Iklan

Iklan

,

Iklan

Hukum Jual Beli Tanpa Akad (Muathah) dan Dasar Hukumnya

10 Apr 2018, 18:59 WIB Ter-Updated 2024-08-08T18:40:48Z
Download Ngaji Gus Baha
hukum jual beli tanpa akad
Hukum jual beli tanpa akad

Oleh Agus Salim Irsyadullah

Hukum jual beli tanpa akad sudah menjadi transaksi lazim dalam bisnis online dan bisnis berbasis digital lainnya. Jual beli urban (ala kota) ini disebut dengan jual beli muathah dalam fiqih. Apa dasar hukum jual beli muathah dan bagaimana hukumnya? Simak.

Dutaislam.or.id - Jual beli merupakan proses pemindahan hak milik/barang atau harta kepada pihak lain dengan menggunakan uang sebagai alat tukarnya. Secara bahasa, jual beli adalah pertukaran sesuatu dengan sesuatu (yang lain). Kata lain dari jual beli adalah al-ba’i, asy-syira’, al-mubadah dan at-tijarah. Jual beli dikatakan sah apabila dari kedua belah pihak telah mengadakan suatu aqad.

Namun, berkembangnya teknologi membuat dunia perdagangan semakin mengalami corak tersendiri hingga kepada hal-hal yang praktis. Teknis pelaksanaannya tidak lagi menggunakan “ijab dan qabul”, bahkan ada yang menggunakan sistem komputer dan internet, walaupun masih terdapat sebagian masyarakat yang menggunakan cara tradisional dengan ijab qabul. Jual beli yang tidak menggunakan ijab qabul dalam istilah fiqh dinamakan “jual beli mu’athah”.

Kegiatan seperti ini sering terjadi di supermarket dan pasar swalayan yang tidak ada proses tawar menawar di dalamnya. Dalam hal ini, pihak pembeli telah mengetahui harga barang yang secara tertulis dicantumkan pada barang tersebut dan kemudian si pembeli datang ke meja kasir dengan menunjukkan bahwa di antara mereka akan melakukan transaksi jual beli.

Pengertian Jual Beli
Jual beli atau dalam bahasa Arab al-bai’ menurut etimologi adalah:
مقا بلة شيء بشيء

Artinya:
“Tukar-menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain”. 

Sedangkan menurut terminologi, jual beli adalah menerima uang dari hasil penjualan suatu barang berdasarkan syara’, atau hanya menerima manfaat yang diperkenankan syara’ dengan melalui pembayaran yang berupa uang. Dalam pengertian istilah syara’, terdapat beberapa definisi yang dikemukakan oleh ulama madzhab.

Hanafiah: arti khusus jual beli adalah menukar benda dengan dua mata uang (emas dan perak) dan semacamnya, atau tukar menukar barang dengan uang atau semacamnya menurut cara yang khusus. Sementara, arti umumnya adalah: tukar menukar dengan harta menurut cara yang khusus, harta mencakup zat (barang) atau uang.

Malikiyah: secara umum menurut ulama Malikiyah, jual beli adalah akad mu’awadhah (timbal balik) atas selain manfaat dan bukan pula untuk menikmati kesenangan. Dan arti khususunya jual beli adalah akad mu’awadhah atas selain manfaat dan bukan pula untuk menikmati kesenangan, bersifat mengalahkan salah satu imbalannya, bukan emas dan bukan perak, objeknya jelas dan bukan utang.

Syafi’iyah: suatu hal yang mengandung tukar-menukar harta dengan harta dengan syarat yang akan diuraikan nanti untuk memperoleh kepemilikan atas benda atau manfaat untuk waktu selamanya.

Hanabilah: tukar-menukar harta dengan harta, atau tukar-menukar manfaat yang mubah dengan manfaat yang mubah untuk waktu selamanya, bukan riba dan bukan utang .

