Foto: istimewa |
Dutaislam.or.id - Rebana atau dalam istilah jawa lebih akrab disebut "Terbang", dikenal sebagai salah satu instrument khas pengiring alunan musik atau syair-syair arab. Alat musik yang terbuat dari kulit kambing yang dikeringkan tersebut memiliki sejarah yang demikian tua.
Secara historis, telah maklum bahwa masyarakat Madinah pada abad ke-6 telah menggunakan rebana sebagai musik pengiring dalam acara penyambutaan atas kedatangan Nabi Muhammad saw. waktu hijrah dari Makkah. Masyarakat Madinah kala itu menyambut kedatangan Beliau dengan qasidah Thaala'al Badru yang diiringi dengan rebana sebagai ungkapan rasa bahagia atas kehadiran seorang Rasul ke bumi itu.
Rebana kemudian digunakan sebagai sarana dakwah para penyebar Islam. Dengan lantunan syair-syair indah diiringi rebana, pesan-pesan mulia agama Islam mampu dikemas dan disajikan lewat sentuhan seni artistic musik Islami yang khas.
Di Indonesia, sekitar abad 13 Hijriyah seorang ulama' besar dari negeri Yaman yang bernama Habib Ali bin Muhammad bin Husain al-Habsyi (1259 - 1333H / 1839 - 1913M) datang ke tanah air dalam misi berdakwah menyebarkan agama Islam. Di samping itu, beliau juga membawa sebuah kesenian Arab berupa pembacaan qasidah yang diiringi rebana ala Habsyi dengan cara mendirikan majlis sholawat dan pujian-pujian kepada Rasulullah sebagai sarana mahabbah (kecintaan) kepada Rasulullah saw.
Selang beberapa waktu majlis itu pun menyebar ke seluruh penjuru daerah terutama Banjar Masin Kalimantan dan Jawa. Beliau, Habib 'Ali bin Muhammad bin Husain Al-Habsyi juga sempat mengarang sebuah buku yang berjudul “Simthu Al-Durar” yang di dalamnya memuat tentang kisah perjalanan hidup dari sebelum lahir sampai wafatnya Rasulullah SAW. Di dalamnya juga berisi bacaan sholawat-sholawat dan madaih (pujian-pujian) kepada Rasulullah. Bahkan sering kali dalam memperingati acara maulid Nabi Agung Muhammad saw. Kitab itulah yang sering dibaca dan diiringi dengan alat musik rebana.
Sampai sekarang kesenian ini pun sudah melekat pada masyarakat. Khususnya para pecinta sholawat dan maulid Nabi saw. sebagai sebuah eksistensi seni budaya Islam yang harus selalu dijaga dan dikembangkan.
Sejarah singkat tentang kitab "Simthu al-Durar fi Akhbar Mawlid Khair al-Basyar min Akhlaqi wa Awshaafi wa Siyar" atau disingkat "Simthu al-Durar" dan sering juga disebut dengan "Maulid Habsyi". Kitab ini telah diimla'kan oleh Habib Ali tatkala beliau berusia 68 tahun dalam beberapa majlis dimulai pada hari Kamis 26 Shafar al-khair 1327 H dan disempurnakan 10 Rabi`ul Awwal pada tahun tersebut dan dibacakan secara resminya di rumah murid beliau Habib 'Umar bin Hamid al-Saqqaf pada malam Sabtu tanggal 12 Rabi`ul Awwal.1327 H atau sekitar tahun 1907 M.
Habib Thoha bin Hasan bin Abdur Rahman al-Saqqaf dalam kitabnya "Fuyudhotul Bahril Maliy" menukil kata-kata Habib 'Ali yang berhubungan dengan kitab karangannya seperti berikut:
“Jika seseorang menjadikan kitab mawlidku ini sebagai salah satu wiridnya atau menghafalnya, maka sir Junjungan al-Habib Musthafa Rasulullah saw. akan nampak pada dirinya. Aku mengarangnya dan mengimla`kannya, dan setiap kali kitab itu dibacakan kepadaku, maka dibukakan bagiku pintu untuk berhubungan dengan Junjungan Nabi saw.”
