Foto: Istimews |
Dutaislam.or.id - Selasa malam di Hotel Sultan, Jakarta, lain dari biasanya. Sungguh istimewa. Malam pada awal November 2007 itu, hampir sebulan setelah Idul Fitri, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama berkumpul untuk bersilaturahmi, untuk bermaaf-maafan. Semua orang bersukacita.
Tapi ada yang lebih istimewa. Di depan para kiai dan pengurus organisasi Islam terbesar di Nusantara ini, juga kader-kader nahdliyin di kabinet dan gedung parlemen, Abdurrahman Wahid dan Ahmad Hasyim Muzadi berbalas lelucon. Gus Dur, sapaan bagi Abdurrahman, memimpin NU dari 1984 hingga 1998, sebelum digantikan oleh Kiai Hasyim.
Gus Dur mendapat giliran pertama naik podium. Presiden ke-4 RI, yang memang punya segudang cerita lucu, itu langsung melempar lelucon. Sebelum datang ke Hotel Sultan, Gus Dur bercerita, dia sempat bertemu dengan Soetardjo Soerjogoeritno, sesepuh PDI Perjuangan. Kepada Soetardjo, dia mengatakan akan datang ke acara halalbihalal NU di Hotel Sultan.
“Dia terheran-heran. ‘Lo, NU kok di hotel,’” Gus Dur mengutip komentar Mbah Tardjo, tokoh senior Partai Banteng itu biasa disapa. Kontan para kiai dan kader nahdliyin terbahak. Setelah tawa hadirin mereda, dia kembali melanjutkan cerita. Kali ini dia mengaku mengutip cerita dari Hasyim Muzadi.
Suatu hari, Gus Dur berkisah, Kiai Hasyim menerima seorang warga di dekat pesantrennya. Orang itu mengaku bingung dengan perbedaan rakaat dalam salat tarawih dan witir di sejumlah masjid. “Kata Kiai Hasyim, yang 23 rakaat boleh, yang 11 rakaat juga boleh. Yang tidak salat tarawih juga boleh,” Gus Dur mengutip Kiai Hasyim. Hadirin kembali tergelak.
Gus Dur itu tidak pernah menyerah. Dia tidak pernah mengeluh terhadap apa pun.”
Kiai Hasyim, yang mendapat giliran bicara berikutnya, segera menanggapi dagelan Gus Dur. “Cerita Gus Dur itu masih kurang. Ada lagi yang berdebat tentang puasa 29 hari atau 30 hari. Saya jawab keduanya boleh. Yang jadi masalah itu kalau geger-gegeran mengenai 29 atau 30 hari tapi dia sendiri nggak puasa,” kata Kiai Hasyim. Pada malam itu, hubungan yang pernah beku seolah-olah telah mencair. Segala silang selisih antara Kiai Hasyim dan Gus Dur seperti tak pernah ada.
Dulu mereka memang berkawan. Ketika Gus Dur duduk di pucuk pimpinan NU, Kiai Hasyim merupakan Ketua Pengurus Wilayah NU Jawa Timur, basis utama nahdliyin. Pada 1997 hingga pertengahan 1998, kala NU digoyang “Operasi Naga Hijau”, Gus Dur dan Kiai Hasyim satu suara. Dua kantong massa NU, Situbondo di Jawa Timur dan Tasikmalaya di Jawa Barat, digoyang kerusuhan.
Beberapa bulan kemudian, giliran Banyuwangi di ujung tenggara Jawa Timur membara gara-gara isu dukun santet. Ratusan orang yang dituduh dukun santet mati dibunuh orang-orang tak dikenal. Masalahnya, tak sedikit guru ngaji NU yang terserempet tudingan menjadi dukun santet ikut dibunuh orang-orang tak dikenal itu. Dari Banyuwangi, isu dukun santet ini merembet sampai ke Jember, Situbondo, Pasuruan, bahkan menyeberang ke Pulau Madura. Semua daerah itu adalah kantong warga nahdliyin.
Gus Dur dan Kiai Hasyim satu suara bahwa ada tangan-tangan penguasa yang menggerakkan “Naga Hijau” untuk menggoyang NU. Saat itu, hubungan Gus Dur dengan Istana di Jalan Medan Merdeka Utara dan Cendana memang jauh dari hangat. Bahkan kabarnya ada upaya terang-terangan Jakarta untuk mendongkel Gus Dur dari pimpinan NU lewat Muktamar di Cipasung, Tasikmalaya, pada 1994. Gus Dur “selamat”, bahkan menjadi Presiden RI, lima tahun kemudian.