Dasar Hukum Jual Beli
Islam memandang jual beli sebagai sarana saling tolong sesama manusia. Mereka yang melakukan transaksi jual beli tidak hanya dilihat sebagai orang yang sedang mencari keuntungan semata, akan tetapi disebut pula sebagai orang yang membantu saudaranya.

Bagi penjual, ia sedang memenuhi kebutuhan yang dibutuhkan pembeli. Sedangkan bagi pembeli, ia sedang memenuhi kebutuhan akan keuntungan yang sedang dicari oleh penjual. Atas dasar inilah aktivitas jual beli merupakan aktivitas mulia, dan Islam memperkenankannya.

Sebagaimana telah disebutkan dalam firman Allah dalam suratAl-Baqarah ayat 275:

وأحل الله البيع وحرم الربا

Artinya:
“…padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”

Adapun landasan hukum jual beli yang berasal dari hadits Rasulullah adalah sebagai berikut:

أنما البيع عن تراض

Artinya:
“Sesungguhnya sahnya jual beli atas dasar kerelaan”

Para ulama telah sepakat mengenai kebolehan akad jual beli. Dengan disyariatkannya jual beli tersebut merupakan salah satu cara untuk merealisasikan keinginan dan kebutuhan manusia, karena pada dasarnya manusia tidak akan dapat hidup sendiri tanpa berhubungan dan bantuan orang lain.

Hukum asal dari akad bai’ adalah boleh, namun dalam kondisi tertentu bai’ bisa menjadi wajib. Bai’ juga bisa dihukumi sunnah, seperti orang yang bersumpah untuk menjual barangnya kepada orang lain, maka sunnah baginya untuk menepati sumpahnya dengan cara melakukan akad bai’. Bai’ yang dimakruhkan adalah menjual barang yang makruh untuk dijual, dan bai’ bisa juga haram, seperti menjual barang yang haram untuk dijual .

Rukun Jual Beli
Di kalangan fuqaha, terdapat perbedaan mengenai rukun jual beli. Menurut fuqaha kalangan Hanafiyah, rukun jual beli adalah ijab qabul. Sedangkan menurut jumhur ulama, rukun jual beli terdiri dari aqad (ijab qabul), ‘aqid (penjual dan pembeli), dan ma’qud alaih (objek akad).

Akad (Ijab Qabul)
Ijab adalah pernyataan yang disampaikan pertama oleh pihak yang menunjukkan kerelaan, baik dinyatakan oleh si penjual maupun si pembeli. Adapun qabul adalah pernyataan yang disebutkan kedua dari pembicaraan salah satu pihak yang melakukan akad .

Menurut jumhur ulama, penentuan ijab qabul bukan dilihat dari siapa yang lebih dahulu menyatakan, melainkan dari siapa yang memiliki dan siapa yamg akan memiliki. Dalam konteks jual beli, yang memiliki barang adalah penjual, sedangkan yang akan memilikinya adalah pembeli.

Dengan demikian pernyataan yang dikeluarkan oleh penjual adalah ijab meskipun datangnya belakangan, sedangkan pernyataan yang dikeluarkan oleh pembeli adalah qabul meskipun dinyatakan pertama kali.

Aaqid (Penjual dan Pembeli)
Rukun jual beli yang kedua adalah ‘aqid atau orang yang melakukan akad, yaitu penjual dan pembeli. Adapun keduanya harus mempunyai syarat-syarat:
  1. Berakal
  2. Dengan kehendaknya sendiri (bukan dipaksa)
  3. Keduanya tidak mubadzir (pemboros)
  4. Baligh (sampai berumur 15 tahun)
  5. Ma’qud alaih

Ma’qud alaih atau objek akad jual beli adalah barang yang akan dijual. Adapun keduanya harus memenuhi syarat-syarat:
  1. Suci
  2. Ada manfaatnya
  3. Keadaan barang itu dapat diterima serahkan
  4. Keadaan barang kepunyaan yang menjual atau kepunyaan yang diwakilinya atau yang menguasakan.

