Ilustrasi: dutaislam.or.id. |
Dutaislam.or.id – Sebagai Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) memilik banyak istilah atau singkatan yang berasal dari cabang-cabang NU. Warga NU sendiri kadang tidak mengetahui istilah tersebut.
Demi kemantapan alangkah lebih baik jika warga NU, baik secara struktural maupun kultural, mengetahui istilah-istilah tersebut. Kita juga tidak akan kebingunan jika pada suatu saat ditanya oleh orang yang bukan pengurus atau warga Nahdlyini. Warga NU kok nggak tahu? Kan wagu.
Berikut beberapa istilah atau singkatan dalam oragnisasi NU yang perlu diketahui.
PBNU : (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) untuk tingkat pusat, berkantor di Ibu kota Negara.
PWNU : (Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama) untuk tingkat provinsi berkantor di Ibu kota Provinsi.
PCNU : (Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama ) untuk tingkat Kabupaten/ Kota, berkantor di daerah Kabupaten atau Kota Madya.
PCINU : (Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama ) untuk NU luar negeri, berkantor di Ibu kota Negara dimana di negara itu sudah dibentuk kepengurusan NU.
MWCNU : (Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama ) untuk tingkat kecamatan.
PRNU : (Pengurus Ranting Nahdlatul Ulama) untuk tingkat Desa.
PARNU : (Pengurus Anak Ranting Nahdlatul Ulama) : untuk tingkat Dukuhan/ Lingkungan.
RMI : (Rabithah Al-Ma’ahid Al-Islamiyyah) Perkumpulan pesantren NU adalah salah satu badan pelaksana kebijakan NU dalam bidang kepesantrenan. Rabithah berasal dari kata ‘rabatha’ yang berarti mengikat, sedangkan Ma’ahid adalah jamak dari kata ‘ma’had’ yang bermakna pondok pesantren.
A’wan : Bagian dari syuriah yang bertugas membantu tugas rais yang terdiri atas sejumlah ulama terpandang. A’wan adalah bentuk jamak dari ‘awn yang secara bahasa berarti bantuan.
Hadhratusy Syaikh: Sebutan kepada seorang ulama sebagai pengakuan atas keluasan ilmunya, kemuliaan akhlaqnya, dan keistiqamahannya dalam berdakwah. Istilah Hadhratusy Syaikh di NU merujuk kepada K.H Hasyim Asy’ari, pendiri NU.
Jam’iyyah : Perkumpulan yang memiliki ikatan dan aturan baku (organisasi). Berbeda dari jama’ah yang merupakan perkumpulan yang bersifat lepas dan cair. Keduanya berakar dari kata jama’a (berkumpul). Selain Nahdlatul Ulama sebagai jam’iyyah induk, ada beberapa badan otonom NU yang juga memakai nama jam’iyyah, seperti Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdhiyyah ( JATMAN) yang menaungi para pengikut thariqat yang mu’tabar; dan Jam’iyyatul Qurra’ wal Huffazh (JQH) yang mengurus pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan pengembangan tradisi penghafalan dan seni membaca Al-Qur’an.
Katib : Penulis atau juru catat, berasal dari kata ‘kataba’ (menulis). Dalam NU, istilah katib hanya diperuntukkan bagi sekretaris syuriah. Sementara itu, dalam tanfidziah digunakan istilah sekretaris.
Khittah : Visi dasar organisasi NU yang dirumuskan pada awal pendiriannya pada tahun 1926. Yakni, sebagai organisasi sosial keagamaan yang berjuang di ranah dakwah, sosial, dan pendidikan. Kata khiththah berasal dari kata ‘khaththa (menggaris).
Lajnah : Panitia, komisi, lembaga, atau komite yang secara struktural bertanggung jawab kepada NU. Berasal dari kata ‘lajanah’ yang berarti mengaduk, merekatkan. Ada beberapa lajnah dalam NU, yaitu: Lajnah Falakiyyah, bertugas menangani hal-hal yang berkaitan dengan bidang ilmu falak (astronomi); Lajnah Bahtsul Masa’il (LBM), bertugas membahas, mengkaji, dan memutuskan berbagai masalah keagamaan, dengan bersandar pada pandangan ulama dan kitab yang mu’tabar; Lajnah At-Ta’lif wan Nasyr, menangani penerbitan karya dan fatwa ulama NU, kegiatan muktamar, dan lain-lain; dan Lajnah Awqaf, yang menangani harta wakaf baik dari anggota maupun simpatisan NU. Selain lajnah, ada juga lembaga, seperti Lakpesdam, LP Ma’arif dan Lesbumi, dan badan otonom, seperti Anshor, Fatayat, Muslimat, IPNU, dan IPPNU, yang secara struktural lebih mandiri.
