Dutaislam.or.id - Siang itu (28/06/2018), saat matahari hampir sejajar, sosok sepuh dengan memakai baju putih dan songkok hitam bereda di depan kerumunan masyarakat. Di satu sudut terlihat tulisan yang kira-kira berbunyi "Istighosah dalam rangka Halal bi Halal Santri-Alumni Pondok Pesantren Al-Faddlu Kaliwungu (asal Batang) dan Masyarakat Dukuh Cekelan Desa Penundan Kecamatan Banyuputih Kabupaten Batang.
Sosok yang sudah berumur tujuh puluh tahun lebih itu adalah KH Dimyati Rois. Masyarakat biasa memanggilnya Mbah Dim. Seusai memimpin istighosah, dan sebelum menutup dengan doa, beliau bercerita.
Cerita dimulai dari mata rantai pembacaan beberapa surat al-Qur'an dalam istighosah (al-Fatihah, al-Qodr, al-Insyiroh, al-Ikhlas, al-Falaq, an-Nas), yang masing-masing dibaca tujuh kali. Beliau menyebutnya musabbi'at.
Musabbi'at beliau warisi dari gurunya, Kiai Rukyat Kaliwungu pengasuh Pesantren APIK Kaliwungu, saat beliau belajar di sana. Gurunya mewarisinya dari gurunya lagi, Kiai Idris Jamsaren Solo, yang mewarisi dari Kiai Soleh Darat Semarang.
Setelah sampai Kiai Soleh Darat, beliau bercerita, bahwa Kiai Soleh Darat ini guru dari Kiai Hasyim Asy'ari, Kiai Ahmad Dahlan, dan RA Kartini.
Lalu beliau menuturkan beberapa kiai yang satu masa dengan Kiai Soleh Darat. Diantaranya adalah Kiai Soleh Langitan Tuban, Kiai Soleh Gresik, Kiai Abdul Karim Kaliwungu, Kiai Nawawi Banten, Kiai Kholil Bangkalan, dan Kiai Anwar Batang.
Kiai-kiai yang dituturkan di atas pernah sama-sama menimba ilmu di Makkah. Kiai Nawai Banten adalah yang kemudian menetap di Makkah, sampai wafat dan dimakankan di sana.
Mbah Dim pun melanjutkan cerita, suatu saat ketika Kiai Nawawi Banten pulang ke Nusantara, terjadi pertemuan dengan Kiai Kholil Bangkalan dan Kiai Anwar Batang dan ulama-ulama yang lain di rumah Kiai Anwar yang terletak di Alas Roban Batang.
Dibacalah musabbi'at, dipimpin oleh Kiai Kholil Bangkalan dan ditutup dengan doa oleh Kiai Nawawi Banten. Kira-kira itu terjadi lima puluh tahun sebelum kemerdekaan. [dutaislam.or.id/zaim/gg]