Iklan

Iklan

,

Iklan

KH Arwani Amin ke Kiai Thosin Surodadi: Kitabe Tutup, Cukup Qur'an!

8 Mar 2019, 21:31 WIB Ter-Updated 2024-08-12T08:34:17Z
Download Ngaji Gus Baha
sejarah biografi kiai thosin surodadi jepara
Makam Mbah KH. Muhammad Thosin, Surodadi, Kedung, Jepara. Foto: dutaislam.or.id.

Oleh M Abdullah Badri

Dutaislam.or.id - Nama lengkapnya adalah KH. Muhammad Thosin, putra Kiai Karmat bin Isma’il, asli Surodadi, Kedung, Jepara. Lahir tahun 1916. Menurut seorang kiai kasepuhan, Mbah Badri, Kiai Thosin masih ada keturunan dari Mbah Pupus, seorang waliyullâh yang lokasi makamnya ada di dekat sebuah belik (sumber air) wilayah Desa Sendang, Kalinyamatan, Jepara.

Ceritanya, suatu kali, Mbah Badri didatangi oleh Mbah Pupus untuk diminta agar mulutnya dibuka. Usai diludahi, Mbah Pupus berkata, “besok anak keturunanmu hapal Al-Qur’an semua (maksudnya banyak yang hapal Qur’an)”. Dan hal itu terbukti hingga sekarang.

Kiai Thosin adalah seorang kiai dan ulama yang sangat alim dalam bidang agama, dan mudah menghapalkan setiap yang dibaca dari kitab kuning. Buktinya, beliau hapal 15 kitab di luar kepala. Bahkan muridnya ada yang menyebut kalau Kiai Thosin hapal 17 kitab —termasuk nadham Jumân (Ilmu Balâghah) dan Kitab Fathul Mu’în (fiqih).

Di usia kelas 2 (SD sekarang), Kiai Thosin sudah hapal Kitab Alfiyah Ibnu Malik yang berisi 1.000 bait syair tentang Ilmu Nahwu. Kiai yang pertama kali mendorong Kiai Thosin kecil menghapalkan Kitab Alfiyah adalah KH. Sholihul Hadi bin Hasbullah, Surodadi, yang kelak menjadi mertuanya.

Saking mudahnya menghapal, kitab-kitab yang diberikan Kiai Sholihul habis dilahap, dan uniknya, Kiai Thosin selalu meminta saran kitab apa yang harus ia hapal berikutnya. Pernah terbersit ingin menghapalkan Kitab Ibnu Aqîl, syarah Kitab Alfiyah Ibnu Malik. Apa yang dikatakan Kiai Sholihul?

“Kamu tidak usah menghapalkan Ibnu Aqîl. Kamu itu sudah cukup bisa membuat karangan seperti Ibnu Aqîl,” begitu kata Kiai Sholihul.

Kiai Thosin muda akhirnya diminta untuk menghapalkan Al-Qur’an sebagai hapalan selanjutnya. Selama satu tahun, Al-Qur’an berhasil dikhatamkan bil-ghaib oleh Kiai Thosin. Mulai saat inilah Kiai Thosin tidak hanya ahli kitab saja, tapi juga hâfidzul Qur’an.

Tidak cukup menghapal 30 juz, Kiai Thosin melanjutkan ngaji Al-Qur’an ke Kudus, berguru qirâ’ah sab’ah (bacaan tujuh imam Al-Qur’an) kepada master Al-Qur’an, KH. Arwani Amin Said. Namun, permintaannya untuk ngaji Al-Qur’an ala Imam Syathibi ditolak halus oleh Kiai Arwani hingga tujuh kali.

“Aku membaca Al-Qur’an di depan kamu itu malu Shin. Kamu sudah bisa membaca sendiri,” kata Mbah Arwani, yang mengetahui kalau Kiai Thosin sebetulnya sudah hapal Kitab Qirâ’ah Sab’ah sejak dari Surodadi.

“Tidak mbah, saya hanya ingin tabarrukan,” jawab Kiai Thosin.

Bertempat di pesantren KH. Asnawi Bendan, Kiai Thosin hanya butuh 2-3 tahun untuk tabarrukan dengan KH. Arwani Amin. Saat inilah Kiai Thosin bertemu dengan teman seangkatannya yang sangat akrab, yakni KH. Hisyam (Kudus) dan KH. Mahfudz (Kedungleper, Jepara).

kh muhammad thosin surodadi
Foto KH. Muhammad Thosin Surodadi

Selain satu bantal dengan Kiai Hisyam, Kiai Thosin juga sering joinan rokok (separoan) saking akrabnya. Kiai Thosin pernah berujar kepada salah satu putranya, KH. Nur Huda, “andai saja Kiai Hisyam memiliki putri, akan aku ambil sebagai menantu”.

Karena sudah boyong, Kiai Thosin tidak sempat bertemu dengan KH. Abdullah Salam saat mondok di Kudus. Sementara, saat khatam sab’ah, KH. Sya’roni Ahmadi Kudus baru setoran 4 juz Al-Qur’an kepada Kiai Arwani. Artinya, Kiai Thosin adalah senior Kiai Sya’roni Ahmadi di pondok.

Saat ngaji kepada Kiai Arwani, cara ngaji sab’ahnya tidak mau diputus-putus. Harus satu-persatu dilafalkan. Saat selesai membaca satu ayat versi bacaan (qirâ’ah) Imam Qalun misalnya, Kiai Thosin harus membaca satu-persatu versi ayat ala qirâ’ah Imam Warash, meski dengan cara itu ia harus mengulang ayat hingga tiga kali.

