Felix Siauw. Foto: Istimewa |
Oleh Sarjoko
Dutaislam.or.id - Saya lupa kapan persisnya, yang jelas saat itu saya masih mondok di Jawa Tengah, ada sebuah pengajian akbar di lapangan desa sebelah. Penceramahnya seorang mualaf. Saya tidak hadir di pengajian itu, tetapi pamfletnya cukup bisa menggambarkan acaranya: kisah mualaf yang menemukan jalan hidayah dan membongkar kesalahan agama sebelumnya. Belakangan saya menemukan banyak video di YouTube si penceramah itu yang isinya lebih pada hujatan agama yang dianutnya sebelum Islam.
Ketika saya di Jogja, fenomena seperti ini kembali muncul. Seorang ustad yang menemukan hidayah di usia muda menjadi idola para pemuda pemudi. Pengajiannya sangat ramai dipadati ikhwan dan akhwat di masjid kampus. Saat itu saya belum mengenal adanya aliran-aliran dalam Islam. Praktis saya mengagumi adanya seorang mualaf yang berdakwah. Dan saya follow akun twitternya.
Berbeda dengan penceramah dahulu, ustad yang followersnya sudah tidak bisa ditampung Monas ini tidak terlalu sering mengolok-olok agamanya yang dahulu. Ia sesekali mengritik orang yang mengucapkan selamat natal, tapi ya cuma itu. Tidak sampai tega menghabisi seperti penceramah sebelumnya yang materinya Zakir Naik banget (padahal Zakir Naik belum ngehits).
Rasa ilfeel saya pada si ustad bermula menjelang pemilu 2014 lalu. Ia yang brilian dalam mengemas agama secara kekini-kinian, komentar banyak soal politik. Ia mendadak menjadi ahli fatwa soal agama. Dan fatwanya yang membuat saya langsung memutus kekaguman adalah dengan mengatakan bahwa sistem demokrasi adalah sistem kufur.
Tentu saja saya nganu. Lha wong para kiai sepuh yang saya hormati, yang karyanya jadi rujukan banyak lembaga di dalam dan luar negeri, yang ahli ushul fikih saja tidak pernah bikin fatwa seperti itu. Lha ini ada ustad, mualaf, karya kitabnya belum terdeteksi, lha kok berani-beraninya berkata demikian. Dari mana istinbath hukumnya?
Perlahan-lahan saya mengenal ada lembaga bernama Hizbut Tahrir yang mengampanyekan sistem khilafah. Beberapa teman saya juga ternyata bergabung dengannya. Pada muktamar khilafah 2015 lalu, saya turut hadir di tengah-tengah belasan ribu manusia yang ternyata banyak yang awalnya diajak pengajian, malah diajak kampanye politik. Dan si ustad dengan terang-terangan menyatakan sebagai bagian dari partai ini.
Yang bikin saya KZL, si ustad memosisikan dirinya seolah apa yang dikatakan sebagai sebuah kebenaran tunggal. Apa yang dikatakan disebutnya sebagai ajaran Islam. Lha saya 7 tahun mondok saja tidak pernah mendengar hal-hal semacam itu. Padahal ya pondok pesantren diakui oleh banyak kalangan sebagai salah satu model pendidikan khas Islam, khususnya di bumi Nusantara.
Saya pun mafhum. Namanya partai politik, apapun bisa dijual, termasuk agama. Untuk menarik perhatian masyarakat awam, apa yang lebih menarik dibandingkan agama? Terbukti, teman-teman saya yang terjaring di situ kebanyakan ya belajar agamanya belum kokoh. Alumni pesantren akan sangat sulit terpengaruh dengan iming-iming agama seperti itu. Lha wong sudah makanannya sehari-hari.
Setelah HTI dibubarkan, sang ustad merapat ke beberapa tokoh Islam.
