Foto: news.okezone.com |
Oleh M Abdullah Badri
Dutaislam.or.id - Sejak terjadi kegaduhan massal di beberapa rumah sakit
akibat orang tua pasien anak pengguna imunisasi khawatir atas kelalaian rumah sakit hingga mengaku
jadi “korban” peredaran vaksin abal-abal itu, sahabat yang dulu menuduh saya
paling mbandel dan sok tahu hingga tidak mau ikut program vaksinasi dan
imunisasi, jadi berpikir ulang.
Di kalangan keluarga saya sendiri, kini ada yang mengaku
sudah merasakan akibat vaksin. Anaknya mudah demam, kejang-kejang dan
berkali-kali masuk rumah sakit. Orang tuanya kini lumayan percaya kepada saya kalau
imunisasi itu tidak perlu untuk anak usia balita.
Pekan imunisasi bulan lalu, rumah saya didatangi utusan dari
petugas kesehatan kelurahan karena sejak pagi hingga siang, dua anak saya tidak
mengikuti imunisasi. Padahal seluruh anak balita di lingkungan saya, sudah beres
urusan imunisasinya.
Tiga kali didatangi, tiga kali saya tolak. Terakhir, utusan
petugas itu saya bentak karena terkesan memaksa anak saya ikut imunisasi.
Pendapat saya, imunisasi itu tidak perlu dan bahkan “haram” dalam tradisi
keluarga saya. Mengapa? Beberapa hal di bawah bisa Anda baca.
Pertama, sejak
zaman bahula’, yang namanya balita tidak ada yang kebal virus apalagi anti
penyakit. Ketahanan tubuh balita ya jelas beda dengan orang tuanya. Apa ada
jaminan setelah divaksin anak jadi sehat bugar anti penyakit selamanya? Kalau
tidak ada, apa gunanya imunisasi?
Vaksin, sebagaimana dikampanyekan petugas kesehatan atas
nama “anak biar sehat”, ternyata bukan untuk penyembuhan, tapi untuk testing
kekebalan tubuh anak. Kalau kekebalan tubuh anak baik, ia tidak demam. Jika
tidak baik, ia bisa kejang demam seperti anak pak lek saya di atas. (Hingga
saya menulis ini, 16 Juli 2016, anak tersebut masih di RSUD untuk kesekian kali).
Anak kok dibuat coba-coba sih?
Kedua, dalam
imunisasi, tidak ada pihak yang bertanggungjawab menanggung risiko. Jika usai
vaksinasi ada anak masuk rumah sakit, demam, ya sudah, yang memberikan vaksin
gratis dan terkesan memaksa itu, cuci tangan. Ini seperti memberi harapan palsu.
Padahal, di negara maju, undang-undang pasca vaksinasi, ada dan dilaksanakan.
Khurafat Vaksin
Ketiga, jangan
mudah percaya kepada produk vaksin bersertifikat halal, sekalipun dari MUI.
Sebab, bocoran yang beredar bahkan di kalangan perawat yang saya kenal (waktu
itu dia masih kuliah), vaksin yang selama ini ada kebanyakan berasal dari bahan
dasar babi dan kera. Di kalangan kedokteran pun, imunisasi masih diperdebatkan
dan diperselisihkan. Tuh kan.
Keempat, urgensi
apa sih sebetulnya imunisasi dilakukan? Saya belum menemukan urgensi mengapa
pekan imunisasi nasional selalu diadakan. Apakah pada bulan dan pekan itu ada
penelitian virus berbahaya beredar setahun sekali? Tahayul atau khurafat itu?
Justru Anda bisa telusuri di rumah sakit di ruang anak-anak. Dua pekan pasca
acara menghayal “bebas virus bagi balita” itu, daftar pasien anak meningkat.
Cerita lek saya, semua anak yang dirawat bareng bersama anaknya di RSUD adalah
anak-anak yang penyakitan setelah imunisasi. Untung saja masuk RS-nya pakai
BPJS. Jika tidak, vaksinasi gratis nasional itu bagaikan promosi marketing
ciptakan pasien-pasien baru yang berbayar. Duh gustii…
Anak yang kian melemah kekebalan tubuhnya tersebut
mengingatkan saya pada perang di Jerman. Ketika Hitler bersama Nazi hendak
membuat punah Yahudi, ia keluarkan kebijakan membinasakan secara halus dengan
menyuntikkan vaksin khusus berfungsi seperti racun pembunuh.
Jika Anda percaya bahwa vaksin itu diciptakan untuk memperlemah
kualitas genetik warga negara berkembang dari tangan tak tampak yang kurangajar,
maka, Anda bisa melacak sejarah awal vaksin disuntikkan kepada balita yang memang
sudah memiliki kekebalan tubuh lemah sejak lahir itu. Belum ada penelitian,
seperti apakah kualitas tubuh dan intelektual anak yang dulu pernah divaksin
rutin tiap bulan?
Alasan yang menyebutkan jika vaksin digalakkan karena
potensi virus yang menyebar kian meluas, menurut saya hanya klaim. Sebab, zaman
nenek saya dulu, virus justru mengancam dimana-mana karena berbaur dengan alam
tanpa ada jaket, sandal, selimut dan pelindung tubuh lain. Apa mereka disebut
primitif yang tidak tahu cara bertahan dari penyakit? Lalu, apa vaksin palsu
justru tidak lebih primitif? Wah jan tenan.
Kelima, di
keluarga saya, madu sudah menjadi tradisi untuk mengobati anak yang sedang
terkena penyakit lumrah akibat virus demam, pilek dan lainnya. Madu selalu ada
di rumah. Kami usahakan yang asli. Harganya lumayan, di atas 100 ribu. Ketika
tulisan ini saya buat, di rumah ada satu botol madu klanceng senilai 170 ribu.
Mahal namun cukup sebagai sunnah memperkuat kekebalan tubuh tanpa vaksin tidak
jelas.
Di keluarga saya, makanan apapun yang tidak jelas asal
usulnya seperti vaksin, jika masuk ke dalam tubuh, maka, hukumnya haram. Walau
cara memasukkannya menggunakan suntik. Jika ternyata benar apa yang disuntik
itu berbahan dasar babi yang konon sudah dinetralisir, tentu sifat babi masih
bisa mempengaruhi jiwa dan karakter anak. Semoga saja tidak sih.
Seorang kiai bertanya kepada putranya setelah rawat inap di
rumah sakit beberapa lama. Katanya, setelah sembuh dari penyakitnya ia selalu punya
keinginan untuk mencuri barang yang bukan miliknya, malas dzikir, dan malas
berpikir. Darah siapa ini? Sang kiai kecewa karena transfusi darah ketika
dirawat itu dibeli putranya tanpa tahu sumber donor darahnya dari mana. Padahal,
ada sanak saudara yang harusnya bisa menyumbang darah.
Benar juga bahwa setan bisa mengalir mengikuti aliran darah,
yajri majrad daam. Wajar sang kiai punya
keinginan kuat baru ingin mencuri karena barangkali darahnya adalah hasil donor
mantan pencuri atau pemilik karakter kleptomania. Bagaimana dengan vaksin dan
imunisasi? Wallahu a’lam. [dutaislam.or.id/ab]
M Abdullah Badri, tinggal di Jateng