(Al-)Muhafazhah ‘alal qadimish shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah: Prinsip dasar ulama NU yang bermakna, “Berpegang teguh pada pendapat terdahulu yang baik, seraya mengambil pendapat yang baru yang jauh lebih baik”. Dengan dasar kaidah itu, NU mempertahankan tradisi salafiyyahnya, namun tidak alergi terhadap pendapat dan interpretasi keagamaan modern yang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an, hadits, dan ijma’ ulama salaf.
Mustasyar : Dewan penasihat syuriah yang terdiri atas ulama sepuh NU, seperti K.H M. Zen Syukri, K.H Idris Marzuki Lirboyo, dan Tuan Guru Badruddin Turmudzi. Mustasyar berasal dari kata ‘istasyara’ yang berarti meminta petunjuk.
Qanun Asasi : Garis-garis dasar Ideologi NU yang disusun oleh Hadhratusy Syaikh Hasyim Asy’ ari. Intinya, jam’iyyah NU berpegang kepada madzhab Asy’ariyah (pengikut Syaikh Abul Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ari) dan Maturidiyyah (pengikut Abu Manshur Muhammad bin Muhammad Al-Maturidi) dalam beraqidah; pendapat ulama madzhab Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali dalam berfiqih; dan pendapat Imam Junaid Al-Baghdadi dan Imam Al-Ghazali dalam bertasawuf.
Rais Akbar : Secara bahasa bermakna pemimpin besar, jabatan tertinggi dalam struktur kepengurusan Syuriyyah NU saat pertama kali didirikan. Jabatan ini hanya pernah diduduki oleh Hadhratusy Syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari. Sepeninggal Mbah Hasyim, istilah rais akbar diganti dengan rais ‘am yang berarti ketua umum.
Syuriah : Berasal dari kata ‘syawara’ yang berarti bermusyawarah. Syuriah ialah badan musyawarah pengambil keputusan tertinggi dalam NU, semacam dewan legislatif dalam negara. Syuriah dipimpin oleh seorang rais ‘am.
Tanfidziah : Berasal dari kata ‘naffadza’ yang berarti melaksanakan. Tanfidziah ialah badan pelaksana harian syuriah. Pemimpin tertinggi Tanfidziyyah tidak menggunakan istilah rais ‘am, melainkan ketua umum.
Demikian singkatan dan istilah-istilah di dalam Ormas NU. Semoga ke-NU-an kita makin mantab. [dutaislam.or.id/ed/pin]
Demi kemantapan alangkah lebih baik jika warga NU, baik secara struktural maupun kultural, mengetahui istilah-istilah tersebut. Kita juga tidak akan kebingunan jika pada suatu saat ditanya oleh orang yang bukan pengurus atau warga Nahdlyini. Warga NU kok nggak tahu? Kan wagu.
Berikut beberapa istilah atau singkatan dalam oragnisasi NU yang perlu diketahui.
PBNU : (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) untuk tingkat pusat, berkantor di Ibu kota Negara.
PWNU : (Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama) untuk tingkat provinsi berkantor di Ibu kota Provinsi.
PCNU : (Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama ) untuk tingkat Kabupaten/ Kota, berkantor di daerah Kabupaten atau Kota Madya.
PCINU : (Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama ) untuk NU luar negeri, berkantor di Ibu kota Negara dimana di negara itu sudah dibentuk kepengurusan NU.
MWCNU : (Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama ) untuk tingkat kecamatan.
PRNU : (Pengurus Ranting Nahdlatul Ulama) untuk tingkat Desa.
PARNU : (Pengurus Anak Ranting Nahdlatul Ulama) : untuk tingkat Dukuhan/ Lingkungan.
RMI : (Rabithah Al-Ma’ahid Al-Islamiyyah) Perkumpulan pesantren NU adalah salah satu badan pelaksana kebijakan NU dalam bidang kepesantrenan. Rabithah berasal dari kata ‘rabatha’ yang berarti mengikat, sedangkan Ma’ahid adalah jamak dari kata ‘ma’had’ yang bermakna pondok pesantren.
A’wan : Bagian dari syuriah yang bertugas membantu tugas rais yang terdiri atas sejumlah ulama terpandang. A’wan adalah bentuk jamak dari ‘awn yang secara bahasa berarti bantuan.
Hadhratusy Syaikh: Sebutan kepada seorang ulama sebagai pengakuan atas keluasan ilmunya, kemuliaan akhlaqnya, dan keistiqamahannya dalam berdakwah. Istilah Hadhratusy Syaikh di NU merujuk kepada K.H Hasyim Asy’ari, pendiri NU.