Habib Novel bin Muhammad al-'Aydrus menceritakan sebagian dari keistimewaan kitab "Simthu al-Durar" adalah seseorang yang mempelajarinya akan cepat menghafal Al Quran. Hal ini terjadi beberapa kali pada murid-murid yang diasuh oleh Habib Husain Mulakhela, di mana, sebelum menghafal Al Quran mereka disuruh membaca dan menghafal "Simthud Durar". Hasilnya, murid-murid tersebut lebih cepat menghafal Al Quran.
Habib Husain Mulakhela sendiri mengalami hal demikian. Ketika diawal menuntut ilmu bahasa 'Arab, gurunya, Habib Hadi Jawas menyuruhnya untuk mempelajari "Simthu al-Durar" terlebih dahulu. Setelah dipelajari dengan tekun, barulah diketahuinya bahwa "Simthu al-Durar" menghimpun semua wazan/ pola kata/ tata kata dalam bahasa 'Arab. Sehingga dia pun menjadi mudah untuk menguasai ilmu nahwu dan sharaf dengan cepat.
Hadrah
Kegiatan membaca qasidah-qasidah dan pujian-pujian kepada Rasulullah yang diiringi dengan alat musik rebana sangatlah diminati oleh masyarakat muslim yang cinta kepada Nabinya. Sudah menjadi kebiasaan, hampir setiap minggu majlis hadlrah ini diadakan. Seringnya pada malam Jum'at karena sebagaimana Rasulullah menganjurkan kepada umatnya untuk memperbanyak membaca shalawat pada malam Jum'at. Ada juga yang malam Senin dikarenakan malam itu adalah malam kelahiran Nabi Muhammad saw.
Menurut Prof. KH. Mustafa Ali Ya'qub, MA. Kata Hadlrah itu secara bahasa berarti hadapan atau haribaan. Hal ini karena dalam seni hadrah itu lazimnya diawali dengan membaca surah al-Fatikhah atau bacaan- bacan lain yang pahalanya dihadiahkan kepada Rasulullah dan para tokoh yang sudah wafat yang dinilai telah berjasa bagi dakwah Islam. Ketika hendak membaca surah al-Fatikhah itu, diawali membaca Ilaa Hadlrati……..(ke haribaan……). Dari kebiasaan inilah tampaknya kesenian ini dinamakan "Hadlrah".
Namun, yang lebih popular dikalangan kaum muslimin pecinta sholawat dan ahli thariqah, nama hadrah berasal dari kata "hadlara" yang berarti hadir. Karena setiap ada majlis yang mengadakan acara pembacaan sholawat dan pujian kepada Rasul, maka seketika itu juga akan didihadiri oleh arwah anbiya', auliya' dan sholihin serta dipenuhi oleh para malaikat rahmat.
Disamping nama hadrah, juga sebagian masyarakat menamainya dengan "Duroran" karena kitab yang dibaca berjudul "Simthu Al-Durar" yang telah di karang oleh beliau Habib Ali bin Muhammad bin Husain Al-Habsyi. Sebagian masyarakat menamainya juga dengan "Habsyian" yang dinisbatkan kepada marga atau nama asal daerah si pengarang kitab tersebut yaitu Al-Habsyi sebagaimana seringnya masyarakat menamai kegiatan membaca kitab Al-Barzanji dengan nama "Barzanjian" dan kegiatan membaca kitab Al-Dziba' sengan nama "Dziba'an".
Perkembangan Seni Rebana Hadrah sebagai Seni Budaya Islam
Di Indonesia, kegiatan majlis hadrah yang menggunakan alat musik rebana telah berkembang dengan pesat. Awalnya kegiatan hadrah dilakukan hanya sebagai ritual saja dalam memperingati kelahiran Nabi Muhammad saw. Akan tetapi dengan cintanya masyarakat akan bacaan-bacaan shalawat dan madaih, hampir setiap mengadakan acara tasyakuran baik pernikahan, khitanan, tingkeban (ketika janin si ibu berumur 7 bulan) maupun kelahiran bayi dan acara-acara yang lainnya masyarakat sering mengundang majlis hadrah ini untuk membacakan sholawat dan madaihnya demi mendapatkan limpahan keberkahan Allah dan syafa'at Rasulullah dari bacaan-bacaan tersebut.
