Foto: Istimewa |
Dutaislam.or.id - Dalam ilmu qowaid fiqih Aswaja, ada sebuah kaidah yang dijadikan pegangan oleh ulama nusantara.
لِلْوَسَائِلِ حُكْمُ اْلَمقَاصِدِ كُلُّ مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
“Wasilah (media) itu memiliki posisi sama penting maqoshid (tujuan)”
“Segala kewajiban yang tidak akan dapat ditunaikan kecuali melalui wasilah, maka wasilah itu hukumnya wajib sebagaimana wajibnya menunaikan kewajiban itu”
Nadho’irnya, bagaimana mungkin seorang akan bisa memperbaiki genting pecah agar rumah tidak rusak karena kemasukan air hujan jika tidak menggunakan tangga? Tangga memiliki posisi yang sama penting dengan memperbaiki genting agar rumah tidak bocor. Bagaimana mungkin seseorang akan dianggap telah mendirikan shalat jika tidak berwudhu? Wudhu memiliki posisi yang sama wajib dengan shalat agar tidak berdosa karena shalatnya tidak sah. Maka wudhu sebelum shalat merupakan harga mati.
Nadhoir lain, bagaimana mungkin seorang akan mampu berhaji jika tidak menggunakan transportasi pesawat dan sejenisnya? Bagaimana bisa naik pesawat kalau tidak membayar ONH? Maka naik pesawat adalah harga mati dan mampu membayar ONH adalah final.
Bagaimana mungkin seseorang akan mampu memahami ajaran Al-Quran, Sunnah Nabi, dan mengerti isi dan materi kitab kuning jika tidak mau belajar nahwu dan shorof? Maka, meski nahwu shorof adalah wasilah, mempelajari nahwu adalah harga mati dan shorof sudah final.
Maka jika mereka bertanya, kenapa NKRI harus dihargai mati dan Pancasila dianggap sudah final? jawablah dengan lantang:
“Bagaimana umat Islam akan mampu beribadah dengan khusyu’ dan menjalankan syariatnya jika mereka tidak memiliki wadah kebangsaan dan kenegaraan yang dijaga keamanannya secara bersama-sama oleh seluruh warganegara?”
“Bagaimana umat Islam akan mampu menyebarkan indahnya Islam dan ramahnya ajaran Rasul Muhammad kepada masyarakat dan dunia yang heterogen jika mereka tidak memiliki wadah NKRI yang damai dengan Pancasila sebagai konstitusi yang disepakati bersama?”
“Dan bagaimana semua umat Islam akan mampu berempati dan melindungi saudara muslimnya di wilayah Indonesia jika umat Islam tidak memiliki konsensus bersama untuk saling menghargai, melindungi dan memilik hak serta kedudukan yang dalam hukum, jika tanpa NKRI yang berharga mati dan Pancasila sebagai konsensus, yang sudah final?”
“Dan bagaimana umat Islam akan mampu menjaga NKRI dan pancasila itu jika mereka tidak memiliki rasa nasionalisme kepada bangsa dan negaranya?”
Inilah alasan mengapa KH. Wahab Hasbullah membuat qoidah fiqih kebangsaan, “hubbul wathan minal iman” yang dijaga oleh NU dan kiai hingga saat ini. Mencintai tanah air adalah bagian dari iman. Karena nasionalisme dan Islam secara syar’i adalah dua entitas yang tidak bisa dipisahkan.
Inilah juga alasan mengapa Banser siap menjadi garda depan menjaga NKRI dan Pancasila dan siap menanggung segala resikonya. Bukan karena Banser merasa paling pancasilais dan paling NKRI. Melainkan karena kenyataannya barisan serba guna rakyat yang memiliki kepedulian untuk menjaga NKRI dan Pancasila. Apa dikira Si Harun, santri mbah Hasyim Asyari yang menembak mati Jenderal Mallaby dan melempar bom kepada tentara sekutu itu ikhwan HTI atau LPI?
Sehingga, apapun resikonya Banser siap menjaga NU, Kiai NU, warga NU, pesantren dan masjid-masjid umat Islam secara keseluruhan. Bahkan Banser juga siap menjaga umat agama lain yang beribadah jika mereka diteror oleh sekelompok umat Islam atas nama Islam.
Banser Ansor adalah penjaga kedamaian negeri ini dari siapapun yang mengaku Indonesia tapi tidak memiliki rasa nasionalisme kepada negerinya. Mengaku cinta Islam tapi tidak peduli kepada kemaslahatan agamanya.
Jadi hakikatnya, bukan kekufuran yang dijaga banser. Namun, kedamaian NKRI secara keseluruhan. Bukan orang Nasrani yang dijaga banser, tapi justru Umat Islam dan nama baik Islam yang dicemarkan oleh oknum teroris yang mengatasnamakan Islam.
Maka ingatlah, pahlawan negeri bukan hanya umat Islam, tapi juga tokoh lain selain umat lain. Negeri ini bukan hanya milik umat Islam, tapi milik semua umat manusia yang lahir, besar dan mati dalam dekapan cinta Indonesia. Maka jangan memaksakan kehendak untuk mengangkangi jasa mereka dengan mengatasnamakan Islam dan Syariat Islam.
