Contoh tuduhan terhadap media-media mainstrem, yang mereka sebarkan di dunia maya. |
Oleh Fashihullisan
Dutaislam.or.id - Kita semua kadang merasa aneh, mengapa banyak orang yang merasa lebih bangga mati dibandingkan hidup dengan mengatasnamakan jihad. Sayangnya lagi, target perlawanan mereka seringkali adalah sesama ummat Islam ataupun negara negara rumah ummat muslim. Padahal sejatinya jihad adalah bagaimana membuka ruang optimisme, sebagaimana saat para pejuang pembela kemerdekaan melakukan perlawanan pada upaya pendudukan kembali Belanda. Jihad yang digelorakan para pejuang kemerdekaan adalah upaya untuk menumbuhkan optimisme dalam menuju kemerdekaan yang sesungguhnya.
Ujung pangkal dari terorisme ternyata adalah penebaran virus-virus kebencian di setiap sendi kehidupan. Ada tiga pola penebaran virus pesimisme itu, yaitu melalui 1) jalur politik, 2) jalur media dan 3) jalur dakwah.
Jalur politik dilakukan dengan menyampaikan dalih bahwa ummat Islam telah mengalami kegagalan politik secara global. Ummat Islam disampaikan sebagai pihak yang selalu kalah dalam percaturan politik global, dengan ditandai dengan tumbangnya Turki Usmani, dicaploknya Palestina oleh Israel. Bahkan di negara negara yang mayoritas Islam sekalipun, selalu mereka katakan ummat Islam terpojok secara politik. Oleh karena itu, tokoh tokoh politik mereka selalu memdengungkan kekalahan kekalahan ummat Islam dan masa depan ummat Islam yang suram.
Jalur media dipergunakan untuk menebarkan rasa ketakutan akan terpojoknya ummat Islam. Mereka selalu menebarkan isu bahwa ummat Islam dibodohi oleh media media utama, karena pemilik media utama mereka stigmatisasi sebagai kafir, atau setidaknya bekerja untuk kafir. Akhirnya mereka berusaha membuat jalur ekslusive, dengan tujuan para pengikutnya hanya memperoleh informasi dari jalur mereka. Gerakan ini mereka lakukan melalui website abal abal dan juga link media sosial yang setiap hari menebarkan virus pesimisme.
Saat konten media mereka berbeda dengan media media besar, mereka langsung mengkampanyekan gerakan boikot dan menganjurkan istiqomah mempercayai media mereka sendiri. Tentu saja tujuan mereka adalah untuk membatasi ruang gerak media besar pada pengikut mereka. Mereka takut akan kehilangan kontrol saat pengikutnya memahami informasi secara berimbang sehingga gagal upaya mereka melakukan inkubasi virus pesimisme.
Jalur yang ketiga adalah jalur dakwah, yaitu melalui dakwah yang berisi konten ketakutan akan bahaya pembajakan pada mayoritas dakwah yang telah dibajak oleh syiah, liberalisme dan juga oleh Barat. Dakwah penebaran virus pesimis dilakukan dengan mengkampanyekan bahwa mayoritas ummat Islam telah dirasuki oleh para munafik, karena mereka sudah banyak yang berperilaku layaknya kaum syiah, liberal, atau bahkan kaum atheis yang jauh dari Tuhan. Oleh karena itulah penting bagi mereka untuk memurnikan apapun ajaran Islam, bahkan sampai pada wilayah budaya, tradisi bahkan penampilan pakaian.
Mereka menyebarkan pesimisme bahwa ummat Islam yang sudah kehilangan simbol ke Islaman, akan mudah dirasuki faham anti Islam. Pesimisme itulah yang kemudian menggerakkan rasa curiga, rasa permusuhan, bahkan dengan sesama ummat Islam. Dalih yang disebarkan adalah kaum munafik lebih berbahaya dibandingkan dengan kafir sekalipun. Bahkan mereka secara terang terangan menolak pembiaran perbedaan furuiyah, dan tidak menerima bahwa hal itu sebagai berkah.
Virus pesimisme inilah yang saat ini telah banyak masuk di benak kita, dan jadikan kita sebagai manusia yang ahistoris. Virus pesimisme ini melupakan bahwa kemunduran ummat Islam lebih sebagai kegagalan panjang ummat Islam dalam mempertahankan eksistensi penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bangsa Barat yang telah mampu mengevaluasi diri pasca jatuhnya Spanyol dan Konstantinopel, bangkit untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selanjutnya bangsa Barat mampu mengubah keadaan dengan menegakkan supremasi melalui cengkeraman kolonialisme di seluruh dunia, hingga mereka juga mampu menumbangkan kerajaan besar Turki Usmani dan memecah bangsa Arab menjadi negara negara kecil yang mudah dikuasai oleh Barat.