Namun, dengan kecanggihan teknologi sekarang ini, banyak ditemukan berbagai jenis alat musik baru yang kehadirannya dapat menggeser alat musik tradisional Islam, termasuk rebana. Dengan dalih ketinggalan zaman dan kolot, alat-alat musik tradisional Islam itu mulai ditinggalkan dan jarang dimainkan. Hal ini tentu saja menimbulkan keprihatinan para musikus Islam modern. Mereka berusaha sedini mungkin untuk mengkolaborasikan alat-alat tradisional tersebut dengan alat-alat musik modern. Sehingga dengan penampilan seperti inilah seni tradisi Islam tetap terlestarikan.
Dari sinilah muncul kemudian seni baru Islam, yaitu rebana hadrah modern. Seni ini masih menggunakan alat-alat musik tradisional namun diselingi alat musik modern. Sehingga akan mudah untuk diterima oleh masyarakat kini dan tidak menjenuhkan. Usaha ini tidaklah sia-sia. Terbukti, di tanah air sendiri, jumlah grup rebana hadrah modern sudah mencapai ribuan. Bahkan banyak sudah yang masuk dapur rekaman dan omset penjualan kaset hampir menyamai lagu dengan musik-musik modern.
Di luar negeri, Kairo misalnya, seni ini sangat ditunggu-tunggu kehadirannya. Terbukti dari banyaknya undangan untuk tampil dari mancanegara yang dialamatkan ke sebuah grup rebana. Akan tetapi belum bisa memenuhinya secara keseluruhan karena keterbatasan alat-alat musik yang masih sederhana. Semua ini tak lebih adalah sebagai bagian dari usaha generasi baru Islam untuk menjaga dan membangkitkan kreatifitas seni budaya Islam yang telah ada sehingga tetap lestari dan tidak hilang begitu saja. [dutaislam.or.id/pin]
Sumber:
1. http://bahrusshofa.blogspot.com/2006/06/100-tahun-mawlid-habsyi.html
2. Kitab Simthud-Durar fi akhbar Mawlid Khairil Basyar min akhlaqi wa awshaafi wa siyar , karangan Habib Ali bin Muhammad bin Husain Al-Habsyi.
3. Prof. Ali Mustafa Ya’qub, Hadis-Hadis Bemasalah, (Penerbit Pustaka Firdaus) hal. 92, Cet. Ke-2.
Secara historis, telah maklum bahwa masyarakat Madinah pada abad ke-6 telah menggunakan rebana sebagai musik pengiring dalam acara penyambutaan atas kedatangan Nabi Muhammad saw. waktu hijrah dari Makkah. Masyarakat Madinah kala itu menyambut kedatangan Beliau dengan qasidah Thaala'al Badru yang diiringi dengan rebana sebagai ungkapan rasa bahagia atas kehadiran seorang Rasul ke bumi itu.
Rebana kemudian digunakan sebagai sarana dakwah para penyebar Islam. Dengan lantunan syair-syair indah diiringi rebana, pesan-pesan mulia agama Islam mampu dikemas dan disajikan lewat sentuhan seni artistic musik Islami yang khas.
Di Indonesia, sekitar abad 13 Hijriyah seorang ulama' besar dari negeri Yaman yang bernama Habib Ali bin Muhammad bin Husain al-Habsyi (1259 - 1333H / 1839 - 1913M) datang ke tanah air dalam misi berdakwah menyebarkan agama Islam. Di samping itu, beliau juga membawa sebuah kesenian Arab berupa pembacaan qasidah yang diiringi rebana ala Habsyi dengan cara mendirikan majlis sholawat dan pujian-pujian kepada Rasulullah sebagai sarana mahabbah (kecintaan) kepada Rasulullah saw.
Selang beberapa waktu majlis itu pun menyebar ke seluruh penjuru daerah terutama Banjar Masin Kalimantan dan Jawa. Beliau, Habib 'Ali bin Muhammad bin Husain Al-Habsyi juga sempat mengarang sebuah buku yang berjudul “Simthu Al-Durar” yang di dalamnya memuat tentang kisah perjalanan hidup dari sebelum lahir sampai wafatnya Rasulullah SAW. Di dalamnya juga berisi bacaan sholawat-sholawat dan madaih (pujian-pujian) kepada Rasulullah. Bahkan sering kali dalam memperingati acara maulid Nabi Agung Muhammad saw. Kitab itulah yang sering dibaca dan diiringi dengan alat musik rebana.