Tapi umur Gus Dur di Istana hanya bertahan 21 bulan. Gus Dur dipaksa mundur lewat Sidang Istimewa MPR lantaran kasus Bulog dan dana hibah dari Sultan Brunei. Pekan-pekan menjelang lengsernya Gus Dur, suhu politik membubung tinggi. Massa NU di Jawa Timur mengancam, jika Gus Dur diturunkan, mereka akan menyerbu Jakarta. Sejumlah kantor Golkar di Jawa Timur gosong dibakar. Pohon-pohon ditebang dan dipasang melintang di jalan raya sepanjang Pasuruan hingga Banyuwangi.
“Jika Gus Dur disingkirkan secara konstitusional, saya kira tak akan ada perlawanan dari akar rumput…. Tapi kiai-kiai NU merasa Gus Dur sedang dipaksa turun dengan cara-cara yang tak adil. Karena itu, para kiai berpendapat mereka harus membela Presiden,” kata Kiai Hasyim, Ketua PBNU kala itu, dikutip Greg Barton dalam bukunya, Biografi Gus Dur.
Partai yang didirikan Gus Dur, Partai Kebangkitan Bangsa, bersama NU dan organisasi-organisasi di bawahnya bahu-membahu mencoba menghadang manuver Poros Tengah, koalisi partai yang digalang Amien Rais dan teman-temannya. Tapi kali ini, tak seperti di Cipasung tujuh tahun sebelumnya, mereka gagal “menyelamatkan” posisi Gus Dur. Pada 23 Juli 2001, Sidang Istimewa MPR memutuskan memakzulkan Gus Dur dan menggantinya dengan Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri.
* * *
Tak ada lawan yang abadi, demikian pula kawan. Tak lama setelah tergusur dari Istana, hubungan Gus Dur dengan Kiai Hasyim mulai menunjukkan gejala keretakan.
Pada awal 2002, Gus Dur menggulirkan isu Muktamar Luar Biasa NU. Tentu saja yang jadi sasaran tembak adalah Kiai Hasyim. Para kiai, kata Gus Dur dikutip Liputan6, tak puas terhadap kinerja Pengurus Besar NU yang dipimpin Hasyim. Dia menunjuk tiga ulama, Kiai Muhaiminan Gunardho dari Parakan, Kiai Abdurrahman Chudlori dari Magelang, dan Kiai Mas Subadar dari Pasuruan, yang mengaku kecewa terhadap Kiai Hasyim.
Hubungan Gus Dur dengan Kiai Hasyim makin panas setelah, dalam Musyawarah Kerja Nasional 2003 PKB, nama Hasyim juga disebut-sebut sebagai salah satu calon presiden yang akan diusung partai itu. Kiai Hasyim menanggapi dingin manuver Gus Dur. Menurut Hasyim, permintaan muktamar luar biasa harus memiliki alasan yang jelas dan disetujui oleh Dewan Syuriah NU.
Tanpa restu Dewan Syuriah, usul muktamar yang dipercepat ini tak bisa dilaksanakan. “Jadi buat apa dipermasalahkan,” kata Kiai Hasyim, kala itu, kepada Suara Merdeka. Dia berusaha meredam kabar perseteruan dengan Gus Dur. Hasyim juga tak yakin PKB berniat serius menyokongnya menjadi calon presiden. "Bila sekarang ada kesan saya berseteru, itu hanya kesan. Yang jelas, posisi saya berbeda dari beliau. Saya memimpin ormas NU, dan Gus Dur memimpin partai.”
Makin dekat dengan pemilihan presiden 2004, simpang jalan Gus Dur dan Kiai Hasyim makin terang. PKB jalan terus dengan Gus Dur sebagai calon Presiden RI. Kiai Hasyim belakangan dipinang Megawati menjadi pendampingnya lewat PDI Perjuangan. Pak Hasyim akan maju tanpa restu Gus Dur dan tanpa PKB. Dia sangat yakin “mesin” NU akan bekerja penuh menyokong Hasyim.
