Iklan

Iklan

,

Iklan

Jika Produktif, Buruh Tidak Harus Berteriak Baik Gaji Setahun Sekali

2 Mei 2017, 06:06 WIB Ter-Updated 2024-08-28T23:38:44Z
Download Ngaji Gus Baha

Oleh Hasanudin Abdurakhman

Dutaislam.or.id - Hari Buruh biasanya diperingati dengan kegiatan demonstrasi untuk memperjuangkan nasib buruh. Ada banyak isu yang diangkat, terkait jaminan kesejahteraan bagi buruh. Isu utamanya adalah nilai nominal upah. Yang lain, soal kepastian masa depan, jaminan sosial, dan sebagainya.

Hampir dalam setiap kesempatan buruh menuntut pihak lain, dalam hal ini pemerintah dan pengusaha, untuk memperbaiki kesejahteraan mereka. Tuntutan sebenarnya paling patut ditujukan kepada pengusaha, sebagai pihak pengguna jasa buruh, dan yang membayar upah mereka. Tapi kenapa demonstrasi lebih sering ditujukan kepada pemerintah ketimbang perusahaan?

Ini adalah politik perburuhan. Tuntutan kepada pengusaha akan membenturkan buruh kepada hukum pasar bebas. Bila tuntutan mereka terlalu tinggi, pengusaha dapat menghindar dan memakai pihak lain sebagai ganti. Kepada pemerintah tuntutannya adalah regulasi yang memaksa pengusaha. Di situ tak berlaku lagi hukum pasar bebas.

Perjuangan kesejahteraan buruh, pada akhirnya nyaris bermakna tunggal, yaitu menekan pemerintah untuk memberlakukan peraturan yang memaksa pengusaha untuk memberikan sesuatu yang lebih baik bagi buruh. Setiap tahun begitu. Tanpa pertanyaan mendasar, apakah tuntutan itu tidak mengancam masa depan perusahaan tempat buruh bernaung.

Sebenarnya, ada banyak sisi lain yang harus diperjuangkan buruh. Konsepnya adalah buruh baru bisa jadi buruh kalau ada perusahaan. Perusahaan tutup, buruh menganggur. Jadi, menjaga kelangsungan perusahaan sebenarnya tanggung jawab utama buruh.

Bagaimana dengan kesejahteraan? Tentu saja itu wajib diperjuangkan. Pertanyaannya, bagaimana caranya? Dengan pendekatan apa? Saya punya satu sudut pandang, berdasar pengalaman menjadi pemimpin perusahaan selama 7 tahun.

Suatu hari saat memeriksa ruang kendali listrik di pabrik, saya kaget menemukan 3 bangku plastik dipasang berjajar di belakang kabinet pengendali listrik. Di atasnya terbentang potongan besar kardus. Sepertinya tempat ini dijadikan tempat untuk "melarikan diri" dari pekerjaan. Bangku dan kardus tadi adalah tempat tidur darurat.

Segera saya kumpulkan karyawan yang bekerja di pabrik. Saya sampaikan temuan saya. Saya sangat marah ketika itu. Marah saya bukan sekadar karena ada karyawan yang tidak jujur, mengindari kerja kemudian tidur. Marah saya lebih karena ia telah membahayakan dirinya sendiri. Ruang kendali listrik itu termasuk restricted area, tempat berbahaya, tidak semua orang boleh masuk ke situ, karena ada banyak bahaya dari kabel listrik bertegangan tinggi. Dia malah menjadikannya tempat tidur. Pelakunya saya temukan dan saya beri sanksi.

Di lain waktu saya pernah menemukan bungkus coklat yang diselipkan di sela-sela mesin produksi. Sepertinya ada operator yang makan selagi bekerja, dan membuang sampah dengan cara seperti itu.

Pernah pula ada buruh yang tidak masuk kerja lembur (katanya berhalangan), ia meminta temannya menggantikan, tapi dalam laporan lembur dicatat bahwa ia sendiri melakukan kerja itu. Kenapa begitu? Ia memiliki gaji pokok yang lebih tinggi, otomatis nilai lemburnya juga tinggi. Dengan cara itu ia masih mendapat uang ekstra meski bukan dia sendiri yang lembur.

Begitulah. Banyak masalah ketertiban, kejujuran, dan etos kerja yang saya temui selama hampir 7 tahun berinteraksi dan membina buruh-buruh bawahan saya. Untuk sekadar menjamin para buruh itu datang bekerja tepat waktu, bekerja sesuai jadwal, mengikuti ketentuan saja sangat sulit. Di assembly line kami harus merekrut buruh dalam jumlah 10-15 % lebih banyak dari kebutuhan, karena setiap hari sekitar sejumlah itu tidak hadir bekerja dengan berbagai alasan.

Bila kita berharap agak lebih tinggi kepada para buruh itu, kesulitannya akan lebih banyak. Untuk sekadar menuliskan data produksi pada lembar laporan dengan angka yang benar saja sulitnya bukan main. Selalu saja ada salah angka, salah kolom, dan seterusnya. Kalau dalam pengisian ada bagian yang mesti dihitung dengan penjumlahan atau pengalian, tingkat kesalahan akan meningkat drastis.

Bila harapan kita adalah agar mereka belajar selama bekerja, menyerap ilmu dari engineer asing yang bekerja bersama mereka, dari 100-an buruh paling-paling hanya 3-4 orang yang mau dan mampu. Kalau sudah bertambah sedikit saja kemampuan, mereka segera menuntut ini dan itu. Kalau tidak terpenuhi, mereka akan segera kabur mencari pekerjaan lain, meninggalkan kesempatan belajar menjadi orang yang lebih ahli.

Kalau diminta mengelola, memimpin, mengendalikan data produksi dan seterusnya itu, boleh dikatakan hampir mustahil. Saya berinteraksi dengan sejumlah orang di level supervisor, sangat jarang saya temui orang yang mampu mengelola.

Saya selalu mendorong para buruh untuk belajar, mengasah keterampilan, meningkatkan skill. Saya selalu ingatkan bahwa kenaikan gaji rutin jangan diharapkan, karena jumlahnya tak seberapa. Kenaikan baru terasa kalau ada kenaikan jabatan. Yang terakhir ini bisa dicapai kalau ada peningkatan skill.

Ada beberapa yang berhasil. Mereka berhasil meningkatkan gajinya sampai 3-4 kali lipat dibanding saat pertama masuk kerja dulu. Tapi sekali lagi, sangat sedikit.

Dari berbagai pembicaraan dengan rekan dari perusahaan lain, juga dengan orang-orang Jepang yang bekerja di sini, saya menemukan hal yang hampir sama. Di sebuah perusahaan kosmetik, misalnya, selalu saja ditemukan kasus pencurian produk oleh buruh saat mereka bekerja. Ada kenalan saya orang Jepang yang sudah 20 tahun bekerja di sini, mencoba membina orang untuk menjadi ahli dalam pembuatan mold (cetak), tak satupun berhasil.

Buruh kita masih dililit oleh masalah-masalah yang sangat mendasar, yaitu soal kejujuran, keuletan, kemauan untuk belajar, serta etika dalam bekerja. Bila masalah-masalah itu mereka selesaikan, mereka akan segera melompat menjadi orang-orang produktif, yang tidak akan perlu lagi berteriak-teriak minta naik gaji. Tapi sepertinya jarang yang mau memilih jalan itu. Kebanyakan lebih suka berteriak setahun sekali, kemudian menikmati hasil pemaksaan itu. [dutaislam.or.id/ab]

Iklan