Pijakan pemahaman kesejarahan itulah yang hendaknya menjadi dasar ummat Islam untuk bangkit dan membuang jauh-jauh pesimisme. Keberhasilan mayoritas negara tempat tinggal ummat Islam dari penjajahan selayaknya menjadi dasar bagi menggapai optimisme untuk mencatatkan kebangkitan ekonomi dan pendidikan, sehingga akan menjadi kuat dalam konstelasi politik global. [dutaislam.or.id/gg]
Dutaislam.or.id - Kita semua kadang merasa aneh, mengapa banyak orang yang merasa lebih bangga mati dibandingkan hidup dengan mengatasnamakan jihad. Sayangnya lagi, target perlawanan mereka seringkali adalah sesama ummat Islam ataupun negara negara rumah ummat muslim. Padahal sejatinya jihad adalah bagaimana membuka ruang optimisme, sebagaimana saat para pejuang pembela kemerdekaan melakukan perlawanan pada upaya pendudukan kembali Belanda. Jihad yang digelorakan para pejuang kemerdekaan adalah upaya untuk menumbuhkan optimisme dalam menuju kemerdekaan yang sesungguhnya.
Ujung pangkal dari terorisme ternyata adalah penebaran virus-virus kebencian di setiap sendi kehidupan. Ada tiga pola penebaran virus pesimisme itu, yaitu melalui 1) jalur politik, 2) jalur media dan 3) jalur dakwah.
Jalur politik dilakukan dengan menyampaikan dalih bahwa ummat Islam telah mengalami kegagalan politik secara global. Ummat Islam disampaikan sebagai pihak yang selalu kalah dalam percaturan politik global, dengan ditandai dengan tumbangnya Turki Usmani, dicaploknya Palestina oleh Israel. Bahkan di negara negara yang mayoritas Islam sekalipun, selalu mereka katakan ummat Islam terpojok secara politik. Oleh karena itu, tokoh tokoh politik mereka selalu memdengungkan kekalahan kekalahan ummat Islam dan masa depan ummat Islam yang suram.
Jalur media dipergunakan untuk menebarkan rasa ketakutan akan terpojoknya ummat Islam. Mereka selalu menebarkan isu bahwa ummat Islam dibodohi oleh media media utama, karena pemilik media utama mereka stigmatisasi sebagai kafir, atau setidaknya bekerja untuk kafir. Akhirnya mereka berusaha membuat jalur ekslusive, dengan tujuan para pengikutnya hanya memperoleh informasi dari jalur mereka. Gerakan ini mereka lakukan melalui website abal abal dan juga link media sosial yang setiap hari menebarkan virus pesimisme.
Saat konten media mereka berbeda dengan media media besar, mereka langsung mengkampanyekan gerakan boikot dan menganjurkan istiqomah mempercayai media mereka sendiri. Tentu saja tujuan mereka adalah untuk membatasi ruang gerak media besar pada pengikut mereka. Mereka takut akan kehilangan kontrol saat pengikutnya memahami informasi secara berimbang sehingga gagal upaya mereka melakukan inkubasi virus pesimisme.
Jalur yang ketiga adalah jalur dakwah, yaitu melalui dakwah yang berisi konten ketakutan akan bahaya pembajakan pada mayoritas dakwah yang telah dibajak oleh syiah, liberalisme dan juga oleh Barat. Dakwah penebaran virus pesimis dilakukan dengan mengkampanyekan bahwa mayoritas ummat Islam telah dirasuki oleh para munafik, karena mereka sudah banyak yang berperilaku layaknya kaum syiah, liberal, atau bahkan kaum atheis yang jauh dari Tuhan. Oleh karena itulah penting bagi mereka untuk memurnikan apapun ajaran Islam, bahkan sampai pada wilayah budaya, tradisi bahkan penampilan pakaian.
Mereka menyebarkan pesimisme bahwa ummat Islam yang sudah kehilangan simbol ke Islaman, akan mudah dirasuki faham anti Islam. Pesimisme itulah yang kemudian menggerakkan rasa curiga, rasa permusuhan, bahkan dengan sesama ummat Islam. Dalih yang disebarkan adalah kaum munafik lebih berbahaya dibandingkan dengan kafir sekalipun. Bahkan mereka secara terang terangan menolak pembiaran perbedaan furuiyah, dan tidak menerima bahwa hal itu sebagai berkah.
Virus pesimisme inilah yang saat ini telah banyak masuk di benak kita, dan jadikan kita sebagai manusia yang ahistoris. Virus pesimisme ini melupakan bahwa kemunduran ummat Islam lebih sebagai kegagalan panjang ummat Islam dalam mempertahankan eksistensi penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bangsa Barat yang telah mampu mengevaluasi diri pasca jatuhnya Spanyol dan Konstantinopel, bangkit untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selanjutnya bangsa Barat mampu mengubah keadaan dengan menegakkan supremasi melalui cengkeraman kolonialisme di seluruh dunia, hingga mereka juga mampu menumbangkan kerajaan besar Turki Usmani dan memecah bangsa Arab menjadi negara negara kecil yang mudah dikuasai oleh Barat.
Pijakan pemahaman kesejarahan itulah yang hendaknya menjadi dasar ummat Islam untuk bangkit dan membuang jauh-jauh pesimisme. Keberhasilan mayoritas negara tempat tinggal ummat Islam dari penjajahan selayaknya menjadi dasar bagi menggapai optimisme untuk mencatatkan kebangkitan ekonomi dan pendidikan, sehingga akan menjadi kuat dalam konstelasi politik global. [dutaislam.or.id/gg]