Syarat-Syarat Jual Beli
Ada empat syarat yang harus dipenuhi dalam akad jual beli, yaitu:

Syarat in’iqad (terjadinya akad)
Syarat in’iqad syarat harus terpenuhi agar akad jual beli dipandang sah menurut syara’. Apabila syarat ini tidak dipenuhi, maka akad jual beli menjadi batal. Di kalangan ulama tidak ada kesepakatan mengenai in’iqad ini. Hanifah mengemukakan empat macam syarat untuk keabsahan jual beli:

Syarat berkaitan dengan ‘aqid (orang yang melakukan akad)
Seorang ‘Aqid haruslah berakal yakni mumayyiz(mulai umur 7 th). Maka tidak sah akad yang dilakukan oleh orang gila dan anak yang belum berakal. Seorang ‘aqid juga harus berbilang (tidak sendirian). Dengan demikian, akad yang dilakukan oleh satu orang yang mewakili dua pihak hukumnya tidak sah, kecuali apabila dilakukan oleh ayah yang memberi barang dari anaknya yang masih di bawah umur dengan harga pasaran.

Syarat berkaitan dengan akad itu sendiri
Syarat akad yang sangat penting adalah bahwa qabul harus sesuai dengan ijab, dalam arti pembeli menerim apa yang di-ijab-kan oleh penjual. Apabila terjadi perbedaan antara qabul dan ijab, misalnya pembeli menerima barang yang tidak sesuai dengan yang dinyatakan oleh penjual, maka akad ini tidak sah.

Syarat berkaitan dengan tempat akad
Syarat yang berkaitan dengan tempat akad adalah ijab dan qabul harus  terjadi dalam satu majelis. Apabila ijab dan qabul berbeda majelisnya, maka aqad jual beli tidak sah.

Syarat berkaitan dengan objek akad (ma’qud ‘alaih)
  • Barang yang dijual harus maujud (ada).
  • Barang yang dijual harus mal mutaqawwim.
  • Barang yang dijual harus barang yang sudah dimiliki.
  • Barang yang dijual harus bisa diserahkan pada saat dilakukannya akad jual beli.

Syarat sahnya akad jual beli
Syarat umum, harus terhindar dari 6 perkara :
  1. Ketidakjelasan (jalalah)
  2. Pemaksaan (al-ikrah)
  3. Pembatasan dengan waktu (at-tauqit)
  4. Penipuan (gharar)
  5. Kemudharatan (dharar)

Syarat khusus:
  1. Barang harus diterima
  2. Mengetahui harga pertama apabila jual belinya berbentuk murabahah, tauliyah, wadhi’ah, atau isyrak.
  3. Saling menerima (taqabudh) penukaran, sebelum berpisah, apabila jual belinya jual beli sharf (uang).
  4. Dipenuhinya syarat-syarat salam apabila jual belinya salam (pesanan).
  5. Harus sama dalam penukaran apabila barangnya ribawi
  6. Harus diterima dalam utang piutang yang ada dalam perjanjian.

Syarat kelangsungan jual beli (syarat nafadz)
a. Adanya kepemilikan atau kekuasaan
b. Pada benda yang dijual (mabi’) tidak terdapat hak orang lain

Syarat mengikatnya jual beli (syarat luzum
a. Jual beli harus ada manfaat dan faedahnya bagi kedua belah pihak .
b. Penjual dan pembeli harus orang yang memiliki kebebasan (mukhtar) .
c. Tidak ada paksan tanpa hak .
d. objek akad harus diketahui oleh penjual dan pembeli.

Hukum Jual Beli Mu’athah

Jual beli mu’athah adalah kesepakatan kedua belah pihak atas harga (tsaman) dan barang yang dijual (mutsaman), dan keduanya saling memberi tanpa ijab qabul, dan kadang-kadang ada lafadz (perkataan) dari salah satu pihak.