Lantaran faktor kesehatan, Gus Dur gagal ikut dalam pemilihan presiden 2004. Tapi Hasyim juga bukan satu-satunya warga nahdliyin yang berlaga. Adik Gus Dur, Salahuddin Wahid, ikut bertarung mendampingi calon presiden yang disokong Golkar, Wiranto. Keduanya sama-sama gagal menghadang laju pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla.
Pemilihan presiden usai, namun hubungan Gus Dur dan Kiai Hasyim tak lantas rekat kembali. Gus Dur berniat maju dalam Muktamar NU pada November 2004 di Boyolali, Jawa Tengah, melawan Hasyim memperebutkan kursi pimpinan PBNU. Menurut Gus Dur, Hasyim sudah terlibat politik praktis sehingga harus mundur dari NU.
Disokong oleh kiai-kiai sepuh NU, seperti Kiai Abdullah Abbas dan Kiai Muhaiminan, Gus Dur berusaha menghadang Hasyim. Suhu di arena Muktamar NU di Asrama Haji Donohudan, Boyolali, mendidih. Tapi suara warga nahdliyin ternyata condong kepada Kiai Hasyim. Hasyim Muzadi terpilih kembali memimpin PBNU. Para kiai sepuh NU dan Gus Dur sempat mengancam akan keluar dari NU dan membuat organisasi tandingan. Untunglah, ancaman itu tak pernah jadi kenyataan.
Kendati tak jarang saling kritik, seperti saat halalbihalal di Hotel Sultan itu, hubungan Gus Dur dan Kiai Hasyim seperti tak ada soal. Ketika Gus Dur menikahkan putrinya, Anita Hayatunnufus Rahman, sepuluh tahun lalu, orang-orang yang sering dia kritik malah jadi saksi. Presiden Yudhoyono duduk di kursi saksi utama, sementara mantan lawan-lawan politiknya, seperti Kiai Hasyim dan Akbar Tandjung, turut menjadi saksi akad nikah di rumah Gus Dur di Ciganjur, Jakarta Selatan.
Demikian pula saat Gus Dur sakit, Kiai Hasyim tetap datang membesuk. “Gus Dur itu tidak pernah menyerah. Dia tidak pernah mengeluh terhadap apa pun, termasuk terhadap sakit yang menderanya. Dia selalu menanggung semuanya sendiri,” kata Kiai Hasyim. Sekarang dua kawan yang pernah jadi lawan itu sama-sama telah tiada. Alfatihah. [dutaislam.or.id/pin]
Keterangan
Diolah dari detik.com
Tapi ada yang lebih istimewa. Di depan para kiai dan pengurus organisasi Islam terbesar di Nusantara ini, juga kader-kader nahdliyin di kabinet dan gedung parlemen, Abdurrahman Wahid dan Ahmad Hasyim Muzadi berbalas lelucon. Gus Dur, sapaan bagi Abdurrahman, memimpin NU dari 1984 hingga 1998, sebelum digantikan oleh Kiai Hasyim.
Gus Dur mendapat giliran pertama naik podium. Presiden ke-4 RI, yang memang punya segudang cerita lucu, itu langsung melempar lelucon. Sebelum datang ke Hotel Sultan, Gus Dur bercerita, dia sempat bertemu dengan Soetardjo Soerjogoeritno, sesepuh PDI Perjuangan. Kepada Soetardjo, dia mengatakan akan datang ke acara halalbihalal NU di Hotel Sultan.
“Dia terheran-heran. ‘Lo, NU kok di hotel,’” Gus Dur mengutip komentar Mbah Tardjo, tokoh senior Partai Banteng itu biasa disapa. Kontan para kiai dan kader nahdliyin terbahak. Setelah tawa hadirin mereda, dia kembali melanjutkan cerita. Kali ini dia mengaku mengutip cerita dari Hasyim Muzadi.
Suatu hari, Gus Dur berkisah, Kiai Hasyim menerima seorang warga di dekat pesantrennya. Orang itu mengaku bingung dengan perbedaan rakaat dalam salat tarawih dan witir di sejumlah masjid. “Kata Kiai Hasyim, yang 23 rakaat boleh, yang 11 rakaat juga boleh. Yang tidak salat tarawih juga boleh,” Gus Dur mengutip Kiai Hasyim. Hadirin kembali tergelak.
Gus Dur itu tidak pernah menyerah. Dia tidak pernah mengeluh terhadap apa pun.”