Sampai sekarang kesenian ini pun sudah melekat pada masyarakat. Khususnya para pecinta sholawat dan maulid Nabi saw. sebagai sebuah eksistensi seni budaya Islam yang harus selalu dijaga dan dikembangkan.
Sejarah singkat tentang kitab "Simthu al-Durar fi Akhbar Mawlid Khair al-Basyar min Akhlaqi wa Awshaafi wa Siyar" atau disingkat "Simthu al-Durar" dan sering juga disebut dengan "Maulid Habsyi". Kitab ini telah diimla'kan oleh Habib Ali tatkala beliau berusia 68 tahun dalam beberapa majlis dimulai pada hari Kamis 26 Shafar al-khair 1327 H dan disempurnakan 10 Rabi`ul Awwal pada tahun tersebut dan dibacakan secara resminya di rumah murid beliau Habib 'Umar bin Hamid al-Saqqaf pada malam Sabtu tanggal 12 Rabi`ul Awwal.1327 H atau sekitar tahun 1907 M.
Habib Thoha bin Hasan bin Abdur Rahman al-Saqqaf dalam kitabnya "Fuyudhotul Bahril Maliy" menukil kata-kata Habib 'Ali yang berhubungan dengan kitab karangannya seperti berikut:
“Jika seseorang menjadikan kitab mawlidku ini sebagai salah satu wiridnya atau menghafalnya, maka sir Junjungan al-Habib Musthafa Rasulullah saw. akan nampak pada dirinya. Aku mengarangnya dan mengimla`kannya, dan setiap kali kitab itu dibacakan kepadaku, maka dibukakan bagiku pintu untuk berhubungan dengan Junjungan Nabi saw.”
Habib Novel bin Muhammad al-'Aydrus menceritakan sebagian dari keistimewaan kitab "Simthu al-Durar" adalah seseorang yang mempelajarinya akan cepat menghafal Al Quran. Hal ini terjadi beberapa kali pada murid-murid yang diasuh oleh Habib Husain Mulakhela, di mana, sebelum menghafal Al Quran mereka disuruh membaca dan menghafal "Simthud Durar". Hasilnya, murid-murid tersebut lebih cepat menghafal Al Quran.
Habib Husain Mulakhela sendiri mengalami hal demikian. Ketika diawal menuntut ilmu bahasa 'Arab, gurunya, Habib Hadi Jawas menyuruhnya untuk mempelajari "Simthu al-Durar" terlebih dahulu. Setelah dipelajari dengan tekun, barulah diketahuinya bahwa "Simthu al-Durar" menghimpun semua wazan/ pola kata/ tata kata dalam bahasa 'Arab. Sehingga dia pun menjadi mudah untuk menguasai ilmu nahwu dan sharaf dengan cepat.
Hadrah
Kegiatan membaca qasidah-qasidah dan pujian-pujian kepada Rasulullah yang diiringi dengan alat musik rebana sangatlah diminati oleh masyarakat muslim yang cinta kepada Nabinya. Sudah menjadi kebiasaan, hampir setiap minggu majlis hadlrah ini diadakan. Seringnya pada malam Jum'at karena sebagaimana Rasulullah menganjurkan kepada umatnya untuk memperbanyak membaca shalawat pada malam Jum'at. Ada juga yang malam Senin dikarenakan malam itu adalah malam kelahiran Nabi Muhammad saw.
Menurut Prof. KH. Mustafa Ali Ya'qub, MA. Kata Hadlrah itu secara bahasa berarti hadapan atau haribaan. Hal ini karena dalam seni hadrah itu lazimnya diawali dengan membaca surah al-Fatikhah atau bacaan- bacan lain yang pahalanya dihadiahkan kepada Rasulullah dan para tokoh yang sudah wafat yang dinilai telah berjasa bagi dakwah Islam. Ketika hendak membaca surah al-Fatikhah itu, diawali membaca Ilaa Hadlrati……..(ke haribaan……). Dari kebiasaan inilah tampaknya kesenian ini dinamakan "Hadlrah".