Namun para fuqaha berbeda pendapat mengenai keabsahan jual beli mu’athah. Berikut adalah beberapa pendapat para fuqaha mengenai jual beli mu’athah:

Menurut Hanafiah, Malikiyah, dan Hanabilah dalam qaul yang paling rajah, hukum jual beli mu’athah adalah sah apabila sudah menjadi adat kebiasaan yang menunjukkan kepada kerelaan, dan perbuatan tersebut menggambarkan kesempurnaan kehendak dan keinginan masing-masing pihak.

Menurut Syafi’iyah, semua akad termasuk jual beli harus menggunakan lafadz yang sharih atau kinayah, dengan ijab qabul. Oleh karena itu, jual beli mu’athah hukumnya tidak sah, baik barang yang dijual berharga mahal atau murah. Alasannya adalah bahwa unsur utama dalam jual beli adalah kerelaan kedua belah pihak.

Unsur kerelaan berada dan tersembunyi di dalam hati. Oleh karena itu, kerelaan perlu diungkapkan dengan ijab dan qabul. Apalagi persengketaan jual beli bisa berlanjut ke pengadilan.

Hal ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Abi Sa’id Al-Khudri bahwa Rasulullah bersabda:

انما البيع عن تراض

Artinya:
“Sesungguhnya jual beli itu harus atas dasar suka sama suka”

Akan tetapi, beberapa ulama Syafi’iyyah seperti An-Nawawi dan Al-Mutawalli membolehkan jual beli mu’athah di dalam setiap sesuatu yang dianggap sebagai jual beli. Sebagian dari ulama Syafi’iyyah seperti Ibnu Suraij dan Imam Ar-ruyani membolehkan jual beli mu’athah khusus dalam barang-barang yang murah, seperti roti, sayuran, dan lain-lain.

Imam Hanafi mengatakan hal serupa dalam suatu riwayatnya dengan mensyaratkan ijab dan kabul untuk jual beli barang yang besar, sedangkan barang kecil-kecilan tidak diperlukan.

Jual Beli Muathah Sekarang

Dengan berkembangnya teknologi, dunia perdagangan semakin mengalami corak-corak tersendiri, hingga kepada hal yang semakin praktis. Teknis pelaksanaannya tidak lagi menggunakan “ijab dan qabul”.

Dan yang tidak menggunakan ijab qabul inilah dalam bahasa fiqh yang disebut “jual beli mu’athah” (saling memberi dan menerima), karena adanya perbuatan dari pihak-pihak yang telah saling memahami perbuatan transaksi tersebut dengan segala akibat hukumnya.

Kegiatan seperti ini sering terjadi di supermarket-supermarket, swalayan-swalayan dan barang-barang kecil yang tidak ada proses tawar menawar di dalamnya. Barang kecil yang dimaksud adalah seperti menjual dan membeli sepotong roti atau sejenisnya sebagai makanan ringan.

Berdasarkan pemaparan masalah tersebut, jual beli swalayan dilakukan melalui transaksi perbuatan. Hal ini dapat disebut dengan ta’ati atau mu’athah. Pihak pembeli telah mengetahui harga barang yang secara tertulis dicantumkan pada barang tersebut. Pada saat pembeli datang ke meja kasir menunjukkan bahwa di antara mereka akan melakukan transaksi jual beli. Maka dari itu hukum jual beli di supermarket adalah sah.

Adapun pengertian akad adalah:

الربط وهو جمع الطرفي حبلين ويشد أحدهما بالآخر حتى يتصلا فيصبحا كقطعة واحدة

Artinya:
“Ikatan, yakni mengumpulkan dua tepi dan mengikat salah satunya dengan lainnya hingga tergabung dan menjadilah ia seperti sepotong benda”.

Sedangkan akad mu’athah adalah:

المعا طة هي الأحذ والاءعطاء  بدون الكلا م

Artinya:
“Al-mu’athah adalah (suatu akad jual beli dengan cara) mengambil dan memberikan sesuatu tanpa harus berbicara”.

