Iklan

Iklan

,

Iklan

KK-26 Koar-Koar Kembalikan NU ke Khittah, Tapi Digeret Dukung Prabowo

Duta Islam #03
8 Mar 2019, 13:40 WIB Ter-Updated 2024-08-23T03:21:06Z
Download Ngaji Gus Baha
Komite Khitthah (KK) 26 NU mengadakan halaqah di PP Al-Qutub, Bandung, Jawa Barat, Rabu (6/3/2019) lalu. Foto: Istimewa.

Dutaislam.or.id - Gerakan yang mengatasnamakan Komite Khitthah (KK) 26 NU mengadakan halaqah di PP Al-Qutub, Bandung, Jawa Barat, Rabu (6/3/2019) lalu. Katanya, ingin mengembalikan NU ke Khittah, tapi nyataannya banyak ungkapan menggiring untuk mendukung Paslon Nomor 02 Prabowo Subiyanto, di Pilres 2019.

Satu sikap yang tidak konsisten.

Dutaislam.or.id menelusuri sejumlah pemberitaan Halaqah KK-26 yang mayoritas tayang di portal online duta.co. Dutaislam.or.id menemukan sejumlah ungkapan yang sangat politis mendukung Prabowo.

Satu diantaranya diungkapan KH Hamdi Suyuthi Albdul Jabar. KH  Hamidi melarang memilih paslon nomor 01 jika ingin NU selamat.

“Karena itu, kalau ingin NU selamat jangan pilih 01. Kalau sampai 01 menang, NU tidak akan selamat. Mereka ini menghancurkan NU,” katanya sebagaimana kutipan langsung di duta.co.

Screenshot ungkapan politis tokoh KK-26. Foto:dutaislam.or.id

Seharusnya ungkapan politis itu tidak keluar jika benar-benar mengembalikan NU ke-Khittah. Dia menolak NU ke-politik tetapi mengelurkan ungkapan yang sangat politis dan arahnya jelas untuk mendukung Prabowo. Kalau tidak mendukung Prabowo, mendukung siapa lagi sedangkan Paslon di Pilpres 2019 hanya Jokowi-Amin dan Prabowo-Sandi.

Hal yang sama juga disampaikan Kiai Hamim. Dia mengatakan agar tidak memilih Paslon Nomor 01 karena Kiai Ma'ruf Amin dianggap mencederai NU.

“Yang penting jangan 01, karena 01 telah rorek-robek jatung NU. Kalau sampai 01 menang, maka, tidak ada celah benahi NU. Karena kita bisa dicap radikal. Kultural melawan struktural, itu radikal,” katanya.

Screenshot ungkapan politis tokoh KK-26. Foto: dutaislam.or.id.


Setiap warga negara termasuk warga NU punya mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden. Termasuk Kiai Makruf Amin. Kiai Ma'ruf Amin tidak bisa disebut mencerai NU atau melanggar Khittah. Karena Kiai Ma'ruf Amin tidak melanggar AD/ART NU. Buktinya, Kiai Ma'ruf Amin telah melepas jabatan Rais Am. Ini adalah hak beliau.

Menganggap Kiai Ma'ruf Amin melanggar khittah berarti telah mencampur satu masalah dengan masalah lain yang seharusnya tidak dicampuradukkan. Kita bisa ambil contoh sederhana, katakanlah kita ikut sebuah organisasi, lalu kita mengundurkan diri kemudian pindah ke organisasi lain, apakah kita salah? tentu tidak, asal sudah sesuai prosedur. Toh tidak ada aturan, setiap orang yang masuk organisasi tidak boleh keluar sampai mati.

Kemudian, apakah pilihan Kiai Ma'ruf Amin melepas Rais 'Am sama halnya dengan turun derajat? belum tentu. Karena derajat kita tidak ditentukan oleh organisasi, tapi ditentukan oleh sejauh mana kita memberi kemashlahatan. Kalau Kiai Ma'ruf Amin terpilih dan menjadi pemimpin dan menjadi memimpin yang baik, beliau tidak akan dinilai buruk oleh Tuhan lantaran melepas jabatan Rais 'Am. Justru sebaliknya, bisa menambah nilai kebaikan.

Melepas jabatan Rais 'Am bukan perkara akhirat, tapi perkara organisasi dan menjadi hak setiap orang. Toh, sekali lagi, tidak ada ketentuan menjadi pengurus NU harus seumur hidup.

Logikanya begitu, kalau kita mau menilainya secara seimbang.

Sejumlah tokoh KK-26 tidak hanya politis dalam menguliti NU. Mereka juga menyinggung masalah keputusan Munas Alim Ulama terkait kata 'kafir'. Hal ini disampaikan Kiai Maymoen dalam halaqah.

Dia menilai pembahasan kata ‘kafir’ menunjukkan betapa NU sudah menjadi alat politik.

“Apa urgensinya? Apalagi dikaitkan dengan kriteria kafir (kafir dzimi, musta’man, muahad, dan harbi) tidak akan ketemu. Mengapa? Karena negeri ini bukan negara agama. Tidak perlu ilmu tinggi, ‘sundul langit’ untuk memahami ini. Bukankah kafir itu hanya ada di internal umat Islam? Masak tidak paham,” katanya.

Screenshot tuduhan ngawur oleh tokoh KK-26 kepada PBNU. Foto: Istimewa.

Ini jelas tuduhan tidak berdasar, menilai secara sepotong hasil Munas Alim Ulama. Perkara sebutan 'muwathinun' bagi warga Non Muslim tidak ada hubungan dengan politik. Apalagi tuduhan ingin mengamandemen Al-Qur'an.

Munas Alim Ulama hanya ingin memperkuat persaudaraan antar bangsa yang berbeda agama. Titik tekannya di sini. [dutaislam.or.id/pin]

Iklan