sebelum Lebaran kemarin, ada sekitar 13 mobil yang datang berziarah. Mereka berasal dari Wonosobo. Kadang, peziarah memilih waktu malam hari, agar tak banyak orang tahu. Dan lebih khusuk berdoa. Suasana alami ini sangat mendukung peziarah religius.
Jalan menuju makam akan diaspal. Agar memudahkan peziarah datang ke makam. Sekaligus didirikan tempat representatif. Apabila mulai ramai, diharapkan direspon warga dengan mendirikan tempat berjualan baik makanan maupun suvenir. Tidak ketinggalan dibangun juga tempat parkir yang memadai. Pemerintah Kabupaten Wonosobo saat ini berusaha mengembangkan wisata religius dengan mengangkat potensi lokal setempat.
Sekilas Tentang Syekh Qutbudin
Syaikh Qutbudin yang asli Persia itu dimakamkan di Desa Candirejo, Kecamatam Mojotengah, Wonosobo. Kondisi makam yang terletak di pinggir desa itu terkesan wingit karena ditumbuhi pepohonan yang umurnya mencapai ratusan tahun. Di sebelah makam terdapat sumber air yang sangat jernih. Mata air tersebut mengalir sepanjang tahun, tidak peduli musim kemarau panjang.
Di sekitar makam terdapat bebatuan kuno persegi dengan ukuran tertentu. Menurut penelitian tim sejarah Wonosobo yang berkunjung ke makam tersebut pertengahan September 2007 lalu, batu tersebut diduga merupakan reruntuhan candi atau tempat ibadah lainya.
Menurut Edi Masrukhin SAg, tokoh agama Desa Candirejo, makam tua tersebut telah lama dikunjungi orang. Bahkan pernah menjadi objek penelitian dua orang antropolog dari Eropa. Namun warga tidak mengetahui kalau makam tersebut merupakan salah satu tokoh penting dalam penyebaran agama Islam di Jawa. Masyarakat baru mengerti setelah KH Abdurahman Wahid (Gus Dur) berziarah pada tahun 1994.
“Kami kira hanya makam kuno biasa. Tetapi setelah Gus Dur datang kami menjadi tahu kalau makam tersebut cukup bersejarah dalam penyebaran ajaran Islam di Jawa,” ujar Edi Masrukhin.
Dalam kesempatan tersebut, Gus Dur menjelaskan riwayat Syaikh Qutbudin. Menurut Gus Dur, Islam yang pertama kali datang ke Indonesia beraliran thoriqoh yang lebih mudah beradaptasi dengan budaya masyarakat setempat dari pada aliran fiqh yang cenderung lebih kaku.
Setelah berdakwah di banyak tempat, Syaikh Qutbudin bermukim (tinggal) dan membuat pesantren di Desa Candirejo. Karena tidak ada anak turun yang meneruskan, setelah ratusan tahun pesantren itu hilang dan tinggal puing-puing. [dutaislam.or.id/ed]