Namun, yang lebih popular dikalangan kaum muslimin pecinta sholawat dan ahli thariqah, nama hadrah berasal dari kata "hadlara" yang berarti hadir. Karena setiap ada majlis yang mengadakan acara pembacaan sholawat dan pujian kepada Rasul, maka seketika itu juga akan didihadiri oleh arwah anbiya', auliya' dan sholihin serta dipenuhi oleh para malaikat rahmat.
Disamping nama hadrah, juga sebagian masyarakat menamainya dengan "Duroran" karena kitab yang dibaca berjudul "Simthu Al-Durar" yang telah di karang oleh beliau Habib Ali bin Muhammad bin Husain Al-Habsyi. Sebagian masyarakat menamainya juga dengan "Habsyian" yang dinisbatkan kepada marga atau nama asal daerah si pengarang kitab tersebut yaitu Al-Habsyi sebagaimana seringnya masyarakat menamai kegiatan membaca kitab Al-Barzanji dengan nama "Barzanjian" dan kegiatan membaca kitab Al-Dziba' sengan nama "Dziba'an".
Perkembangan Seni Rebana Hadrah sebagai Seni Budaya Islam
Di Indonesia, kegiatan majlis hadrah yang menggunakan alat musik rebana telah berkembang dengan pesat. Awalnya kegiatan hadrah dilakukan hanya sebagai ritual saja dalam memperingati kelahiran Nabi Muhammad saw. Akan tetapi dengan cintanya masyarakat akan bacaan-bacaan shalawat dan madaih, hampir setiap mengadakan acara tasyakuran baik pernikahan, khitanan, tingkeban (ketika janin si ibu berumur 7 bulan) maupun kelahiran bayi dan acara-acara yang lainnya masyarakat sering mengundang majlis hadrah ini untuk membacakan sholawat dan madaihnya demi mendapatkan limpahan keberkahan Allah dan syafa'at Rasulullah dari bacaan-bacaan tersebut.
Namun, dengan kecanggihan teknologi sekarang ini, banyak ditemukan berbagai jenis alat musik baru yang kehadirannya dapat menggeser alat musik tradisional Islam, termasuk rebana. Dengan dalih ketinggalan zaman dan kolot, alat-alat musik tradisional Islam itu mulai ditinggalkan dan jarang dimainkan. Hal ini tentu saja menimbulkan keprihatinan para musikus Islam modern. Mereka berusaha sedini mungkin untuk mengkolaborasikan alat-alat tradisional tersebut dengan alat-alat musik modern. Sehingga dengan penampilan seperti inilah seni tradisi Islam tetap terlestarikan.
Dari sinilah muncul kemudian seni baru Islam, yaitu rebana hadrah modern. Seni ini masih menggunakan alat-alat musik tradisional namun diselingi alat musik modern. Sehingga akan mudah untuk diterima oleh masyarakat kini dan tidak menjenuhkan. Usaha ini tidaklah sia-sia. Terbukti, di tanah air sendiri, jumlah grup rebana hadrah modern sudah mencapai ribuan. Bahkan banyak sudah yang masuk dapur rekaman dan omset penjualan kaset hampir menyamai lagu dengan musik-musik modern.
Di luar negeri, Kairo misalnya, seni ini sangat ditunggu-tunggu kehadirannya. Terbukti dari banyaknya undangan untuk tampil dari mancanegara yang dialamatkan ke sebuah grup rebana. Akan tetapi belum bisa memenuhinya secara keseluruhan karena keterbatasan alat-alat musik yang masih sederhana. Semua ini tak lebih adalah sebagai bagian dari usaha generasi baru Islam untuk menjaga dan membangkitkan kreatifitas seni budaya Islam yang telah ada sehingga tetap lestari dan tidak hilang begitu saja. [dutaislam.or.id/pin]
Sumber:
1. http://bahrusshofa.blogspot.com/2006/06/100-tahun-mawlid-habsyi.html
2. Kitab Simthud-Durar fi akhbar Mawlid Khairil Basyar min akhlaqi wa awshaafi wa siyar , karangan Habib Ali bin Muhammad bin Husain Al-Habsyi.
3. Prof. Ali Mustafa Ya’qub, Hadis-Hadis Bemasalah, (Penerbit Pustaka Firdaus) hal. 92, Cet. Ke-2.