Iklan

Iklan

,

Iklan

Vaksin Bisa Bebaskan Anak dari Virus Selamanya? Itu Khurafat

16 Jul 2016, 01:32 WIB Ter-Updated 2024-08-08T16:40:53Z
Download Ngaji Gus Baha
Foto: news.okezone.com

Oleh M Abdullah Badri

Dutaislam.or.id - Sejak terjadi kegaduhan massal di beberapa rumah sakit akibat orang tua pasien anak pengguna imunisasi khawatir atas kelalaian rumah sakit hingga mengaku jadi “korban” peredaran vaksin abal-abal itu, sahabat yang dulu menuduh saya paling mbandel dan sok tahu hingga tidak mau ikut program vaksinasi dan imunisasi, jadi berpikir ulang.

Di kalangan keluarga saya sendiri, kini ada yang mengaku sudah merasakan akibat vaksin. Anaknya mudah demam, kejang-kejang dan berkali-kali masuk rumah sakit. Orang tuanya kini lumayan percaya kepada saya kalau imunisasi itu tidak perlu untuk anak usia balita.

Pekan imunisasi bulan lalu, rumah saya didatangi utusan dari petugas kesehatan kelurahan karena sejak pagi hingga siang, dua anak saya tidak mengikuti imunisasi. Padahal seluruh anak balita di lingkungan saya, sudah beres urusan imunisasinya.

Tiga kali didatangi, tiga kali saya tolak. Terakhir, utusan petugas itu saya bentak karena terkesan memaksa anak saya ikut imunisasi. Pendapat saya, imunisasi itu tidak perlu dan bahkan “haram” dalam tradisi keluarga saya. Mengapa? Beberapa hal di bawah bisa Anda baca.

Pertama, sejak zaman bahula’, yang namanya balita tidak ada yang kebal virus apalagi anti penyakit. Ketahanan tubuh balita ya jelas beda dengan orang tuanya. Apa ada jaminan setelah divaksin anak jadi sehat bugar anti penyakit selamanya? Kalau tidak ada, apa gunanya imunisasi?

Vaksin, sebagaimana dikampanyekan petugas kesehatan atas nama “anak biar sehat”, ternyata bukan untuk penyembuhan, tapi untuk testing kekebalan tubuh anak. Kalau kekebalan tubuh anak baik, ia tidak demam. Jika tidak baik, ia bisa kejang demam seperti anak pak lek saya di atas. (Hingga saya menulis ini, 16 Juli 2016, anak tersebut masih di RSUD untuk kesekian kali). Anak kok dibuat coba-coba sih?

Kedua, dalam imunisasi, tidak ada pihak yang bertanggungjawab menanggung risiko. Jika usai vaksinasi ada anak masuk rumah sakit, demam, ya sudah, yang memberikan vaksin gratis dan terkesan memaksa itu, cuci tangan. Ini seperti memberi harapan palsu. Padahal, di negara maju, undang-undang pasca vaksinasi, ada dan dilaksanakan.

Khurafat Vaksin


Ketiga, jangan mudah percaya kepada produk vaksin bersertifikat halal, sekalipun dari MUI. Sebab, bocoran yang beredar bahkan di kalangan perawat yang saya kenal (waktu itu dia masih kuliah), vaksin yang selama ini ada kebanyakan berasal dari bahan dasar babi dan kera. Di kalangan kedokteran pun, imunisasi masih diperdebatkan dan diperselisihkan. Tuh kan.

Keempat, urgensi apa sih sebetulnya imunisasi dilakukan? Saya belum menemukan urgensi mengapa pekan imunisasi nasional selalu diadakan. Apakah pada bulan dan pekan itu ada penelitian virus berbahaya beredar setahun sekali? Tahayul atau khurafat itu? Justru Anda bisa telusuri di rumah sakit di ruang anak-anak. Dua pekan pasca acara menghayal “bebas virus bagi balita” itu, daftar pasien anak meningkat. Cerita lek saya, semua anak yang dirawat bareng bersama anaknya di RSUD adalah anak-anak yang penyakitan setelah imunisasi. Untung saja masuk RS-nya pakai BPJS. Jika tidak, vaksinasi gratis nasional itu bagaikan promosi marketing ciptakan pasien-pasien baru yang berbayar. Duh gustii…

Anak yang kian melemah kekebalan tubuhnya tersebut mengingatkan saya pada perang di Jerman. Ketika Hitler bersama Nazi hendak membuat punah Yahudi, ia keluarkan kebijakan membinasakan secara halus dengan menyuntikkan vaksin khusus berfungsi seperti racun pembunuh.

Jika Anda percaya bahwa vaksin itu diciptakan untuk memperlemah kualitas genetik warga negara berkembang dari tangan tak tampak yang kurangajar, maka, Anda bisa melacak sejarah awal vaksin disuntikkan kepada balita yang memang sudah memiliki kekebalan tubuh lemah sejak lahir itu. Belum ada penelitian, seperti apakah kualitas tubuh dan intelektual anak yang dulu pernah divaksin rutin tiap bulan?

Alasan yang menyebutkan jika vaksin digalakkan karena potensi virus yang menyebar kian meluas, menurut saya hanya klaim. Sebab, zaman nenek saya dulu, virus justru mengancam dimana-mana karena berbaur dengan alam tanpa ada jaket, sandal, selimut dan pelindung tubuh lain. Apa mereka disebut primitif yang tidak tahu cara bertahan dari penyakit? Lalu, apa vaksin palsu justru tidak lebih primitif? Wah jan tenan.

Kelima, di keluarga saya, madu sudah menjadi tradisi untuk mengobati anak yang sedang terkena penyakit lumrah akibat virus demam, pilek dan lainnya. Madu selalu ada di rumah. Kami usahakan yang asli. Harganya lumayan, di atas 100 ribu. Ketika tulisan ini saya buat, di rumah ada satu botol madu klanceng senilai 170 ribu. Mahal namun cukup sebagai sunnah memperkuat kekebalan tubuh tanpa vaksin tidak jelas.

Di keluarga saya, makanan apapun yang tidak jelas asal usulnya seperti vaksin, jika masuk ke dalam tubuh, maka, hukumnya haram. Walau cara memasukkannya menggunakan suntik. Jika ternyata benar apa yang disuntik itu berbahan dasar babi yang konon sudah dinetralisir, tentu sifat babi masih bisa mempengaruhi jiwa dan karakter anak. Semoga saja tidak sih.

Seorang kiai bertanya kepada putranya setelah rawat inap di rumah sakit beberapa lama. Katanya, setelah sembuh dari penyakitnya ia selalu punya keinginan untuk mencuri barang yang bukan miliknya, malas dzikir, dan malas berpikir. Darah siapa ini? Sang kiai kecewa karena transfusi darah ketika dirawat itu dibeli putranya tanpa tahu sumber donor darahnya dari mana. Padahal, ada sanak saudara yang harusnya bisa menyumbang darah.

Benar juga bahwa setan bisa mengalir mengikuti aliran darah, yajri majrad daam. Wajar sang kiai punya keinginan kuat baru ingin mencuri karena barangkali darahnya adalah hasil donor mantan pencuri atau pemilik karakter kleptomania. Bagaimana dengan vaksin dan imunisasi? Wallahu a’lam. [dutaislam.or.id/ab]

M Abdullah Badri, tinggal di Jateng

Iklan