Kiai Hasyim, yang mendapat giliran bicara berikutnya, segera menanggapi dagelan Gus Dur. “Cerita Gus Dur itu masih kurang. Ada lagi yang berdebat tentang puasa 29 hari atau 30 hari. Saya jawab keduanya boleh. Yang jadi masalah itu kalau geger-gegeran mengenai 29 atau 30 hari tapi dia sendiri nggak puasa,” kata Kiai Hasyim. Pada malam itu, hubungan yang pernah beku seolah-olah telah mencair. Segala silang selisih antara Kiai Hasyim dan Gus Dur seperti tak pernah ada.
Dulu mereka memang berkawan. Ketika Gus Dur duduk di pucuk pimpinan NU, Kiai Hasyim merupakan Ketua Pengurus Wilayah NU Jawa Timur, basis utama nahdliyin. Pada 1997 hingga pertengahan 1998, kala NU digoyang “Operasi Naga Hijau”, Gus Dur dan Kiai Hasyim satu suara. Dua kantong massa NU, Situbondo di Jawa Timur dan Tasikmalaya di Jawa Barat, digoyang kerusuhan.
Beberapa bulan kemudian, giliran Banyuwangi di ujung tenggara Jawa Timur membara gara-gara isu dukun santet. Ratusan orang yang dituduh dukun santet mati dibunuh orang-orang tak dikenal. Masalahnya, tak sedikit guru ngaji NU yang terserempet tudingan menjadi dukun santet ikut dibunuh orang-orang tak dikenal itu. Dari Banyuwangi, isu dukun santet ini merembet sampai ke Jember, Situbondo, Pasuruan, bahkan menyeberang ke Pulau Madura. Semua daerah itu adalah kantong warga nahdliyin.
Gus Dur dan Kiai Hasyim satu suara bahwa ada tangan-tangan penguasa yang menggerakkan “Naga Hijau” untuk menggoyang NU. Saat itu, hubungan Gus Dur dengan Istana di Jalan Medan Merdeka Utara dan Cendana memang jauh dari hangat. Bahkan kabarnya ada upaya terang-terangan Jakarta untuk mendongkel Gus Dur dari pimpinan NU lewat Muktamar di Cipasung, Tasikmalaya, pada 1994. Gus Dur “selamat”, bahkan menjadi Presiden RI, lima tahun kemudian.
Tapi umur Gus Dur di Istana hanya bertahan 21 bulan. Gus Dur dipaksa mundur lewat Sidang Istimewa MPR lantaran kasus Bulog dan dana hibah dari Sultan Brunei. Pekan-pekan menjelang lengsernya Gus Dur, suhu politik membubung tinggi. Massa NU di Jawa Timur mengancam, jika Gus Dur diturunkan, mereka akan menyerbu Jakarta. Sejumlah kantor Golkar di Jawa Timur gosong dibakar. Pohon-pohon ditebang dan dipasang melintang di jalan raya sepanjang Pasuruan hingga Banyuwangi.
“Jika Gus Dur disingkirkan secara konstitusional, saya kira tak akan ada perlawanan dari akar rumput…. Tapi kiai-kiai NU merasa Gus Dur sedang dipaksa turun dengan cara-cara yang tak adil. Karena itu, para kiai berpendapat mereka harus membela Presiden,” kata Kiai Hasyim, Ketua PBNU kala itu, dikutip Greg Barton dalam bukunya, Biografi Gus Dur.
Partai yang didirikan Gus Dur, Partai Kebangkitan Bangsa, bersama NU dan organisasi-organisasi di bawahnya bahu-membahu mencoba menghadang manuver Poros Tengah, koalisi partai yang digalang Amien Rais dan teman-temannya. Tapi kali ini, tak seperti di Cipasung tujuh tahun sebelumnya, mereka gagal “menyelamatkan” posisi Gus Dur. Pada 23 Juli 2001, Sidang Istimewa MPR memutuskan memakzulkan Gus Dur dan menggantinya dengan Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri.
* * *
Tak ada lawan yang abadi, demikian pula kawan. Tak lama setelah tergusur dari Istana, hubungan Gus Dur dengan Kiai Hasyim mulai menunjukkan gejala keretakan.
Pada awal 2002, Gus Dur menggulirkan isu Muktamar Luar Biasa NU. Tentu saja yang jadi sasaran tembak adalah Kiai Hasyim. Para kiai, kata Gus Dur dikutip Liputan6, tak puas terhadap kinerja Pengurus Besar NU yang dipimpin Hasyim. Dia menunjuk tiga ulama, Kiai Muhaiminan Gunardho dari Parakan, Kiai Abdurrahman Chudlori dari Magelang, dan Kiai Mas Subadar dari Pasuruan, yang mengaku kecewa terhadap Kiai Hasyim.