Ia masih mengisi berbagai forum walau bahasan tentang khilafah tidak begitu dikemukakan. Namun yang membuat banyak kalangan gemas adalah peristiwa belakangan di mana ia mencitrakan dirinya seolah-olah dizalimi saat ingin mengisi pengajian di Pasuruan.
Ceritanya saat itu kalangan Nahdliyin meminta panitia untuk membuat pernyataan bahwa si ustad sudah steril dari aktivitas HTI karena merupakan organisasi terlarang secara hukum. Nahdliyin juga menuntut agar si ustad mengakui NKRI, negara yang ditempatinya. Belum sempat berdialog dengan para penuntut, si ustad sudah kabur. Woalah…
Membicarakan ustad mualaf, hal tersebut bukanlah hal baru. Dulu sekali di zaman Londo, pernah hidup seorang yang sangat fasih berbahasa Arab. Namanya Snouck Hurgronje, seorang orientalis asal Belanda. Dia sangat brilian. Dialah orientalis pertama yang bisa memasuki kota suci Makkah. Jika sudah bisa masuk Makkah, pasti Islam, kan?
Di sana dia belajar ilmu-ilmu keislaman melalui kitab dan para ahli agama. Walau pun konon belajarnya ustad Snouck ini hanya untuk memelajari agama Islam, lalu memecah belah Islam dari dalam. Uniknya, di beberapa kalangan, nama Snouck masih disebut-sebut dalam doa tawasul. Hal ini menandakan totalitas sang Snouck dalam membranding dirinya Islam.
Tapi entah mengapa saya kok lebih respek kepada ustad Snouck. Karena senakal-nakalnya Snouck, dia tidak pernah mengampanyekan khilafah. Wong Nabi saja tidak kenal model khilafahnya HTI. Gitu kok ngaku paling Islam. [dutaislam.or.id/pin]
Keterangan:
Artikel ini dipost pertama kali di islami.co dengan judul “Ustad Muallaf itu dan Kelucuannya”. Diedit seperlunya oleh Redaksi Dutaislam.or.id
Dutaislam.or.id - Saya lupa kapan persisnya, yang jelas saat itu saya masih mondok di Jawa Tengah, ada sebuah pengajian akbar di lapangan desa sebelah. Penceramahnya seorang mualaf. Saya tidak hadir di pengajian itu, tetapi pamfletnya cukup bisa menggambarkan acaranya: kisah mualaf yang menemukan jalan hidayah dan membongkar kesalahan agama sebelumnya. Belakangan saya menemukan banyak video di YouTube si penceramah itu yang isinya lebih pada hujatan agama yang dianutnya sebelum Islam.
Ketika saya di Jogja, fenomena seperti ini kembali muncul. Seorang ustad yang menemukan hidayah di usia muda menjadi idola para pemuda pemudi. Pengajiannya sangat ramai dipadati ikhwan dan akhwat di masjid kampus. Saat itu saya belum mengenal adanya aliran-aliran dalam Islam. Praktis saya mengagumi adanya seorang mualaf yang berdakwah. Dan saya follow akun twitternya.
Berbeda dengan penceramah dahulu, ustad yang followersnya sudah tidak bisa ditampung Monas ini tidak terlalu sering mengolok-olok agamanya yang dahulu. Ia sesekali mengritik orang yang mengucapkan selamat natal, tapi ya cuma itu. Tidak sampai tega menghabisi seperti penceramah sebelumnya yang materinya Zakir Naik banget (padahal Zakir Naik belum ngehits).
Rasa ilfeel saya pada si ustad bermula menjelang pemilu 2014 lalu. Ia yang brilian dalam mengemas agama secara kekini-kinian, komentar banyak soal politik. Ia mendadak menjadi ahli fatwa soal agama. Dan fatwanya yang membuat saya langsung memutus kekaguman adalah dengan mengatakan bahwa sistem demokrasi adalah sistem kufur.
