Screenshot video Hanan Attaki sebut kreteria wanita sholihah adalah yang beratnya tak lebih dari 55 Kg. |
Dutaislam.or.id - Zaman ini zaman media sosial. Segala hal bisa cepat viral. Adalah para ustadz millenial (eksklusif-kanan) yang viral di media sosial. Namanya juga ustadz millenial, ia masih muda, gaul, sesuai dengan zaman kiwari dan ngepop, meskipun sebetulnya kalau ditelusuri, isi materi ceramahnya biasa saja, tetapi mereka punya kemampuan mengemas penyampaian, mereka punya kemampuan public speaking yang mudah dipahami dan menghipnotis jemaah. Sebetulnya para ustadz millenial itu jumlahnya akan sangat banyak, tetapi hanya sebagian saja yang mampu menemukan momentum viral, bisa jadi karena disetting atau juga karena hoki.
Seperti yang belum lama ini viral, beberapa ustadz millenial berhasil mempengaruhi warganet di media sosial (dunia maya) sampai dunia nyata. Untaian nasihat agama, baik dalam bentuk tulisan maupun video pendek, begitu cepat viral, sebab gaya penyampaiannya begitu mudah dipahami. Berikut beberapa tema atau bahasan para ustadz millenial yang begitu mudah viral, yakni tema-tema seputar hijrah (gaya bicara kearab-araban, pakaian cadar, gamis, termasuk jenggot, jidat hitam dll), poligami (pelatihan poligami), perempuan salehah (perempuan salehah berberat badan 55 kg, menjadi perempuan yang rumahan/tidak bekerja, dll), keutamaan sedekah, menikah dini, menghafal Al-Qur'an, dlsj.
Soal poligami misalnya. Para ustadz millenial (eksklusif-kanan) dan para ustadz senior panutan serupanya, sama-sama menafsirkan dan memahami bahwa poligami itu sunah Nabi saw. Bahkan mereka berani menegaskan bahwa poligami tidak perlu meminta izin dari istri pertama. Poligami pun dilakukan dengan istri kedua, ketiga dan keempat yang lebih cantik, kaya dan muda. Setali tiga uang dengan poligami, para ustadz pro poligami ini, salah satu tujuan berikutnya adalah memperbanyak anak, dengan alasan mencetak jundullah (tentara Allah), agar kuantitas umat Muslim semakin banyak lagi dalam melawan kezaliman orang-orang kafir.
Bahkan dewasa ini, poligami yang mereka anggap sunah Nabi saw., itu dikomersilkan, dibuat pelatihan dan trik-triknya, dengan biaya pelatihan yang mahal. Pelatihan poligami ini tidak lain bertujuan untuk meluluhkan hati istri pertama agar tidak berdaya, sampai akhirnya memenuhi ambisi suaminya untuk memiliki tiga tambahan istri lainnya. Dan kerelaan seorang istri ini dijadikan modus oleh para suami pro poligami sebagai salah satu ciri perempuan salehah yang balasannya adalah surga. Termasuk dalam kategori perempuan salehah adalah yang--menurut sang ustadz millenial (eksklusif-kanan) tersebut--berberat badan 55 kg. Ia menisbahkan 55 kg itu atas suatu hadis yang berkaitan dengan Siti Asiyah. Pemaknaaan dan pemahamannya ngeri kan Bro dan Sis?
Itulah realitas zaman sekarang yang tak bisa kita pungkiri. Untuk itu kita dituntut bisa menyikapi terkait dengan fenomena tersebut. Nah sayangnya, sering kali di antara kita kehilangan nalar sehat manakala menyikapi fenomena para ustadz millenial (eksklusif-kanan) dan para ustadz senior panutan serupanya. Di antara kita masih banyak yang terjebak merendahkan, nyinyir dan mencaci-maki mereka. Melakukan counter narasi dan perlawanan dengan kontra produktif. Sehingga akhirnya kehadiran para ustadz millenial (eksklusif-kanan) dan senior panutannya malah semakin viral dari dunia maya sampai dunia nyata.
Saya ingin turut menyikapi fenomena para ustadz millenial dan materi dakwahnya yang eksklusif-kanan itu. Kita harus lebih bijak dan dewasa menyikapinya. Jangan baper, nyinyir, merendahkan dan mencaci-maki. Sebab apa? Semakin direndahkan dan dicaci-maki, kehadiran mereka akan semakin banyak mendapatkan simpati dan seolah-olah sedang dizalimi. Jangan aneh kalau mereka dilarang dan dibully, bukan malah surut, melainkan semakin militan dan bukan tidak mungkin akan mendapatkan pengikut yang jumlahnya semakin besar. Inilah kesalahan kita yang pertama.
Kita memang harus melakukan counter, tapi bukan dengan cara-cara yang gegabah. Fenomena para ustadz millenal yang berpemahaman ekslusif-kanan ini mestinya dijadikan pelecut bagi para ustadz millenial moderat. Bahwa selama ini kita memang kekurangan kader-kader ustadz millenial yang berwawasan moderat dan toleran yang punya kemampuan public speaking yang bagus. Padahal kita ini sangat kaya literatur dan keilmuan. Kita ini lama belajar di pesantren dan digembleng dengan akhlakul karimah. Kekurangan ustadz-ustadz millenial-moderat kita adalah selain kemampuan public speaking, juga belum bisa menyesuaikan dengan kebutuhan psikologis jemaah.
Kita yang berada dalam gerbong moderat, mestinya terus berbenah dan mengejar kelengahan. Kita harus keluar dari zona nyaman. Bahwa tidak sedikit umat Muslim yang tadinya moderat tetapi akibat kiprah dan dakwah para ustadz millenial eksklusif-kanan--yang gaya penyamapaiannya lebih gampang dipahami oleh orang awam sekalipun--berpindah haluan menjadi radikal. Tema-tema bahasan agama tentang sedekah, amalan sunah, anjuran menikah dini, poligami, tuntunan menjadi istri salehah, politisasi agama, dll, begitu cepat dipahami dan viral.
Kita harus mengkader dan meluncurkan para ustadz millenial-moderat dengan segera dan sistematis. Saya berharap kepada Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) bisa menggarap kebutuhan umat ini. Semua sektor media, cetak maupun elektronik lokal dan nasional, harus kita kuasai dengan cara menjemput bola. Kita juga harus membekali para ustadz dan dai LDNU dengan kemampuan public speaking, melek literasi dan bermedia sosial yang dengan efektif. Konten-konten dakwah Islam moderat pun dibuat dengan beragam, melalui ceramah langsung, tulisan, video, meme dll yang ngepop, kontekstual dan mudah dipahami oleh orang awam sekalipun. Wallaahu a'lam. [dutaislam.or.id/gg]
Mamang M Haerudin (Aa), Pesantren Bersama Al-Insaaniyyah.