Hubungan Gus Dur dengan Kiai Hasyim makin panas setelah, dalam Musyawarah Kerja Nasional 2003 PKB, nama Hasyim juga disebut-sebut sebagai salah satu calon presiden yang akan diusung partai itu. Kiai Hasyim menanggapi dingin manuver Gus Dur. Menurut Hasyim, permintaan muktamar luar biasa harus memiliki alasan yang jelas dan disetujui oleh Dewan Syuriah NU.
Tanpa restu Dewan Syuriah, usul muktamar yang dipercepat ini tak bisa dilaksanakan. “Jadi buat apa dipermasalahkan,” kata Kiai Hasyim, kala itu, kepada Suara Merdeka. Dia berusaha meredam kabar perseteruan dengan Gus Dur. Hasyim juga tak yakin PKB berniat serius menyokongnya menjadi calon presiden. "Bila sekarang ada kesan saya berseteru, itu hanya kesan. Yang jelas, posisi saya berbeda dari beliau. Saya memimpin ormas NU, dan Gus Dur memimpin partai.”
Makin dekat dengan pemilihan presiden 2004, simpang jalan Gus Dur dan Kiai Hasyim makin terang. PKB jalan terus dengan Gus Dur sebagai calon Presiden RI. Kiai Hasyim belakangan dipinang Megawati menjadi pendampingnya lewat PDI Perjuangan. Pak Hasyim akan maju tanpa restu Gus Dur dan tanpa PKB. Dia sangat yakin “mesin” NU akan bekerja penuh menyokong Hasyim.
Lantaran faktor kesehatan, Gus Dur gagal ikut dalam pemilihan presiden 2004. Tapi Hasyim juga bukan satu-satunya warga nahdliyin yang berlaga. Adik Gus Dur, Salahuddin Wahid, ikut bertarung mendampingi calon presiden yang disokong Golkar, Wiranto. Keduanya sama-sama gagal menghadang laju pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla.
Pemilihan presiden usai, namun hubungan Gus Dur dan Kiai Hasyim tak lantas rekat kembali. Gus Dur berniat maju dalam Muktamar NU pada November 2004 di Boyolali, Jawa Tengah, melawan Hasyim memperebutkan kursi pimpinan PBNU. Menurut Gus Dur, Hasyim sudah terlibat politik praktis sehingga harus mundur dari NU.
Disokong oleh kiai-kiai sepuh NU, seperti Kiai Abdullah Abbas dan Kiai Muhaiminan, Gus Dur berusaha menghadang Hasyim. Suhu di arena Muktamar NU di Asrama Haji Donohudan, Boyolali, mendidih. Tapi suara warga nahdliyin ternyata condong kepada Kiai Hasyim. Hasyim Muzadi terpilih kembali memimpin PBNU. Para kiai sepuh NU dan Gus Dur sempat mengancam akan keluar dari NU dan membuat organisasi tandingan. Untunglah, ancaman itu tak pernah jadi kenyataan.
Kendati tak jarang saling kritik, seperti saat halalbihalal di Hotel Sultan itu, hubungan Gus Dur dan Kiai Hasyim seperti tak ada soal. Ketika Gus Dur menikahkan putrinya, Anita Hayatunnufus Rahman, sepuluh tahun lalu, orang-orang yang sering dia kritik malah jadi saksi. Presiden Yudhoyono duduk di kursi saksi utama, sementara mantan lawan-lawan politiknya, seperti Kiai Hasyim dan Akbar Tandjung, turut menjadi saksi akad nikah di rumah Gus Dur di Ciganjur, Jakarta Selatan.
Demikian pula saat Gus Dur sakit, Kiai Hasyim tetap datang membesuk. “Gus Dur itu tidak pernah menyerah. Dia tidak pernah mengeluh terhadap apa pun, termasuk terhadap sakit yang menderanya. Dia selalu menanggung semuanya sendiri,” kata Kiai Hasyim. Sekarang dua kawan yang pernah jadi lawan itu sama-sama telah tiada. Alfatihah. [dutaislam.or.id/pin]
Keterangan
Diolah dari detik.com