Oleh Ibnu Mas'ud At-Tamamini
Dutaislam.or.id - Saat ini kita berada di bulan Sya’ban atau orang jawa
menyebutnya dengan bulan Ruwah. Pada bulan ini ada tradisi yang dilestarikan
sampai sekarang dan masih dijalankan, terutama di daerah pinggiran atau
pedesaan.
Orang mengenalnya sebagai tradisi Ruwahan atau Arwahan yaitu tradisi yang
berkaitan dengan pengiriman arwah orang-orang yang telah meninggal dengan cara
dido’akan bersama dengan mengundang tetangga kanan kiri yang pulangnya mereka
diberi ”berkat” sebagai simbul rasa terima kasih.
Oleh karena itu, jika bulan
Ruwah tiba pasar-pasar tradisional akan kebanjiran order untuk selamatan ruwahan,
diantaranya beras, bumbu dapur, lauk, semuanya laris untuk kebutuhan selamatan
Ruwahan.
Yang patut dipahami bahwa doa dari orang yang hidup kepada orang
yang mati itu bermanfaat. Dalil yang mendukungnya adalah firman Allah,
وَالَّذِينَ
جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإخْوَانِنَا
الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي
قُلُوبِنَا غِلا لِلَّذِينَ آمَنُوا
رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan
Ansar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara
kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan
kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami,
sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.“ (QS. Al Hasyr: 10).
Ayat di atas menunjukkan bahwa di antara bentuk kemanfaatan yang
dapat diberikan oleh orang yang masih hidup kepada orang yang sudah meninggal
dunia adalah do’a. Ayat ini mencakup umum, yaitu ada doa yang ditujukan pada orang
yang masih hidup dan orang yang telah meninggal dunia.
Dari Ummu Darda’, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
دَعْوَةُ
الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ
مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لأَخِيهِ بِخَيْرٍ
قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ آمِينَ وَلَكَ
بِمِثْلٍ
“Do’a seorang muslim kepada saudaranya di saat saudaranya
tidak mengetahuinya adalah do’a yang mustajab (terkabulkan). Di sisi orang yang
akan mendo’akan saudaranya ini ada malaikat yang bertugas mengaminkan do’anya.
Tatkala dia mendo’akan saudaranya dengan kebaikan, malaikat tersebut akan
berkata: “Amin. Engkau akan mendapatkan semisal dengan saudaramu tadi.” (HR.
Muslim).
Tradisi
Dalam kamus bahasa Indonesia, tradisi berarti suatu adat
kebiasaan yang diturunkan oleh nenek moyang yang masih dijalankan oleh
masyarakat sampai sekarang, sesuatu yang dianggap bermakna baik atau luhur
sampai dengan saat ini.
Demikian pula untuk tradisi Ruwahan. Tradisi
ruwahan sebenarnya merupakan tradisi peninggalan nenek moyang kita. Ritualnya
sendiri meliputi ritual keliling desa, ritual bersih desa hingga bersih kubur,
ritual kenduri, ritual ziarah kubur dan berakhir dengan ritual padusan/mandi.
Dalam tradisi tersebut yang diagungkan adalah roh nenek moyang dan para dewa.
Ketika Islam pertama kali diperkenalkan kepada nenek moyang
kita oleh para wali, tradisi ruwahan ini tetap dipertahankan khususnya nilai-nilai luhur yang sejalan dengan ajaran Islam secara ibadah horizontalnya, namun sudah
dibedakan niat-nya untuk bukan lagi mengagungkan roh atau dewa, namun
semata-mata ibadah karena Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam bentuk ukhuwah,
shodaqoh, ziarah kubur, doa anak shaleh, dan lainnya.
Dalam ajaran para wali songo, tradisi ruwahan tersebut telah
banyak bergeser ke ajaran Islam dengan pemaknaan tertentu, misal:
1. Tradisi nyadran (ziarah kubur), dimanifestasikan untuk
mengingat kepada datangnya kematian dan memicu kesiapan bekal kita untuk masa
hidup setelah kematian tersebut.
2. Tradisi nyadran juga dimanifestasikan sebagai wujud
amalan bakti anak yang shaleh kepada ortunya, sebagai amal yang tak putus-putus (birul walidain).
