Iklan

Iklan

,

Iklan

Ikut Munas, Ini Penjelasan KH Afifuddin Muhajir Soal Status Non-Muslim di Indonesia

Duta Islam #02
3 Mar 2019, 20:45 WIB Ter-Updated 2024-08-23T03:49:25Z
Download Ngaji Gus Baha
KH Afifuddin Muhajir (kanan) bersama ulama Timur Tengah. (Foto: istimewa)

Dutaislam.or.id - Hasil keputusan bahstul masail ad-diniyyah al-maudhuiyyah pada Musyawarah Nasional Alim Ulama NU 2019 yang membahas status non-Muslim di Indonesia menuai banyak tanggapan. Salah satu tim perumus dalam bahstul masail tersebut adalah pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo, KH Afifuddin Muhajir.

Melalui rekaman video, Kiai Afifuddin menjelaskan lagi soal istilah kafir bagi non muslim di Indonesia. Dalam video tersebut, Kiai Afifuddin pertama-tama menegaskan bahwa dirinya adalah termasuk tim perumus bahstul masail Munas, kemudian menjelaskan duduk perkara masalah yang dibahas.

"Dan perlu diketahui pula bahwa bahstul masail Munas itu tidak membahas tentang apakah non-muslim yang ada di Indonesia ini kafir apa bukan. Akan tetapi yang dibahas adalah kategori apakah mereka itu harbi, apa muahad, apa musta'man, apakah dzimmi," terang Kiai Afifuddin.

Kemudian, Kiai Afifuddin menerangkan kesimpulan dari bahstul masail Munas tersebut.

"Jawabannya, mereka itu bukan bukan harbi, bukan muahad, bukan musta'man, bukan dzimmi. Karena memang definisi-definisi tersebut tidak bisa diterapkan kepada non-muslim yang ada di Indonesia. Oleh karena itu istilah yang tepat katakan aja mereka itu non-muslim," ungkapnya.

Ketika ditanya tentang bagaimana ketika seseorang mengatakan, "kamu kafir", atau ungkapan yang tidak disukai oleh mereka, Kiai afifuddin menjelaskan, harus dibedakan antara keyakinan dan pernyataan, sebab apa yang menjadi keyakinan belum tentu bisa dinyatakan.

"Misalnya, suatu kelompok yang oleh al-Qur'an dinyatakan sebagai kafir, kita wajib meyakini mereka kafir. Akan tetapi mengatan 'kamu kafir', 'dia kafir', 'mereka kafir', itu bisa menciptakan kegaduhan di tengah-tengah masyarakat. Orang yang sudah damai, dan sudah diusahakan, diciptakan dengan susah payah oleh para pendahulu-pendahulu kita. Oleh karena itu perlu dicarikan kalimat lain yang lebih santun misalnya 'non-muslim'," jelas Kiai Afifuddin.

"Ini tanpa harus merubah qul ya ayyuhal kafirun menjadi qul ya ayyuhal non-muslim. Itu tidak boleh," imbuhnya menegaskan.

Ia kemudian mengutip penjelasan dalam Kitab Al-Qunyah dalam Bab Al-Istihlal dan Raddul Mazhalim yang menyebut ungkapan, "Andaikan seseorang berkata kepada Yahudi atau Majusi, 'Hai kafir', maka ia berdosa jika ucapan itu berat baginya (menyinggungnya).”

"Bahkan dalam penjelasan selanjutnya, orang yang seperti itu berhak untuk dihukum atau ditakzir," ungkap Kiai Afifuddin.


Kiai Afifuddin menjelaskan, persoalan serumit ini tidak mungkin dipahami oleh orang yang pengetahuan agamanya rendah.

"Orang yang ngajinya sudah bertahun-tahun sekalipun barangkali sulit memahami persoalan seperti ini, apalagi orang yang tidak pernah ngaji," tandasnya. [dutaislam.or.id/gg]

Iklan