Semoga kita menjadi orang yang sadar akan hakikat ini. [dutaislam.or.id/Yazid al Busthomi/pin]
لِلْوَسَائِلِ حُكْمُ اْلَمقَاصِدِ كُلُّ مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
“Wasilah (media) itu memiliki posisi sama penting maqoshid (tujuan)”
“Segala kewajiban yang tidak akan dapat ditunaikan kecuali melalui wasilah, maka wasilah itu hukumnya wajib sebagaimana wajibnya menunaikan kewajiban itu”
Nadho’irnya, bagaimana mungkin seorang akan bisa memperbaiki genting pecah agar rumah tidak rusak karena kemasukan air hujan jika tidak menggunakan tangga? Tangga memiliki posisi yang sama penting dengan memperbaiki genting agar rumah tidak bocor. Bagaimana mungkin seseorang akan dianggap telah mendirikan shalat jika tidak berwudhu? Wudhu memiliki posisi yang sama wajib dengan shalat agar tidak berdosa karena shalatnya tidak sah. Maka wudhu sebelum shalat merupakan harga mati.
Nadhoir lain, bagaimana mungkin seorang akan mampu berhaji jika tidak menggunakan transportasi pesawat dan sejenisnya? Bagaimana bisa naik pesawat kalau tidak membayar ONH? Maka naik pesawat adalah harga mati dan mampu membayar ONH adalah final.
Bagaimana mungkin seseorang akan mampu memahami ajaran Al-Quran, Sunnah Nabi, dan mengerti isi dan materi kitab kuning jika tidak mau belajar nahwu dan shorof? Maka, meski nahwu shorof adalah wasilah, mempelajari nahwu adalah harga mati dan shorof sudah final.
Maka jika mereka bertanya, kenapa NKRI harus dihargai mati dan Pancasila dianggap sudah final? jawablah dengan lantang:
“Bagaimana umat Islam akan mampu beribadah dengan khusyu’ dan menjalankan syariatnya jika mereka tidak memiliki wadah kebangsaan dan kenegaraan yang dijaga keamanannya secara bersama-sama oleh seluruh warganegara?”
“Bagaimana umat Islam akan mampu menyebarkan indahnya Islam dan ramahnya ajaran Rasul Muhammad kepada masyarakat dan dunia yang heterogen jika mereka tidak memiliki wadah NKRI yang damai dengan Pancasila sebagai konstitusi yang disepakati bersama?”
“Dan bagaimana semua umat Islam akan mampu berempati dan melindungi saudara muslimnya di wilayah Indonesia jika umat Islam tidak memiliki konsensus bersama untuk saling menghargai, melindungi dan memilik hak serta kedudukan yang dalam hukum, jika tanpa NKRI yang berharga mati dan Pancasila sebagai konsensus, yang sudah final?”
“Dan bagaimana umat Islam akan mampu menjaga NKRI dan pancasila itu jika mereka tidak memiliki rasa nasionalisme kepada bangsa dan negaranya?”
Inilah alasan mengapa KH. Wahab Hasbullah membuat qoidah fiqih kebangsaan, “hubbul wathan minal iman” yang dijaga oleh NU dan kiai hingga saat ini. Mencintai tanah air adalah bagian dari iman. Karena nasionalisme dan Islam secara syar’i adalah dua entitas yang tidak bisa dipisahkan.
Inilah juga alasan mengapa Banser siap menjadi garda depan menjaga NKRI dan Pancasila dan siap menanggung segala resikonya. Bukan karena Banser merasa paling pancasilais dan paling NKRI. Melainkan karena kenyataannya barisan serba guna rakyat yang memiliki kepedulian untuk menjaga NKRI dan Pancasila. Apa dikira Si Harun, santri mbah Hasyim Asyari yang menembak mati Jenderal Mallaby dan melempar bom kepada tentara sekutu itu ikhwan HTI atau LPI?
Sehingga, apapun resikonya Banser siap menjaga NU, Kiai NU, warga NU, pesantren dan masjid-masjid umat Islam secara keseluruhan. Bahkan Banser juga siap menjaga umat agama lain yang beribadah jika mereka diteror oleh sekelompok umat Islam atas nama Islam.
Banser Ansor adalah penjaga kedamaian negeri ini dari siapapun yang mengaku Indonesia tapi tidak memiliki rasa nasionalisme kepada negerinya. Mengaku cinta Islam tapi tidak peduli kepada kemaslahatan agamanya.
Jadi hakikatnya, bukan kekufuran yang dijaga banser. Namun, kedamaian NKRI secara keseluruhan. Bukan orang Nasrani yang dijaga banser, tapi justru Umat Islam dan nama baik Islam yang dicemarkan oleh oknum teroris yang mengatasnamakan Islam.
Maka ingatlah, pahlawan negeri bukan hanya umat Islam, tapi juga tokoh lain selain umat lain. Negeri ini bukan hanya milik umat Islam, tapi milik semua umat manusia yang lahir, besar dan mati dalam dekapan cinta Indonesia. Maka jangan memaksakan kehendak untuk mengangkangi jasa mereka dengan mengatasnamakan Islam dan Syariat Islam.
Semoga kita menjadi orang yang sadar akan hakikat ini. [dutaislam.or.id/Yazid al Busthomi/pin]