Jam’iyyah : Perkumpulan yang memiliki ikatan dan aturan baku (organisasi). Berbeda dari jama’ah yang merupakan perkumpulan yang bersifat lepas dan cair. Keduanya berakar dari kata jama’a (berkumpul). Selain Nahdlatul Ulama sebagai jam’iyyah induk, ada beberapa badan otonom NU yang juga memakai nama jam’iyyah, seperti Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdhiyyah ( JATMAN) yang menaungi para pengikut thariqat yang mu’tabar; dan Jam’iyyatul Qurra’ wal Huffazh (JQH) yang mengurus pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan pengembangan tradisi penghafalan dan seni membaca Al-Qur’an.
Katib : Penulis atau juru catat, berasal dari kata ‘kataba’ (menulis). Dalam NU, istilah katib hanya diperuntukkan bagi sekretaris syuriah. Sementara itu, dalam tanfidziah digunakan istilah sekretaris.
Khittah : Visi dasar organisasi NU yang dirumuskan pada awal pendiriannya pada tahun 1926. Yakni, sebagai organisasi sosial keagamaan yang berjuang di ranah dakwah, sosial, dan pendidikan. Kata khiththah berasal dari kata ‘khaththa (menggaris).
Lajnah : Panitia, komisi, lembaga, atau komite yang secara struktural bertanggung jawab kepada NU. Berasal dari kata ‘lajanah’ yang berarti mengaduk, merekatkan. Ada beberapa lajnah dalam NU, yaitu: Lajnah Falakiyyah, bertugas menangani hal-hal yang berkaitan dengan bidang ilmu falak (astronomi); Lajnah Bahtsul Masa’il (LBM), bertugas membahas, mengkaji, dan memutuskan berbagai masalah keagamaan, dengan bersandar pada pandangan ulama dan kitab yang mu’tabar; Lajnah At-Ta’lif wan Nasyr, menangani penerbitan karya dan fatwa ulama NU, kegiatan muktamar, dan lain-lain; dan Lajnah Awqaf, yang menangani harta wakaf baik dari anggota maupun simpatisan NU. Selain lajnah, ada juga lembaga, seperti Lakpesdam, LP Ma’arif dan Lesbumi, dan badan otonom, seperti Anshor, Fatayat, Muslimat, IPNU, dan IPPNU, yang secara struktural lebih mandiri.
(Al-)Muhafazhah ‘alal qadimish shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah: Prinsip dasar ulama NU yang bermakna, “Berpegang teguh pada pendapat terdahulu yang baik, seraya mengambil pendapat yang baru yang jauh lebih baik”. Dengan dasar kaidah itu, NU mempertahankan tradisi salafiyyahnya, namun tidak alergi terhadap pendapat dan interpretasi keagamaan modern yang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an, hadits, dan ijma’ ulama salaf.
Mustasyar : Dewan penasihat syuriah yang terdiri atas ulama sepuh NU, seperti K.H M. Zen Syukri, K.H Idris Marzuki Lirboyo, dan Tuan Guru Badruddin Turmudzi. Mustasyar berasal dari kata ‘istasyara’ yang berarti meminta petunjuk.
Qanun Asasi : Garis-garis dasar Ideologi NU yang disusun oleh Hadhratusy Syaikh Hasyim Asy’ ari. Intinya, jam’iyyah NU berpegang kepada madzhab Asy’ariyah (pengikut Syaikh Abul Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ari) dan Maturidiyyah (pengikut Abu Manshur Muhammad bin Muhammad Al-Maturidi) dalam beraqidah; pendapat ulama madzhab Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali dalam berfiqih; dan pendapat Imam Junaid Al-Baghdadi dan Imam Al-Ghazali dalam bertasawuf.
Rais Akbar : Secara bahasa bermakna pemimpin besar, jabatan tertinggi dalam struktur kepengurusan Syuriyyah NU saat pertama kali didirikan. Jabatan ini hanya pernah diduduki oleh Hadhratusy Syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari. Sepeninggal Mbah Hasyim, istilah rais akbar diganti dengan rais ‘am yang berarti ketua umum.
Syuriah : Berasal dari kata ‘syawara’ yang berarti bermusyawarah. Syuriah ialah badan musyawarah pengambil keputusan tertinggi dalam NU, semacam dewan legislatif dalam negara. Syuriah dipimpin oleh seorang rais ‘am.
Tanfidziah : Berasal dari kata ‘naffadza’ yang berarti melaksanakan. Tanfidziah ialah badan pelaksana harian syuriah. Pemimpin tertinggi Tanfidziyyah tidak menggunakan istilah rais ‘am, melainkan ketua umum.
Demikian singkatan dan istilah-istilah di dalam Ormas NU. Semoga ke-NU-an kita makin mantab. [dutaislam.or.id/ed/pin]