Dari pengertian di atas, dapat kita ketahui bahwa jual beli mu’athah adalah jual beli dengan cara memberikan barang dan menerima pembayaran tanpa ijab dan kabul oleh pihak penjual dan pembeli, sebagaimana yang berlaku dalam masyarakat sekarang, dimana transaksi dilakukan dengan cara yang dapat memudahkan kedua belah pihak.

Hal ini dikarenakan hukum Islam pada dasarnya membolehkan segala praktik bisnis yang dapat memberikan manfaat, tiga prinsip dasarnya:

الاصل فى الأشياء الإبحة حتي يدل دليل على تحر يمها

Kaidah hukum islam yang berbunyi “dasar pada setiap sesuatu pekerjaan adalah boleh sampai ada dalil yang mengharamkannya”.

Hadits Rasulullah Saw. yang berbunyi "kaum muslimin bertransaksi sesuai dengan syarat-syaratnya selama tidak dihalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal".

Kaidah hukum Islam yang menyatakan bahwa:
العادة محكمة
Artinya:
“Kebiasaan adalah bagian dari hukum”.

Kesimpulan seperti ini juga sesuai esensi dengan esensi dari akad itu sendiri yang sesungguhnya bukanlah pada bentuk lafadz atau perkataan dari ijab dan kabul, akan tetapi lebih pada maksud dari transaksi itu sendiri. Hal ini sesuai dengan isi ungkapan kaidah fiqh yang berbunyi “yang dianggap di dalam akad adalah maksud-maksud dan makna-makna, bukan lafazh-lafazh dan bentuk-bentuk perkataan”.

Akad dalam jual beli mu’athah tidak disebutkan shighatnya karena akad jenis ini dibuat oleh manusia sesuai dengan kebutuhan. Akan tetapi hal tersebut ditentang oleh ulama Syafi’iyyah yang mengutarakan bahwa segala bentuk jual beli haruslah menggunakan shighat, baik itu jual beli (yang halal) dengan harga murah ataupun mahal.

Menurut Imam Syafi’i, mu'athah tidak sah bila disamakan dengan jual beli. Beliau mendasarkan dalil pada hadits Rasulullah yang berbunyi “Sesungguhnya jual beli itu harus atas dasar suka sama suka”, sebagaimana sudah ditulis di atas.

Kalau menurut ulama Syafi’iyyah, semua kegiatan jual beli (yang halal) haruslah menggunakan shighat, entah itu murah atau mahal, lantas berapakah ukuran mahal atau murahnya? Apakah berada di kisaran ratusan ribu, jutaan atau bahkan milyaran?

Sayangnya, kita juga tidak bisa memutuskan apakah angka ratusan itu mahal atau murah, sebab bila dilihat dari kacamata kalangan mereka yang kurang mampu, angka ratusan bagi mereka adalah mahal. Akan tetapi, dari kaum elit belum tentu angka ratusan dianggap mahal oleh mereka.

Dalam hal ini, ulama Hanafiyah sangat cocok dengan transaksi online, dimana mereka mengatakan bahwa terlaksananya ijab kabul itu tidak harus diekspresikan lewat ucapan (perkataan) tertentu, sebab ukuran ijab kabul itu adalah unsur kerelaan oleh kedua belah pihak yang melakukan transaksi dan adanya tindakan.

Imam Nawawi, Mutawali, Baghawi dan beberapa ulama lainnya berpendapat bahwa lafadz itu tidak menjadi rukun dalam jual beli, hanya menurut adat kebiasaan saja. Apabila telah berlaku yang seperti itu sudah dipandang sebagai jual beli, karena tidak ada suatu dalil yang terang untuk mewjibkan lafaz. Entah itu memberi tindakan, menerima tindakan atau bahkan indikasi dalam bentuk apapun yang menunjukkan adanya kerelaan, seperti halnya kata bi’tu (saya menjual), malaktu (saya memiliki), isytaraitu (saya beli) dan akhadtu (saya ambil).

Jadi pada dasarnya, ijab qabul itu atas dasar kerelaan, pihak penjual dengan rela menyerahkan barangnya dan pihak pembeli dengan rela menerimanya (dinyatakan dengan uang tunai yang dibayarkan).