Melihat ketekunannya, Mbah Arwani pernah berkomentar soal Kiai Thosin kepada salah satu murinya: KH. Sahli (Kudus). “Sahli, itu lihat, Thosin itu anaknya MasyaAllah, ngaji dan nulis (qirâ’ah-sab’ahnya) tekun dan rajin,” ujar Kiai Arwani.

Gurunya, Kiai Asnawi, juga diceritakan kagum dan segan kepada Kiai Thosin hingga seolah pernah diusir Kiai Asnawi saat ngaji Kitab Fathul Mu’în.

“Shin, kalau kamu ikut menunggui, saya tidak jadi ngajar. Kalau kamu tidak mau menggantikan aku membaca, kamu silakan pergi dari sini! Aku tidak rela kamu mondok di sini,” kata Kiai Asnawi kepada Kiai Thosin saat itu.

Mertuanya, Kiai Sholihul Hadi juga merasa segan, “aku kalau Thosin di sini, pas ngajar, harus muthâla’ah minimal dua jam. Kalau tidak muthâla’ah, miris aku,” kata KH. Sholikul Hadi kepada salah satu murid seniornya di pondok.

“Kok bisa begitu, kiai?”.

“Bagaimana tidak, aku kalau lihat dia ngajar Alfiyah malah tidak paham kok. Dalam membuat tamsil Nahwu misalnya, Thosin itu bisa memberikan contoh Nahwu dan Balaghahnya sekaligus. Dia hapal semua,” terang Kiai Sholihul.

Kepada santri Kiai Thosin yang kebetulan sowan kepada KH. Khalil Bangsri, ada kalimat yang diungkapkan begini, “gurumu itu kok kualitas isi otaknya sepertinya seluruh Indonesia dia paham. Hapal kitab kok tidak ada yang lupa”.

Kiai Amin Sholeh ketika ceramah di Wedung (Demak) usai Kiai Nur Huda menjadi qâri’ Qur’an pengajian, juga sempat sampai bilang begini, “yang qâri’ tadi adalah putra dari kiai yang membesarkan saya di Kudus. Aku bisa seperti ini karena ayah dari yang membaca Qur’an tadi”.

Testimoni kealiman Kiai Thosin lainnya, juga pernah diungkapkan oleh teman akrabnya dari Demak Mutih, bernama Kiai Fauzi. Kiai yang secara fisik dan juga alim tersebut pernah mengatakan Kiai Thosin yang disebutnya sebagai seorang waliyullâh dan alim-alimnya kiai se-Jepara .

Kiai Fauzi juga berujar kalau Kiai Thosin adalah “musuhnya” dalam urusan bahtsul masâ’il. Antara Kiai Thosin dan Kiai Fauzi, ternyata saling melempar pujian. Kiai Thosin memuji Kiai Fauzi sebagai kiai paling alim di Demak. Sebaliknya, Kiai Fauzi juga berucap demikian.

Cukup Al-Qur’an

Meski alim kitab dan hapal banyak kitab, Kiai Thosin akhirnya dikenal sebagai ulama Al-Qur’an hingga wafat. Kiai Thosin tidak lagi mengajar kitab setelah mendapatkan perintah dari KH. Arwani Amin, “kitabe tutup, cukup Qur’an!”.

Benar saja, sejak tahun 72, Kiai Thosin sudah tidak lagi mengajar kitab kuning dan mencukupkan diri sebagai hâmilul Qur’an saja. Kepada putranya Kiai Nur Huda, Kiai Thosin juga berpesan, “cukup Qur’an, disebut orang lain bodoh tidak apa-apa!”.

Karena taat kepada perintah, qira’ah sab’ahnya Kiai Thosin terus dijaga oleh Kiai Arwani. Salah satunya adalah dengan cara memerintahkan dua murid Kudus agar mengikuti ngaji sab’ah ke Surodadi. Mereka adalah Kiai Umar (Kedungmutih, Demak)  dan Kiai Muslih (Undaan, Kudus).

“Kamu ngaji sana kepada Kiai Thosin di Surodadi!” Perintah Kiai Arwani, kala itu.

Benar saja. Tiap habis dhuhur, keduanya ngonthel dari Kudus ke Surodadi, dan Subuh hari berikutnya baru kembali ke Kudus. Menurut Kiai Nur Huda, tajribah (ujian) Kiai Arwani untuk kedua muridnya tersebut sangat boleh jadi sebagai upaya seorang guru dalam rangka menjaga muridnya agar tidak melupakan hapalan qira’ah sab’ahnya. Sedemikian sayang Kiai Arwani kepada Kiai Thosin.

Terkait hal ini, Kiai Nur Huda mengisahkan hal senada di mana Kiai Thosin pernah diminta membaca Al-Qur’an ala Qirâ’ah Sab’ah dalam sebuah acara pengajian di Kedungmalang —walau hanya satu ayat. Usai membaca, Kiai Thosin berujar, “ini tadi kalau Nur Huda tidak ngaji (sab’ah), saya ya memang tidak bisa membaca, karena Nur Huda tadi habis sorogan ayat ini” .

Salah satu murid Kiai Thosin yang khatam Qirâ’ah Sab’ah adalah KH. Manshur Kedungmutih. Saat khatam, Kiai Manshur sebetulnya hendak dimintakan sanadnya kepada Kiai Arwani, namun beliau menolak, “karena ngajinya sama kamu ya sanadnya cukup lewat kamu saja, tidak usah lewat aku,” kata Kiai Arwani kepada Kiai Thosin. [dutaislam.or.id/ab]

Keterangan:
Artikel di atas adalah cuplikan dari Buku Biografi KH. Muhammad Thosin bin Karmat Surodadi, Kedung, Jepara, yang insyaAllah terbit dalam waktu dekat. 

Iklan