Iklan

Iklan

,

Iklan

Felix Siauw, Muallaf yang Lampaui Batas Snouck Hurgronje

5 Nov 2017, 15:09 WIB Ter-Updated 2024-08-27T23:39:48Z
Download Ngaji Gus Baha

Oleh Kajitow Elkayeni

Dutaislam.or.id - Sebagai seorang muslim sejak lahir, saya jadi malu bersaudara seagama dengan muallaf seperti Felix Siauw. Saya menyesal, Felix memilih islam sebagai agamanya. Di tengah rasa malu yang memuncak itu, kadang saya berpikir, apakah keislaman saya ini perlu saya evaluasi lagi?

Semenjak saya belajar bicara dan berjalan, doktrin agama ini telah saya terima. Kedua orang tua saya lulusan pesantren. Lingkungan tempat saya tumbuh homogen, seratus persen muslim, Jawa. Dari satu guru ke guru yang lain. Dari satu pesantren ke pesantren yang lain. Saya telah melampaui semua kegelisahan filsafati. Pernah jadi sosok fanatik yang meyakini jihad dan pertumpahan darah sebagai jalan satu-satunya untuk memuliakan islam. Membawa slogan dengan penuh amarah, 'al-islamu ya'lu wala yu'la 'alaih (islam yang tertinggi, tidak ada yang lebih tinggi dari islam)'.

Sampai akhirnya, tulisan-tulisan Gusdur membuat saya sadar. Pendapat-pendapat Habib Quraish Shihab dan Kyai Husein Muhammad membuka pemahaman baru. Islam tidak mesti digambarkan dengan brutal dan sadis. Islam harus terbuka pada perbedaan, kebhinekaan, kebaruan ijtihad. Islam bukan agama marah dan penuh kebencian. Islam harus rahmatan lil'alamin, menjadi ramat bagi seru-sekalian alam.

Sementara ulama-ulama Wahabi, HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), IM (Ikhwanul Muslimin), berusaha merusak sendi utama itu. Mereka merobohkan islam dari dalam. Islam yang sudah dibangun ratusan tahun dengan bersusah payah oleh Walisanga. Oleh orang-orang mulia yang rela mengalah demi kemaslahatan. Sunan Kudus melarang penyembelihan sapi, Sunan Kalijaga memakai pakaian Jawa, kemenyan dan wayang. Sunan Giri menggunakan tembang dan dolanan anak-anak sebagai media. Sunan Gresik menata irigasi dan pertanian. Sementara ulama radikal yang melenceng itu membawa jargon kearaban dan isu pemurnian agama. Semua selain mereka dianggap sesat.

Yang lebih menyedihkan lagi, para muallaf yang pemahaman agamanya dipertanyakan itu, tiba-tiba didaulat menjadi ulama. Bermodalkan ayat terjemahan dan hadits sepotong-sepotong, mereka mengkafirkan yang lain. Mereka menjadi corong penyesatan berjamaah. Ustadz karbitan yang baru mengenal kulit agama itu menjadi dajal kecil di masjid-masjid tertutup. Sebagian memang memahami sedikit bahasa Arab dan kaidah fikih, meskipun untuk disebut ulama, jelas masih sangat kurang memadai ilmunya.

Felix Siauw adalah salah satu muallaf itu. Orang yang baru saja pindah agama dengan segala keterbatasan ilmunya. Ia murtad dari agama sebelumnya, dengan embel-embel telah mendapat pencerahan. Esok, bisa jadi ia pindah agama lagi jika mendapat pencerahan baru. Orang yang tidak memiliki kesetiaan beragama ini kemudian dijadikan jargon pemurnian agama. Seorang muallaf pendobrak. Ia menyalahkan pendiri bangsa, para ulama Aswaja. Mempertanyakan nasionalisme dan keislaman moderat.

Padahal seorang muallaf, meski telah dua puluh tahun memeluk islam sekalipun berhak menerima zakat, karena kadar keislamannya dipertanyakan. Namun muallaf yang jelas serba fakir ilmu seperti Felix Siauw ini merasa 'allamah melampaui ulama-ulama sepuh Nusantara. Ia lahir dari organisasi terlarang bernama HTI. Tidak mau mengakui Pancasila sebagai dasar negara. Tidak menerima sistem demokrasi dan ingin menggantinya dengan sistem khilafah. Orang ini tersesat ke ceruk yang sangat dalam, tapi menuduh orang lain yang ada di jalur yang benar, sebagai yang tersesat.

Menghadapi makhluk tak tahu diri seperti Felix Siauw ini menimbulkan rasa malu luar biasa. Tahun-tahun panjang mempelajari agama islam menjadi sia-sia. Rasa hormat pada Kyai sepuh dan ulama Nusantara seolah tak berguna. Tiba-tiba saja orang yang bodoh dalam hal agama, yang baru saja murtad dari agama sebelumnya itu, mengobarkan permusuhan atas nama islam. Agama yang saya peluk sejak lahir, yang saya daras siang-malam dari berbagai guru sejak kanak. Ia yang bahkan tidak sepadan jika dibandingkan dengan saya ini berani-beraninya memusuhi NU, memusuhi Banser, memusuhi ulama-ulama yang jauh lebih alim dari saya.

Felix baru masuk islam di kisaran tahun 2002-2003, tahun itu saya sudah berceramah ke mana-mana, meski untuk tingkatan pelosok kampung. Saya sudah berani menyebut diri sebagai macan podium. Tahun itu saya sudah mempelajari dasar-dasar kitab kuning dan lulus dengan nilai terbaik dari pesantren pertama. Tentunya sesudah melalui pendidikan agama dari keluarga, kemudian madrasah diniah dan tsanawiyah selama tujuh tahun lebih. Masih pula dilanjutkan ke pesantren lain untuk kilatan. Dan proses pembelajaran itu terus berlanjut sampai sekarang. Meskipun begitu, saya tidak berani menyebut diri ulama. Menyebut diri ustadz saja tidak berani, padahal pernah mengajar di madrasah tsanawiyah dan menjadi guru ganti di aliyah.

Padahal bisa jadi ia adalah versi lain Christiaan Snouck Hurgronje yang menyusup dalam Islam di jaman penjajahan Belanda dulu?

Drama muallaf yang melampaui batas itu terus berlanjut. Terus terang saya malu berada satu perahu dengannya. Sepak terjangnya yang meresahkan dengan membawa nama islam, membuat saya kadang sampai pada keputusan krusial, Felix atau saya yang mesti keluar dari agama ini? [dutaislam.or.id/ab]

Source: seword.com

Iklan