Transaksi muathah bisa terjadi dalam tiga bentuk:

  1. Si penjual mengatakan “saya jual”, dan si pembeli cukup mengambil barang dan menyerahkan uang.
  2. Si pembeli mengatakan “saya beli”, dan si penjual menyerahkan barang dan menerima uang.
  3. Si penjual dan pembeli tidak mengatakan ucapan apa-apa, si pembeli cukup menyerahkan uang dan si penjual menyerahkan barang. 

Pendapat terkuat dalam hal ini adalah ijab kabul boleh dan sah dengan perbuatan dengan alasan, pertama, Allah membolehkan jual beli dan tidak membatasinya dengan akad tertentu.

واحل الله البيع وحرم الرب

Artinya:
“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (Qs. Al Baqarah: 275)

Kedua, sesuai ‘urf (kebiasaan) dengan si pembeli menerima barang dan penjual mengambil uang, maka itu sudah menunjukkan ridho keduanya. Jika dengan perkataan dianggap ridho, maka dengn perbuatan bisa teranggap pula.

يا أيها الذين أمنوا لا تأ كلوا اموالكم بينكم بالبا طل ألا أن تكون تجارة عن تراض منكم

Artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka (saling ridho) di antara kalian" (QS. Anisa: 29 ).

Sehingga dari sini mengenai jual beli yang berlaku di pasar, supermarket dan mall tanpa adanya ucapan apa-apa, cukup saling ridha dengan si penjual menyerahkan barang dan si pembeli menyerahkan uang, maka itu sudah dianggap sah.

Contoh bentuk transaksi mu’athah di zaman modern di antaranya:
  1. Jual beli melalui mesin yang sudah berisi minuman penyegar, aqua, atau minuman bersoda dengan cukup memasukkan sejumlah uang pecahan ke dalam mesin.
  2. Transaksi melaui mesin ATM, sepeti pembayaran listrik dan air.
  3. Pemesanan dan pembelian tiket melalui internet.
  4. Jual beli saham melalui internet.

Demikian artikel Dutaislam.or.id tentang hukum jual beli tanpa akad (muathah) dan dasar hukum jual beli muathah serta kaitannya dengan jual beli online sekarang dalam pandangan syariah Islam. [dutaislam.or.id/ab]

Agus Salim Irsyadullah, mahasiswa UIN Walisongo Semarang.
Artikel disampaikan di hadapan dosen pengampu, Mishbah Khoiruddin Zuhri, M.A

DAFTAR PUSTAKA
  1. Drs. H. Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat (Jakarta: Amzah, 2010), hal. 173
  2. Asy-Syeikh Syamsudin Abu Abdillah, Terjemah Fathul Qarib (Surabaya : Mutiara Ilmu, 2010), hal. 165-166
  3. M. Yazid Afandi, M.Ag, Fiqh Muamalah (Yogyakarta: Logung pustaka, 2009), hal. 54
  4. Qamarul Huda, M.Ag, Fiqh Muamalah (Yogyakarta: Teras, 2011), hal. 53-54
  5. Asmaji Muchtar, Dialog Lintas Madzhab Fiqh Ibadah dan Muamalah (Jakarta: AMZAH, 2016), hal. 396
  6. Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Madzhab (Bandung: Hasyimi, 2016), hal. 204
  7. Al- Anshary, Zakariya bin Muhammad bin Zakariya, Asna al-Mathalib, Dar al-Kitab al-Islamiy, juz 2
  8. TM Hasbi ash-Shiddqiey, Pengantar Fiqh Mu’amalah (Jakarta : Bulan Bintang, 1974), hlm. 33
  9. Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, Juz III, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), hlm. 236
  10. Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adilatuhu, jilid 4 (Damaskus: Darul Fikr, 2007), hlm. 547
  11. H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Jakarta: Attahiriyyah, 1976), hal. 271
  12. Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 2:8
  13. Syarh ‘Umdatul Fiqh, 2: 782

Iklan