Tentu saja saya nganu. Lha wong para kiai sepuh yang saya hormati, yang karyanya jadi rujukan banyak lembaga di dalam dan luar negeri, yang ahli ushul fikih saja tidak pernah bikin fatwa seperti itu. Lha ini ada ustad, mualaf, karya kitabnya belum terdeteksi, lha kok berani-beraninya berkata demikian. Dari mana istinbath hukumnya?
Perlahan-lahan saya mengenal ada lembaga bernama Hizbut Tahrir yang mengampanyekan sistem khilafah. Beberapa teman saya juga ternyata bergabung dengannya. Pada muktamar khilafah 2015 lalu, saya turut hadir di tengah-tengah belasan ribu manusia yang ternyata banyak yang awalnya diajak pengajian, malah diajak kampanye politik. Dan si ustad dengan terang-terangan menyatakan sebagai bagian dari partai ini.
Yang bikin saya KZL, si ustad memosisikan dirinya seolah apa yang dikatakan sebagai sebuah kebenaran tunggal. Apa yang dikatakan disebutnya sebagai ajaran Islam. Lha saya 7 tahun mondok saja tidak pernah mendengar hal-hal semacam itu. Padahal ya pondok pesantren diakui oleh banyak kalangan sebagai salah satu model pendidikan khas Islam, khususnya di bumi Nusantara.
Saya pun mafhum. Namanya partai politik, apapun bisa dijual, termasuk agama. Untuk menarik perhatian masyarakat awam, apa yang lebih menarik dibandingkan agama? Terbukti, teman-teman saya yang terjaring di situ kebanyakan ya belajar agamanya belum kokoh. Alumni pesantren akan sangat sulit terpengaruh dengan iming-iming agama seperti itu. Lha wong sudah makanannya sehari-hari.
Setelah HTI dibubarkan, sang ustad merapat ke beberapa tokoh Islam.
Ia masih mengisi berbagai forum walau bahasan tentang khilafah tidak begitu dikemukakan. Namun yang membuat banyak kalangan gemas adalah peristiwa belakangan di mana ia mencitrakan dirinya seolah-olah dizalimi saat ingin mengisi pengajian di Pasuruan.
Ceritanya saat itu kalangan Nahdliyin meminta panitia untuk membuat pernyataan bahwa si ustad sudah steril dari aktivitas HTI karena merupakan organisasi terlarang secara hukum. Nahdliyin juga menuntut agar si ustad mengakui NKRI, negara yang ditempatinya. Belum sempat berdialog dengan para penuntut, si ustad sudah kabur. Woalah…
Membicarakan ustad mualaf, hal tersebut bukanlah hal baru. Dulu sekali di zaman Londo, pernah hidup seorang yang sangat fasih berbahasa Arab. Namanya Snouck Hurgronje, seorang orientalis asal Belanda. Dia sangat brilian. Dialah orientalis pertama yang bisa memasuki kota suci Makkah. Jika sudah bisa masuk Makkah, pasti Islam, kan?
Di sana dia belajar ilmu-ilmu keislaman melalui kitab dan para ahli agama. Walau pun konon belajarnya ustad Snouck ini hanya untuk memelajari agama Islam, lalu memecah belah Islam dari dalam. Uniknya, di beberapa kalangan, nama Snouck masih disebut-sebut dalam doa tawasul. Hal ini menandakan totalitas sang Snouck dalam membranding dirinya Islam.
Tapi entah mengapa saya kok lebih respek kepada ustad Snouck. Karena senakal-nakalnya Snouck, dia tidak pernah mengampanyekan khilafah. Wong Nabi saja tidak kenal model khilafahnya HTI. Gitu kok ngaku paling Islam. [dutaislam.or.id/pin]
Sarjoko, Aktivis Gusdurian dan Pegiat di Islami Institute
Keterangan:
Artikel ini dipost pertama kali di islami.co dengan judul “Ustad Muallaf itu dan Kelucuannya”. Diedit seperlunya oleh Redaksi Dutaislam.or.id