Iklan

Iklan

,

Iklan

Tuhan Orang Yahudi Adalah Kakak Tuhan Wahabi, Ini Silsilahnya

3 Okt 2016, 02:07 WIB Ter-Updated 2024-08-30T22:37:06Z
Download Ngaji Gus Baha
Foto bersama: Ustadz Idrus Ramli, Gus Jazuli (pengasuh ponpes Afaada, samping kanan ustadz Idrus)
sedang tabbaruk modern selfie bersama peserta Tawajuhan Aswaja, (Ahad, 2/10/2016).

Dutaislam.or.id - Salah satu syubhat akidah wahabi yang dibahas oleh Ustadz Idrus Ramli pada Tawajuhan Aswaja yang digelar di Ponpes Afaada Sunan Pandanaran, Bakalan Tanduk, Ampel, Boyolali (Ahad, 2/10/2016) adalah imajinasi fisik akidah wahabi kepada Allah dimana sangat bertentangan dengan konsep tauhid Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Ketika ditanya seperti apakah bentuk Allah, jawaban yang benar adalah bahwa Allah berbeda dari semua makhluk yang ada. Apa saja yang telintas dalam bayangan dan imajinasi pikiran Anda, Allah tidak seperti yang dibayangkan itu. Sama sekali tidak.

Itulah makna sifat Allah “mukhalafatu lil hawadits/ wajib berbeda dengan segala apapun yang baru”, salah satu dari 20 sifat wajib bagi Allah yang harus diketahui dan diyakini oleh setiap umat Islam, sebuah konsep akidah ahlussunnah wal jamaah yang sejak dulu diyakini, mulai zaman sahabat hingga sekarang.

Namun, dalam banyak kitab-kitab tauhid ala wahabi salafi, Allah justru diserupakan secara ngawur sak udele dewe sebagai “yang menyerupai manusia, yaitu laki-laki yang masih muda dan belum berjenggot”. Bahkan tingginya juga disebut mencapai 30 meter. Duh.

Atas keyakinan batil itulah orang-orang wahabi disebut Idrus Ramli masuk dalam golongan Mujassimah (kaum yang menjasmanikan Tuhan) serta Musyabbihah (kaum yang menyerupakan Tuhan dengan makhluk). “Wahabi itu akidahnya error,” jelas Idrus kepada puluhan peserta, disambut tawa.

Jika orang wahabi menyatakan bahwa pembatasan sifat Allah hanya pada 20 sebagai duplikasi keyakinan orang-orang Yunani, maka itu adalah salah kaprah. Justru keyakinan paham wahabi yang menyerupai kepercayaan orang Yahudi.

Jika di Yahudi ada kepercayaan konyol bahwa Tuhan itu serupa dengan manusia tua yang berjenggot dan beramput putih, maka di wahabi, Tuhan lebih muda sedikit, yakni belum berjenggot, alias muda mempesona. Namun, keduanya menyebut kalau Tuhan itu tingginya 30 meter (jika dipanjat bisa ngos-ngosan kali yah). Silsilah sejarah Tuhan wahabi dan Yahudi bertemu pada kesamaan ukuran tingginya ini.

“Tuhan Yahudi adalah kakak Tuhan wahabi,” simpul Idrus Ramli, “menyamakan Allah dengan manusia itu sama dengan memaki-maki Allah. Kepada Allah saja tidak punya rasa hormat (ta’dzim), apalagi kepada Nabi,” lanjutnya.

Meski menurut ulama menyebut kaum mujassimah itu kafir, namun menurut Idrus, orang wahabi bukan kafir (sebab akidah erornya itu), tapi sesat-menyesatkan. “Paling tidak mereka dosa besar karena suul adab (tidak punya sopan santun) kepada Allah,” papar Idrus.

Penyerupaan Allah kepada manusia yang diajarkan paham wahabi itu menyalahi 90 persen konsep tauhid ulama dari zaman dahulu hingga sekarang. Termasuk juga soal konsep tentang sifat Allah yang disebut nuzul (turun dari langit).

Jika dikatakan bahwa Allah memiliki sifat nuzul tiap tengah malam, secara logika dan ilmu pengetahuan astronomi saja sudah eror. Akidah fatal ini tidak bisa menjelaskan secara pasti kapan Allah turun jika kita tahu bahwa di belahan dunia ini ada perbedaan waktu sekian jam antar benua. 

Ketika Allah turun di Jakarta pas jam 12 malam WIB, apakah Allah ketika itu tidak ada juga di Lombok yang waktunya lebih cepat sejam? Bagaimana dengan benua Eropa, apakah ketika itu Allah tidak ada di sana karena sibuk di Jakarta?

Akidah-akidah batil di atas itulah yang menurut Idrus Ramli harus diperangi. Ketika kita diam, lalu muncul banyak pemahaman yang batil seperti akidah wahabi itu, maka Islam akan menjadi lemah. “Non aswaja tidak segan-segan bekerjasama dengan orang-orang kafir untuk mengokohkan pengaruhnya,” ujar Idrus Ramli.

Di Indonesia saja, hingga kini, orang-orang wahabi sudah mulai menggeser paham ahlus sunnah wal jamaah dengan pelbagai cara, termasuk memasukkan konsep-konsep mungkar mereka ke dalam buku-buku yang jadi kurikulum pendidikan di Indoensia. Misalnya pembagian tauhid menjadi tiga; uluhiyah, rububiyah dan asma’ was sifat. Itu banyak ditemukan di buku agama di SD, SMP dan SMA di negeri ini.

Sayangnya, sejak era reformasi, penyusupan akidah wahabi ke kurikulum pendidikan nasional Indonesia terus muncul. “Padahal, kemenagnya selalu NU,” timpal Idrus. Bagaimana dengan Anda? [dutaislam.or.id/ab]

Iklan