3. Bersih desa, lebih menitik beratkan kepada kegotong royongan
dan guyub rukunnya warga untuk memelihara lingkungannya (ukhuwah) agar jadi bersih
dan lebih indah ketika bulan puasa nantinya. Kebersihan sendiri merupakan salah
satu wujud keimanan, bukan?
4. Kenduri dan megengan (kirim-kirim hantaran makanan; yang di
tradisi Aceh harus dengan daging = "meugang") adalah manifestasi dari
paktik do'a bagi semua keluarga sanak saudaranya yang masih hidup dengan saling
bersilaturahmi, saling memaafkan dan membantu untuk siap memasuki ibadah puasa
dengan rasa yang suci penuh suka cita menjadi kesadaran orang Islam Jawa.
5. Pada acara nyadran bebungaan ditaburkan di atas pusara
mereka yang kita cintai, karena itu nyadran juga disebut nyekar (menghantarkan
bunga). Indahnya warna-warni bunga dan keharumannya menjadi simbol bagi orang
Jawa untuk selalu mengenang semua yang indah dan yang baik dari diri mereka yang
telah mendahului.
6. Mandi untuk mensucikan diri dari hadats besar, sehingga
lengkaplah kesiapannya menapaki ibadah puasa nantinya.
Dengan demikian, ritus itu memberikan semangat bagi yang
masih hidup untuk terus berlomba-lomba demi kebaikan (fastabiqul khoirat).
Bahkan di daerah kota santri di pantura, Tradisi megengan di bulan Ruwah yang
bisa jadi berlangsung seminggu sebelum Puasa tidak hanya menciptakan relasi
kesalehan sosial di masyarakat Jawa, namun tradisi ini juga menumbuhkan relasi
putaran perekonomian.
Pasar kaget ruwahan seperti halnya Dugderan di Semarang
atau Dhandangan di Kudus, muncul sebagai dampak kebutuhan masyarakat pada waktu
itu untuk menyemangati anak-anak dan keluarganya, misal untuk membelikan sarung,
mukena, jilbab dan peci yang baru, kitab Qur'an yang baru, dan kain-kain untuk
mengganti mihrab di surau dan masjid desa, atau agar dapat membeli bahan-bahan kebutuhan selama awal-awal minggu di bulan puasa. (Masih ingat kan dulu pasar tak
setiap hari atau setiap jam buka seperti sekarang?)
Simbol
Di dalam masyarakat Jawa sendiri setiap tindakannya erat
sekali dengan simbol-simbol, dalam rangka untuk lebih memaknai suatu ibadahnya.
Sebagai misal dalam tradisi megengan biasanya ada hantaran ke tetangga atau
kerabat saudara, isi hantaran tradisi megengan di Jawa ini tidak pernah
meninggalkan tiga sajian makanan yakni ketan, kolak, dan apem. Makna dari
ketiga makanan itu adalah:
1. Ketan yang lengket merupakan simbol mengeratkan tali
silaturahmi,
2. Kolak yang manis bersantan mengajak persaudaraan bisa
lebih ‘dewasa’ dan barokah penuh kemanisan, dan
3. Apem berarti jika ada yang salah maka sekiranya bisa
saling memaafkan. Apem dari kata afwan minhum (arab) yang berarti kata maaf
dari mereka.
Bahkan di beberapa tempat yang mayoritas warganya bekerja atau
bertempat tinggal di luar daerahnya, di dalam tradisi ruwahan juga mengenal
Mudik Ruwahan. Mudiknya orang Jawa untuk ruwahan tak ubahnya sedang mereplika
sirah Nabi Muhammad ketika beliau dan para sahabatnya hijrah ke Yatsrib atau
Madinah, yakni mudik untuk melakukan tiga hal yang dibangun untuk mengukuhkan
iman keislaman yakni mendirikan masjid, pasar, dan mengikat tali persaudaraan.
Nah, begitu kiranya dasar pelaksaan tradisi ruwahan tersebut
dalam kaca mata Islam. Selama ibadah tersebut berarah horizontal, perbedaan
pelaksanaan antara daerah satu dengan lainnya tentu tak layak jika serta merta
dituding sebagai penyakit TBC (Takhayul, Bidáh dan Churafat). Ingat kan bahwa
kunci dari semua amalan adalah niatnya?
