Foto bersama: Ustadz Idrus Ramli, Gus Jazuli (pengasuh ponpes Afaada, samping kanan ustadz Idrus) sedang tabbaruk modern selfie bersama peserta Tawajuhan Aswaja, (Ahad, 2/10/2016). |
Dutaislam.or.id - Salah satu syubhat akidah wahabi yang
dibahas oleh Ustadz Idrus Ramli pada Tawajuhan Aswaja yang digelar di Ponpes
Afaada Sunan Pandanaran, Bakalan Tanduk, Ampel, Boyolali (Ahad, 2/10/2016) adalah
imajinasi fisik akidah wahabi kepada Allah dimana sangat bertentangan dengan konsep tauhid Ahlus
Sunnah wal Jamaah.
Ketika ditanya seperti apakah bentuk Allah, jawaban yang
benar adalah bahwa Allah berbeda dari semua makhluk yang ada. Apa saja yang
telintas dalam bayangan dan imajinasi pikiran Anda, Allah tidak seperti yang
dibayangkan itu. Sama sekali tidak.
Itulah makna sifat Allah “mukhalafatu lil hawadits/
wajib berbeda dengan segala apapun yang baru”, salah satu dari
20 sifat wajib bagi Allah yang harus diketahui dan diyakini oleh setiap umat
Islam, sebuah konsep akidah ahlussunnah wal jamaah yang sejak dulu
diyakini, mulai zaman sahabat hingga sekarang.
Namun, dalam banyak kitab-kitab tauhid ala wahabi salafi,
Allah justru diserupakan secara ngawur sak udele dewe sebagai “yang menyerupai
manusia, yaitu laki-laki yang masih muda dan belum berjenggot”. Bahkan
tingginya juga disebut mencapai 30 meter. Duh.
Atas keyakinan batil itulah orang-orang wahabi disebut
Idrus Ramli masuk dalam golongan Mujassimah (kaum yang menjasmanikan
Tuhan) serta Musyabbihah (kaum yang menyerupakan Tuhan dengan makhluk).
“Wahabi itu akidahnya error,” jelas Idrus kepada puluhan peserta, disambut
tawa.
Jika orang wahabi menyatakan bahwa pembatasan sifat Allah
hanya pada 20 sebagai duplikasi keyakinan orang-orang Yunani, maka itu adalah
salah kaprah. Justru keyakinan paham wahabi yang menyerupai kepercayaan orang
Yahudi.
Jika di Yahudi ada kepercayaan konyol bahwa Tuhan itu serupa
dengan manusia tua yang berjenggot dan beramput putih, maka di wahabi, Tuhan
lebih muda sedikit, yakni belum berjenggot, alias muda mempesona. Namun,
keduanya menyebut kalau Tuhan itu tingginya 30 meter (jika dipanjat bisa ngos-ngosan
kali yah). Silsilah sejarah Tuhan wahabi dan Yahudi bertemu pada kesamaan ukuran tingginya ini.
“Tuhan Yahudi adalah kakak Tuhan wahabi,” simpul Idrus
Ramli, “menyamakan Allah dengan manusia itu sama dengan memaki-maki Allah.
Kepada Allah saja tidak punya rasa hormat (ta’dzim), apalagi kepada Nabi,”
lanjutnya.
Meski menurut ulama menyebut kaum mujassimah itu kafir, namun menurut Idrus, orang wahabi bukan kafir (sebab akidah erornya itu), tapi sesat-menyesatkan.
“Paling tidak mereka dosa besar karena suul adab (tidak punya sopan
santun) kepada Allah,” papar Idrus.
Penyerupaan Allah kepada manusia yang diajarkan paham wahabi
itu menyalahi 90 persen konsep tauhid ulama dari zaman dahulu hingga sekarang.
Termasuk juga soal konsep tentang sifat Allah yang disebut nuzul (turun dari
langit).
Jika dikatakan bahwa Allah memiliki sifat nuzul tiap tengah
malam, secara logika dan ilmu pengetahuan astronomi saja sudah eror. Akidah
fatal ini tidak bisa menjelaskan secara pasti kapan Allah turun jika kita tahu
bahwa di belahan dunia ini ada perbedaan waktu sekian jam antar benua.
Ketika
Allah turun di Jakarta pas jam 12 malam WIB, apakah Allah ketika itu tidak ada
juga di Lombok yang waktunya lebih cepat sejam? Bagaimana dengan benua Eropa, apakah ketika itu Allah tidak ada di sana karena sibuk di Jakarta?
Akidah-akidah batil di atas itulah yang menurut Idrus Ramli
harus diperangi. Ketika kita diam, lalu muncul banyak pemahaman yang batil
seperti akidah wahabi itu, maka Islam akan menjadi lemah. “Non aswaja tidak
segan-segan bekerjasama dengan orang-orang kafir untuk mengokohkan
pengaruhnya,” ujar Idrus Ramli.
Di Indonesia saja, hingga kini, orang-orang wahabi sudah
mulai menggeser paham ahlus sunnah wal jamaah dengan pelbagai cara, termasuk
memasukkan konsep-konsep mungkar mereka ke dalam buku-buku yang jadi kurikulum pendidikan di Indoensia. Misalnya pembagian tauhid menjadi tiga;
uluhiyah, rububiyah dan asma’ was sifat. Itu banyak ditemukan di buku agama di SD, SMP dan SMA di negeri ini.
Sayangnya, sejak era reformasi, penyusupan akidah wahabi ke
kurikulum pendidikan nasional Indonesia terus muncul. “Padahal, kemenagnya
selalu NU,” timpal Idrus. Bagaimana dengan Anda? [dutaislam.or.id/ab]