Dari ‘Umar bin Al Khottob, ia berkata bahwa ia mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا
الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ ، وَإِنَّمَا لاِمْرِئٍ
مَا نَوَى ، فَمَنْ
كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ
فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ
، وَمَنْ كَانَتْ
هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا
أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا ، فَهِجْرَتُهُ إِلَى
مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Dan
setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena
Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang
hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka
hijrahnya kepada yang ia tuju.” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907).
Beberapa faedah fiqih yang bisa ditarik:
1. Tidak mungkin suatu amalan itu ada kecuali sudah
didahului niat. Adapun jika ada amalan yang tanpa niat, maka tidak disebut
amalan seperti amalan dari orang yang tertidur dan gila. Sedangkan orang yang
berakal tidaklah demikian, setiap beramal pasti sudah memiliki niat. Oleh
karenanya, Ibnu Qudamah mengatakan,
لو كلَّفنا الله عملاً
بلا نيَّة لكان من
تكليف ما لا يُطاق
“Seandainya Allah membebani suatu amalan tanpa niat, maka
itu sama halnya membebani sesuatu yang tidak dimampui." [Kitab Dzammul
Muwaswisin karya Ibnu Qudamah, hlm. 15].
2. “Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan”,
maksud hadits ini adalah setiap orang akan memperoleh pahala sesuai kadar
niatnya. Jika niatannya baik, maka diganjar dengan kebaikan. Sebaliknya, jika
niatannya jelek, diganjar pula dengan kejelekan.
3. Niat itu berarti bermaksud dan berkehendak. Letak niat
adalah di dalam hati. Niat tidak perlu dilafazhkan untuk amalan apa pun
berdasarkan kata sepakat para ulama (baca: ijma’). Sebagian ulama Syafi’iyah
belakangan menganjurkan melafazhkan niat.
4. Niat ada dua macam: (1) niat amalan, (2) niat pada
siapakah ditujukan amalan tersebut.
Niat amalan ada dua fungsi: (1) membedakan ibadah dan
non-ibadah, (2) membedakan ibadah yang satu dan ibadah lainnya. Sedangkan yang dimaksud dengan niat jenis kedua adalah niat
tersebut ditujukan untuk mengharap wajah Allah dan kehidupan akhirat. Inilah yang
dimaksud dengan niat yang ikhlas.
5. Manusia diganjar bertingkat-tingkat sesuai dengan
tingkatan niatnya.
6. Jika manusia dalam keadaan udzur untuk beramal, ia akan
tetap diganjar. Karena seandainya ia tidak ada udzur atau halangan, tentu ia
akan beramal. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ
سَافَرَ ، كُتِبَ لَهُ
مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ
مُقِيمًا صَحِيحًا
“Jika seorang hamba sakit atau bersafar, maka dicatat
baginya amalan seperti ia dalam keadaan mukim dan sehat” (HR. Bukhari no.
2996).
7. Jika berbeda antara yang diucap dengan yang diniatkan
dalam hati, maka yang jadi patokan adalah niatan di hati.
8 Masalah niat pada masuk dalam setiap bab fikih karena niat
adalah syarat untuk setiap amalan. Sehingga sebagian ulama berkata,
لو صنَّفتُ الأبوابَ ،
لجعلتُ حديثَ عمرَ في
الأعمالِ بالنِّيَّةِ في كلّ بابٍ
“Seandainya aku menulis berbagai bab, maka aku akan jadikan
hadits ‘Umar ini di awal setiap bab.” Inilah perkataan ‘Abdurrahman bin Mahdi
sebagaimana dibawakan oleh Ibnu Rajab Al Hambali dalam kitab Jami’ul wal Hikam.
Kini Anda juga bisa kirim doa ruwahan via SMS: Kirim Doa Sekarang Bisa Pakai SMS
Oke kalau begitu, kita harus bisa membedakan mana yang
termasuk niat (ibadah) ruwahan dan mana tradisi dan budaya (non ibadah) yang
hanya menjadi simbol atau kiasan dari sebuat amalan ibadah seperti kue apem,
kolak dan ketan yang telah saya sebutkan di atas. [dutaislam.or.id/ab]